KORUPSI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI DAN SUDUT PANDANG DARI BERBAGAI DISIPLIN ILMU


Abstrak:
Korupsi adalah perilaku penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan oleh seseorang yang menempati suatu kedudukan dalam organisasi formal untuk kepentingan yang bersifat pribadi. Sosiologi korupsi adalah salah satu bidang kajian sosiologi yang mendalami fenomena korupsi sebagai masalah sosial, struktural dan institusional. Korupsi dikaji dari berbagai pendekatan ilmu yang dapat digolongkan keldama tiga kelompok yaitu: pendekatan aktro rasional, pendekatan struktural, dan pendekatan relasional.
Sosiologi Korupsi                                             
Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai penyelewengan atau penyalah-gunaan uang negara/perusahaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Korupsi merupakan wujud dari disfungsi sosial dari adanya pengalokasian kekuasaan dan kewenangan yang tidak setara di tengah-tengah masyarakat. Dalan negara demokrasi, jabatan pada dasarnya merupakan seperangkat kekuasaan dan kewenangan yang diberikan oleh masyarakat banyak kepada seseorang. Namun dalam praktiknya, jabatan ini seringkali disalahgunakan untuk memuaskan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum.
Menurut Syed Hussein Alatas,[1] korupsi tidaklah terbatas pada tindak tanduk keputusan-keputusan spesifik, ia adalah suatu proses yang mencakup pembentukan sikap, perencanaan secara sengaja, antesedan-antesedan sejarah, mobilitas sosial, afiliasi kelompok, dan faktor-faktor sosiologis yang lain. Sementara itu menurut Joseph Nye, korupsi adalah perilaku yang menyimpang dari tugas resmi dalam peranan publik demi keuntungan yang bersifat pribadi (personal, keluaga dekat, dan kelompoknya); atau penggunaan pengaruh (kekuasaan) pribadi yang melanggar peraturan.[2]
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah perilaku seseorang yang menempati suatu jabatan dalam suatu instansi, yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan pubik yang dipercayakan kepadanya untuk memperkaya diri, keluarga dekat atau kepentingan kelompoknya.

Korupsi dalam Berbagai Sudut Pandang Ilmu
Secara konseptual, korupsi adalah fenomena yang sukar dipahami, literaturnya sangat besar. Namun, kurangnya komunikasi interdisipliner tentang tentang kajian korupsi menyebabkan model yang dikembangkan oleh berbagai disiplin akademis seringkali terisolasi satu sama lain. Meskipun demikian, setiap ilmu sosial telah memberikan sumbangan penting dan menarik dalam mengkaji korupsi, jadi perlu digambar lebih dekat satu sama lain. Berikut beberapa perspektif disiplin ilmu pengetahuan dalam mengkaji fenomena korupsi yang dikeluarkan oleh Kemendikbud :[3]
1.     Dalam perspektif ilmu hukum, korupsi dipandang sebagai kejahatan (crime), koruptor adalah penjahat dan oleh karenanya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menindak para koruptor dengan jerat-jerat hukum serta memberantas korupsi dengan memperkuat perangkat hukum seperti undang-undang dan aparat hukum.
2.     Dalam perspektif ilmu politik, korupsi dipandang sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para politisi dalam birokrasi. Korupsi cenderung terjadi di ranah politik, khususnya korupsi besar (grand corruption).
3.     Dalam perspektif agama, korupsi dipandang sebagai dampak dari lemahnya nilai-nilai agama dalam diri individu, dan oleh karenanya upaya yang harus dilakukan adalah memperkokoh internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam diri individu dan masyarakat untuk mencegah tindakan korupsi kecil (petty corruption), dan korupsi besar (grand corruption).
4.     Sementara itu dalam perspektif sosiologi, korupsi dipandang sebagai sebuah masalah sosial, masalah institusional dan masalah struktural, korupsi terjadi di semua sektor dan dilakukan oleh sebagian bersar lapisan masayrakat, sehingga korupsi dilihat sebagai penyakit sosial (patologi sosial).
Berdasarkan uaraian di atas, maka sangatlah jelas sekali perbedaan yang kontras perspektif antar berbagai disiplin ilmu dalam mekaji fenomena korupsi. Dalam perspektif hukum, korupsi dipandang sebagai tindakan kejahatan yang harus diberantas. Kemudian dalam perspektif politik, korupsi dipandang sebagai tidakan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan oleh birokrat. Selanjutnya, dalam perspektif agama korupsi dipandang sebagai tindakan tercela yang diakibatkan oleh lemahnya iman. Sementara itu, dalam sudut pandang sosiologi, korupsi dipandang sebagai masalah sosial, masalah institusional, masalah struktural dan penyakit sosial yang diterjadi di tengah-tengah masyarakat.
Sementara itu David Jancsics dalam makalahnya yang berjudul Interdisciplinary Perspectives on Corruption mengulas konsep korupsi yang diambil dari antropologi sosial, ekonomi, ilmu politik, psikologi sosial, sosiologi, dan studi organisasi, yang kemudian dikelompokan kedalam 3 kategori utama:[4]
1.     Model aktor rasional
Pendekatan ini memandang bahwa korupsi dihasilkan dari analisis biaya/manfaat aktor perorangan. Korupsi dilihat sebagai keputusan paling rasional yang dilakukan oleh si aktor untuk memaksimalkan keuntungan pribadi mereka. Korupsi bisa saja terjadi ketika biaya yang ia keluarkan untuk menempati suatu posisi/jabatan lebih besar daripada insentif (gaji) yang ia dapatkan. Sehingga, solusinya yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan gaji kepada pegawai dan memperberat sanksi tindakan korupsi.
2.     Model struktural
Pendekatan strukturan berfokus pada faktor eksternal (kekuatan luar) sebagai penyebab tindakan korupsi. Menurut pendekatan ini, korupsi didorong oleh norma dan kendala sosial material dimana struktur yang ada memberikan kesempatan untuk melakukan praktik korupsi. Studi perbandingan lintas negara berpendapat bahwa korupsi lebih tinggi di negara-negara di mana bentuk-bentuk agama yang lebih hierarkis seperti Katolik, Ortodoksi Timur, dan Islam berlaku, sedangkan tingkat korupsi cenderung lebih rendah di negara-negara dengan proporsi populasi Protestan yang lebih besar.
3.     Model relasional
Model relasional menekankan kajian korupsi pada interaksi sosial dan jaringan antar aktor korup. Model ini mengkaji aktivitas ilegal dengan brfokus pada hubungan interpersonal seperti bentuk pertukaran non-moneter, timbal balik, bantuan, dan interaksi lainnya antara aktor korup di tingkat kelompok kecil. Korupsi dilihat sebagai jaringan pertukaran informal di balik struktur organisasi formal. Pemberian hadiah menyebabkan adanya hadiah-hadiah yang harus dilunasi di masa depan. Model analisis ini barangkali dapat terapkan pada hubungan antara pengusaha yang memberikan dukungan materiil kepada seorang calon pejabat negara yang kemudian harus dibalas ketika ia sudah menjabat nanti dengan memberikan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan.

SUMBER REFERENSI:

Jancsics, David. 2014. Interdisciplinary Perspectives on Corruption, CUNY Graduate Center and Rutgers University– Newark
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2011 Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi.
Bratsis, Peter. 2003. The Contruction of Corruption, or Rules of Separation and Illusions of Purity In Bougeois Societies. Terjemahan Bebas. Social Text 77, Vol. 21, No. 4, Duke University Press, 2003
Alatas, Syed Hussein. 1975. Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES.


[1] Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi. (Jakarta, LP3ES, Cetakan kedua 1975), h. 25
[2] Joseph Nye dalam Peter Bratsis, The Contruction of Corruption, or Rules of Separation and Illusions of Purity In Bougeois Societies. Terjemahan Bebas. Social Text 77, Vol. 21, No. 4, Duke University Press, 2003, h. 10
[3] Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi, 2011 h. 5
[4] David Jancsics, Interdisciplinary Perspectives on Corruption, CUNY Graduate Center and Rutgers University– Newark, 2014


LihatTutupKomentar

Iklan