Tujuh Dosa para Perencana Pembangunan Menurut Mahbub Ul Haq
Menurut Burhanuddin (1994 : 167), perencanaan pada hakikatnya adalah aktivitas pengambilan keputusan tentang sasaran (objectives) apa yang akan dicari, tindakan apa yang diambil dalam rangka mencapai tujuan atau sasaran tersebut dan siapa yang akan melaksanakan tugas-tugas tersebut. Perencanaan adalah suatu cara untuk mencapai tujuan sebaik-baiknya (maximum out put) dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif. Sementara itu menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1999 : 12), perencanaan merupakan penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan dilakukannya dan oleh siapa dan siapa yang melakukannya.
kota merupakan momok, bahkan digambarkan dalam berbagai kita suci bahwa kota merupakan wajah keburukan dan kejahatan” (Horton, 1992 dalam M. Zaini Hasan dan Salladin, 2007 : 256). Sebagian literatur kadang mencela kawasan perkotaan (urban areas) yang berlebihan, sebagai pusat kejahatan dan dosa, tipudaya dan kemunafikan, kekotoran politik, ketidakaturan dan kepalsuan, serta berbagai persoalan yang berpangkal kejenuhan kota dari sisi-sisi jeleknya (Glazer, 1980 dalam M. Zaini Hasan dan Salladin, 2007 : 256).
Pada tahun 1995, Mahbub Ul Haq dalam “The Poverty Curtain” atau Tirai Kemiskinan (dalam Badrul Munir, 2002) mengemukakan ada “tujuh dosa” para perencana pembangunan, yaitu sebagai berikut:
Dosa pertama yaitu “permainan angka.” Mereka pemuja angka. Diam-diam mereka menganggap apa yang dapat diukur bermakna, apa yang tidak dapat diukur boleh diabaikan. Akibatnya, terlalu banyak menciptakan model-model ekonometri dan sedikit merumuskan kebijaksanaan ekonomi.
Dosa kedua yakni pengendalian yang berlebihan. Mereka cinta pengendalian langsung atas ekonomi. Cepat sekali dianggap bahwa merencanakan akan pembangunan itu berarti mendorong sektor pemerintah dan menjalankan pengendalian birokrasi guna mengatur kegiatan ekonomi, terutama di sektor swasta.
Dosa keempat yakni mode-mode yang berlebihan. Mereka kecanduan mode pembangunan. Hal ini terjadi karena ada perasaan ketakutan tidak akan mendapat bantuan. Jika mereka tidak ikut patuh dengan jalan pikiran yang sedang jadi mode di kalangan negara pemberi bantuan.
Dosa kelima adalah perencana dan pelaksana dipisahkan. Mereka memisahkan antara perencana dan pelaksana. Sebuah rencana yang baik biasanya disertai dengan langkah-langkah yang perlu diambil untuk melaksanakannya.
Dosa keenam yaitu sumber daya manusia diabaikan. Mereka cenderung mengabaikan sumber daya manusia. Walaupun banyak sanggahan, tetapi umumnya di sebagian besar negara sedang berkembang, sedikit sekali modal yang ditanam untuk mengembangkan sumber daya manusia.
Dan ketujuh, pertumbuhan tanpa keadilan. Mereka terpaku oleh laju pertumbuhan GNP yang tinggi dan mengabaikan tujuan pemerataan.
Menurut Rachbini (2000), birokrasi di Indonesia sebagai tulang punggung perencana pembangunan dihinggapi lima penyakit.
Baca juga artikel menarik lainnya:
- “Empire Builder”. Para birokrat di tingkat pusat dan di daerah berperan sebagai raja dan tuan feodal yang terus memperbesar kekuasaan dan birokrasi di bawahnya tanpa memperhitungkan efisiensi;
- “Cost Maximizens”, yang terlihat dari borosnya biaya pembangunan, mark-up, dan berbagai perilaku tidak efisien;
- “Free riders”, yaitu birokrasi yang besar tetapi produktivitasnya rendah, tidak menghasilkan output yang nyata;
- “Involutif”, penurunan kualitas yang terus-menerus dan semakin berperan mengganggu sistem pelayanan publik;
- sistem yang sakit tersebut kemudian menciptakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Inilah inti dari persoalan yang digugat dalam reformasi.
Baca juga artikel menarik lainnya: