SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA
Secara umum, korupsi dapat diartikan sebagai tindakan
penyalahgunaan wewenang publik untuk memuaskan kepentingan pribadi atau
golongan. Menurut Syed Hussein Alatas, korupsi dapat dimaknai sebagai tindakan
yang meliputi: (1) menerima pemberian sebagai upaya untuk mempengaruhi
kebijakan atau memberikan perhatian istimewa bagi kepentingan si pemberi; (2)
sengaja membuka peluang agar orang memberi hadiah dalam tugasnya sebagai pelaya
publik; (3) sengaja menggunakan dana publik untuk dinikmati sendiri atau
kelompoknya. Selain itu, hal lain yang juga termasuk kedalam korupsi adalah
tindakan penyuapan, pemerasan, dan nepotisme.[1]
Secara historis, korupsi mempunyai akar sejarah yang panjang dimana
fakta sosial struktur masyarakat pada masa lalu menyebabkan adanya fakta sosial
korupsi berikutnya secara berkelanjutan dan terus mengalami modifikasi
birokrasi. Fenomena korupsi sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru, fenomena
tersebut sebenarnya telah tumbuh dan mengakar dalam tubuh pemerintahan di
Indonesia. Korupsi merupakan penyakit birokrasi yang diwariskan turun temurun
dari masa pemerintahan kerajaan sampai sekarang. Alatas mengemukakan bahwa
korupsi secara sosiologis meliputi aspek kultur, struktural dan pola relasional
yang menjadi latas dalam kehidupan masyarakat sebagai proses pewarisan wabah
korupsi. Dalam konteks budaya, birokrasi di Indonesia sampai sekarang masih
diwarisi oleh semangat birokrasi patrimonial yang sudah ada sejak masa
pemerintahan, dimana hubungan kedekatan kekeluargaan dan persahabatan lebih
diutamakan dari pada hubungan yang rasional.
Periodisasi sejarah korupsi di Indonesia secara umum dapat dibagi
kedalam dua periode besar, yaitu periode pra kemerdekaan dan periode pasca
kemerdekaan.
1. Periode Pra Kemerdekaan
Periode sejarah korupsi di Indonesia Pra Kemerdekaan terbagi
kedalam dua masa, yaitu masa kerajaan dan masa pemerintahan kolonial. Pada masa
pemerintahan kerajaan “budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong
oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Hal tersebut dapat kita ketahui
dapat kita ketahui pada sejarah perebutan kekuasaan sejarah Singosari dan
kehancuran kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit dan Mataram
yang salah satu faktornya disebabkan oleh perilaku korup sebagian besar para
bangsawannya.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, korusi juga turut mewarnai
blantika perbirokrasian saat itu. Dalam buku History of Java, Thomas
Stamford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun
1811-1816), mengemukakan seputar karakter penduduk Jawa yang digambarkan sangat
“nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai
keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka
menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau
kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui. Hal menarik lainnya adalah
adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem)
yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian
majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku
oportunis.
Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung,
dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Dalam aspek
ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di
masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus
menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”. Tidak jarang abdi dalem
juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang
akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan
kepada Tumenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau
propinsi juga mengkorup harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan. Kebiasaan
mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh
Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942), minus Zaman Inggris (1811 -
1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat
terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825-1830), Imam
Bonjol (1821-1837), Aceh (1873-1904) dan lain-lain.
Lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi
(rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri.
Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cultuur
Stelsel” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan
utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar
hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi
ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
2. Periode Pasca Kemerdekaan
Pada masa orde lama, dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, Panitia
Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu
oleh dua orang anggota yakni Prof M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Namun
ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Kewajiban
untuk mengisi formulir daftar isian kekayaan pejabat negara mendapat reaksi
keras dari para pejabat dengan dalih seharus dierahkan langsung kepada
presiden, bukan PARAN. Pada tahun 1963 upaya pemberantasan korupsi kembali
digalakkan. Upaya pemberantasan korupsi pada saat itu dikenal dengan istilah “Operasi
Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga
negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Dalam kurun
waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan
untuk kurun waktu itu. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan, karena
dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.
Setelah Paran/Operasi Budhi dibubarkan,
yang kemudian dibentuk Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di
mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen
Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu
akhirnya mengalami stagnasi.
Pada masa Orde Baru, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang
diketuai Jaksa Agung. Pada tahun 1970, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk
rasa memprotes keberadaan TPK yang dianggap tidak serius dalam memberantas
korupsi sebagaimana komitmen Soeharto. Perusahaan-perusahaan negara seperti
Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena
dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang
dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof
Johannes, I.J Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugasnya yang utama adalah
membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust,
Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil
temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah. Ketika
Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi
Tertib). engan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu
ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan
Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi,
Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus
dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar
memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang tanpa
bekas sama sekali.
Pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah
terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas.
Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.
Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTPK) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Namun di
tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim,
melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Di
masa pemerintahan Megawati, wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol
adalah otoritas kekuasaan. Konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan
alasan berobat ke luar negeri. Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih
memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang notabene memberi andil
bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin
kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD
era Reformasi. Hingga pada akhirnya dibentuklah KPK yang didirikan berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 yang diketuai oleh
Taufiequrachman Ruki.[2]
Pada era pemerintahan SBY, KPK mulai menunjukkan taringnya,
berbagai koruptor kelas kakap berhasil dijerat, bahkan orang-orang yang mempunyai
hubungan dekat dengan presiden sekali pun. Hal tersebut menunjukkan bagaimana
kredibilitas lembaga tersebut yang independen dan tidak dipengaruhi oleh
kekuasaan pejabat negara. Meski pun demikian KPK tetap menghadapi berbagai
hambatan, mulai dari benturan dengan lembaga lain seperti Polri (kasus cicak vs
buaya), kriminalisasi pejabat KPK, tekanan dari DPR (kak angket) sampai kasus
penyerangan air keras kepada Novel Baswedan.
Sumber Referensi:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,
2011, Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Jakarta:
Kemendikbud.
Syed Hussein Alatas, 1981, Sosiologi
Korupsi, Jakarta: LP3ES.