Mengenal Lewis Coser Lebih Mendalam



Coser lahir di Jerman, tahun 1913. Menerima gelar doctor dari Universitas Columbia tahun 1954, dan telah memperoleh karir akademik yang memuaskan. Dia adalah professor sosiologi di Universitas negeri New York, Stoony Brook. Minat intelektualnya dipusatkan pada teori sosiologi dan ilmu pengetahuan.

Karya utamanya yang dipublikasikan adalah The Functions of Social Conflict (1956), Continues in the Study of Social Conflict (1967), dan Master of Sociological Thought (1971). Tahun 1975 Lewis Coser terpilih menjadi Presiden American Sociological Association (ASA). Coser juga aktif sebagai columnis di berbagai jurnal. Tulisan Coser yang terkenal adalah Greedy Institutions (Institusi Tamak). [1]

Dalam memandang konflik, Coser lebih memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi konflik yang membawa penyesuaian sosial yang lebih baik dengan konsekuensi konflik sosial itu yang meningkatkan adaptasi. Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial.

Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), Coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut. Coser mengakui beberapa susunan struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus, suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsional struktural, tetapi dia juga menunjuk pada proses lain yaitu konflik sosial. Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering melihat konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu.

Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat. Kondisi-kondisi tersebut diantarannya:[2]

1.      Ikatan Kelompok Dan Pemeliharaan Fungsi-Fungsi Konflik Sosial
Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental (penolong) dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok.  Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya.

Salah satu yang membedakan Coser dari pendukung teori konflik lainnya ialah bahwa ia menekankan pentingnya konflik untuk mempertahankan keutuhan kelompok. Padahal pendukung teori konflik lainnya memusatkan analisa mereka  pada konflik sebagai penyebab perubahan sosial. Coser menyebutkan beberapa fungsi dari konflik, yaitu:

a.    Konflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar. Dalam masyarakat yang terancam disintegrasi, konflik dengan masyarakat lain bisa menjadi kekuatan yang mempersatukan. Misalnya: geng motor. Dalam geng motor ini mereka membangun identitas diri, peraturan, tata nilai dan perilaku, antribut serta kultur yang menggambarkan jati diri mereka. Seiring para geng motor ini berkonflik dengan komunitas lain justru akan menambah kesolidan dari para anggota geng motor tersebut.

b.   Konflik dengan kelompok lain dapat menghasilkan solidaritas di dalam kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarkannya kepada aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok lain. Contoh: Konflik yang berkepanjangan antara Israel dan Negara-negara Arab telah menyebabkan Israel menjalin kerjasama yang begitu erat dengan Amerika Serikat. Namun bisa saja terjadi kalau perdamaian jangka panjang antara Negara-negara Arab dan Irael tercapai, maka ikatan antara Israel dan Amerika menjadi kendor.

c.    Konflik juga bisa menyebakan anggota-anggota masyarakat yang terisolir  menjadi berperan secara aktif. Misalnya: sesudah mahasiswa memperotes rezim orde baru pada awal kehancurannya banyak orang tampil ke depan dan dinggap sebagai pejuang reformasi, tidak sedikit barang kali tidak dikenal sebelumnya tetapi berperan aktif pada masa peralihan itu.

d.     Konflik juga bisa berfungsi untuk berkomunikasi, sebelum terjadinya konflik, anggota-anggota masyarakat akan berkumpul dan merencanakan apa yang akan dilakukan. Lewat tukar menukar pikiran itu mereka bisa mendapat gambaran yang lebih jelas akan apa yang harus dibuat baik itu untuk mengalahkan lawan ataupun untuk menciptakan perdamaian.  [3]

2.      Katup Penyelamat
Coser melihat bahwa katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.

Contohnya: Badan Perwakilan Mahasiswa atau LSM yang ada di masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem, baik kegerahan yang terjadi pada tingkat mahasiswa maupun tingkat negara.

3.      Konflik Realistis Dan Non Realistis
Coser memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik sosial, sama seperti pendapat Simmel, bahwa ada keagresifan atau bermusuhan dalam diri orang, dan dia memperhatikan bahwa dalam hubungan intim dan tertutup, antara cinta dan rasa benci hadir. Sehingga masyarakat akan selalu mengalami situasi konflik. Karena itu Coser membedakan dua tipe dasar konflik yang realistik dan non realistik. Coser melihat konflik dan integrasi sebagai dua sisi saling memperkuat atau memperlemah satu sama lain.

1.    Konflik Realistis, memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material, Atau dapat dikatakan juga konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, serta yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Jika mereka telah memperoleh tuntutan itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera diatasi dengan baik. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.  

2.    Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Konflik ini didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, Contohnya: dalam masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.

Banyak individu kelas menengah dan kelas pekerja menunjukkan prasangka terhadap “orang-orang miskin penerima bantuan kesejahteraan sosial” (bumson welfare) melalui penyalahgunaan pajak pendapatan yang diperoleh dengan susah payah. Tetapi yang sebenarnya terjadi ialah bahwa sebagian besar pajak tersebut lebih banyak jatuh ke tangan kaum kaya dalam bentuk subsidi atau secara tidak langsung melalui pemotongan pajak, daripada dalam bentuk bantuan kesejahteraan bagi kaum miskin. 

Dengan demikian dalam satu situasi bisa terdapat elemen-elemen konflik realistic dan non-realistis. Konflik realistis khususnya dapat diikuti oleh sentiment-sentimen yang secara emosional mengalami distorsi oleh karena pengungkapan ketegangan tidak mungkin terjadi dalam situasi konflik yang lain

4.      Permusuhan Dalam Hubungan-Hubungan Sosial Yang Intim
Menurut Coser terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresif. Contoh: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing-masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser menyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. 

Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan-hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan, yang demikian itu merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.

Walau berat bagaimanapun masalahnya ketika konflik meledak dalam hubungan-hubungan yang itim itu, Coser menegaskan bahwa tidak adanya konflik tidka bisa dianggap sebagai petunjuk kekuatan  dan stabilitas dari hubungan yang demikian. Konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda-tanda dari hubungan-hubungan yang hidup, sedangkan tidak adanya konflik itu dapat berartipenekanan masalah-masalah yang menadakan kelak aka nada suasana yang benar-benar kacau.

5.      Isu Fungsionalitas Konflik
Konflik itu dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur. Coser Mengutip hasil pengamatan Simmel yang menunjukan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat  meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhan dan keseimbangan.

Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. 

Contohnya: orang-orang Yahudi yang tinggal berbatasan dengan perkampungan bangsa Eropa  dapatmengalami konflik in-group berkadar rendah, teteapi konflik mengenai perbedaan perspektif dalam masyarakat amerika di antara orang-orang Yahudi itu dapat mencerminkan integrasi mereka.

Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Contohnya: perbedaan antara suami-istri, buruh-majikan, perawat-dokter, merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur yang terbentuk lewat hubungan-hubungan sosial. Jadi sebenarnya perbedaan merupakan peristiwa normal yang dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.

6.      Kondisi Yang Mempengaruhi Konflik Dengan Kelompok Luar Dan Struktur Kelompok
Coser menunjukkan bahwa konflik dengan kelompok-luar akan membantu pemantapan batas-batas struktural. Sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok.

a.     Konflik dan Solidaritas
Semula Lewis A. Coser menitikberatkan perhatiannya pada pendekatan fungsionalisme struktural dan mengabaikan konflik. Menurut pendapatnya bahwa sebenarnya struktur-struktur itu merupakan hasil kesepakatan, akan tetapi di sisi lain ia juga menyatakan adanya proses-proses yang tidak merupakan kesepakatan, yaitu yang berupa konflik. Lewis A. Coser ingin membangun suatu teori yang didasarkan pada pemikiran George Simmel. 

Menurut pendapatnya dinyatakan bahwa konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi. Konflik dapat terjadi antarindividu, antarkelompok dan antarindividu dengan kelompok. Baginya konflik dengan luar (out group) dapat menyebabkan mantapnya batas-batas struktural, akan tetapi di lain pihak konflik dengan luar (out group) akan dapat memperkuat integrasi dalam kelompok yang bersangkutan.

Konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain dapat menyebabkan solidaritas anggota kelompok dan integrasi meningkat, dan berusaha agar anggota-anggota jangan sampai pecah. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya apabila suatu kelompok tidak lagi merasa terancam oleh kelompok lain maka solidaritas kelompok akan mengendor, dan gejala kemungkinan adanya perbedaan dalam kelompok akan tampak. Di sisi lain, apabila suatu kelompok selalu mendapat ancaman dari kelompok lain maka dapat menyebabkan tumbuh dan meningkatnya solidaritas anggota-anggota kelompok.

b.     Konflik dan Solidaritas Kelompok
Menurut Lewis A. Coser dinyatakan bahwa konflik internal menguntungkan kelompok secara positif. la menyadari bahwa dalam relasi-relasi sosial terkandung antagonisme, ketegangan atau perasaan-perasaan negatif termasuk untuk relasi-relasi kelompok dalam, (in group) yang di dalamnya terkandung relasi-relasi intim yang lebih bersifat parsial. 

Perlu diketahui bahwa semakin dekat hubungan akan semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. Akan tetapi semakin lama perasaan ditekan maka mengungkapkannya untuk mempertahankan hubungan itu sendiri. Mengapa demikian karena dalam suatu hubungan yang intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlihat sehingga pada saat konflik meledak, mungkin akan sangat keras.

Konflik akan senantiasa ada sejauh masyarakat itu masih mempunyai dinamikanya. Adapun yang menyebabkan timbulnya konflik, yaitu karena adanya perbedaan-perbedaan, apakah itu perbedaan kemampuan, tujuan, kepentingan, paham, nilai, dan norma. Di samping itu, konflik juga akan terjadi apabila para anggota kelompok dalam (in group) terdapat perbedaan. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila para anggota kelompok dalam (in group) mempunyai kesamaan-kesamaan.

Perbedaan-perbedaan antara para anggota kelompok dalam (in group) tersebut dapat pula disebabkan oleh adanya perbedaan pengertian mengenai konflik karena konflik itu bersifat negatif dan merusak integrasi. Akan tetapi, ada pula pengertian dari anggota kelompok dalam (in group) bahwa karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan maka konflik akan tetap ada. Perlu diketahui bahwa suatu kelompok yang sering terlibat dalam suatu konflik terbuka, hal tersebut sesungguhnya memiliki solidaritas yang lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak terlibat konflik sama sekali.

c.      Konsekuensi Konflik
Konflik merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang senantiasa ada dalam kehidupan bersama. Sebenarnya konflik tidak usah dilenyapkan, akan tetapi perlu dikendalikan konflik akan senantiasa ada di masyarakat, hal tersebut karena dalam masyarakat itu terdapat otoritas. Hal tersebut dikandung maksud bahwa apabila di suatu pihak bertambah otoritasnya maka di lain pihak akan berkurang otoritasnya. Selain itu juga karena adanya perbedaan kepentingan antara kelompok satu dengan kelompok yang lain. 

Konflik dapat dikendalikan apabila kelompok yang terlibat dalam konflik dapat menyadari adanya konflik, dan perlu dilaksanakannya prinsip-prinsip keadilan. Di samping itu juga harus terorganisasi secara baik terutama yang menyangkut semua kekuatan sosial yang bertentangan. Dalam hal ini, apabila upaya pengendalian konflik itu tidak dilakukan maka konflik yang tertekan yang tidak tampak di permukaan, dapat meledak sewaktu-waktu dan merupakan tindakan kekerasan.

Konflik yang tertekan dapat menyebabkan putusnya hubungan, dan apabila emosionalnya meninggi maka putusnya hubungan tersebut dapat meledak secara tiba-tiba. Berkenaan dengan hal tersebut di atas maka perlu dibentuk saluran alternatif sehingga rasa dan sikap pertentangan dapat dikemukakan dengan tidak merusak solidaritas.


Kritik terhadap strukturalisme konflik
Walaupun Coser kadang-kadang ditempatkan di dalam satu paradigma yang berbeda dari kaum fungsionalis struktural lainnya, tetapi lewat kajian cermat atas karyanya terlihat bahwa Coser tetap memiliki komitmen dengan pandangan teoritis yang utama. Sumbangan Coser pada teori yang tetap terikat pada tradisi fungsionalisme. Coser mengatakan bahwa dia lebih menganggap teori konflik sebagai teori parsial daripada sebagai pendekatan yang dapat menjelaskan seluruh realitas sosial.

Collins (1975) dalam pembahasan sosiologi konflik tidak mengutip Coser, tidak pula memasukan Coser diantara reperensi yang dipakai dalam karyanya. Zetlin (1973) juga menyatakan bahwa Coser hampir sama dengan fungsionalisme. Bila dalam sosiologi terdapat paradigm konflik, pengarang sependapat dengan mereka menyatakan Coser bukan merupakan wakil paradigm ini. (Coser hanya membawa proses sosial ke dalam analisa struktural)

Pandangan Coser tentang teori sosiologis adalah suatu kesatuan pandangan yang mencakup teori-teori konflik maupun konsensus  yang parsial. Teori-teori parsial demikian itu merangsang para pengamat sehingga peka terhadap satu atau lebih perangkat data yang relevan bagi penjelasan teoritis yang menyeluruh. 

Dalam tradisi Durkheim, yang menekankan bahwa untuk menjelaskan fakta sosial, sosiologi harus menggunakan fakt-fakta sosial lainnya, Coser mengetengahkan kebutuhan teori sosiologis yang menggunakan indikator obyektif untuk menjelaskan realitas sosial. Bagi Coser realitas bukan merupakan realitas subyektif seperti rumusan Charles Horon Cooley atau George Herbert Mead, tetapi realitas obyektif seperti yang dimaksud oleh Durkheim dan kaum fungsionalisme lainnya. Dengan demikian orang dihambat oleh kekuatan struktur sosial yang membatasi kebebasan dan kreativitas.

Jelaslah bagi Coser maupun kaum fungsionalisme struktural bahwa struktur sosial ada di dalam dirinya sendiri dan bergerak sebagai kendala. Coser mengungkapkan “sosiologi konflik harus mencari nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan yang tertanam secara struktural sehingga membuat manusia saling terlibat dalam konflik, bilamana ia tidak ingin larutkan kedalam penjelasan psikologis mengenai agresivitas bawaan, dosa turunan, atau kebengalan manusia. Apa yang disumbangkan Coser kepada orientasi fungsionalisme ialah deskripsi mengenai bagaimana struktur-struktur sosial itu dapat merupakan produk konflik dan bagaimana mereka dipertahankan oleh konflik. Proposisinya sebagian besar berkisar di seputar intensitas dan fungsi konflik bagi lembaga-lembaga sosial.

Walaupun Coser terikat pada kesatuan teori masyrakat yang ilmiah, tetapi dia menolak setiap gerakan kearah naturalism atau determinisme yang ekstrim pada setiap tindakan manusia. Pendekatan ini terlihat dalam orientasi metodologisnya yang bebas menggunakan sejarah sebagai sumber data untuk mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya. 

Seperti banyak karya-karya yang disebut sebagai teori dalam sosiologi, karya Coser juga mengandung kelemahan-kelemahan metodologis. Secara naturalis konsep-konsepnya memang menyenangkan, tetapi tidak mungkin dijabarkan bagi penguji empiris. Contohnya dalam konsep nilai inti: bagaimana seseorang menentukan apakah masalah yang ada itu merupakan masalah nilai inti sampai kenyataan memang menunjukan  demikian, yitu setelah serangan terhadap nilai inti itu benar-benar menghancurkan struktur. Dalam konsep ini teori Coser itu terdapat kesan tautologis (penalaran yang berbelit-belit).




[1] Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014. Hal 226

[2] Poloma, M. Margaret, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013. Hal 107

[3] Rano, Bernard, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007. Hal 83-84

LihatTutupKomentar

Iklan