Modernitas (Proyek yang Belum Selesai) – Jurgten Habermas
Habermas adalah seorang pemikir sosial yang lahir pada tahun 1929
di Jerman dan berasal dari keluarga kelas menengah yang tradisional. Pada usia
belasan tahun, Habermas dihadapkan pada situasi eksternal yang penuh gejolak,
yaitu perang dunia II. Berakhirnya kekuasaan nazisme di Jerman menyebabkan
lahirnya optimisme dimana dunia intelektual Jerman kembali bergairah dan
buku-buku yang semula dilarang, boleh dibaca kembali. Termasuk literatur Barat
dan Jerman maupun risalah yang ditulis oleh Marx dan Engels.
Berbeda halnya dengan kebanyakan pemikir kotemporer yang memandang
bahwa era modern yang menunjunjung tinggi rasionalitas telah berakhir, Habermas
justru berpikir sebaliknya. Menurutnya modernitas adalah suatu proyek yang
belum selesai dan memandang optimis masa depan masyarakat modern yang dibimbing
oleh nalar. Habermas melihat adanya keteraturan institusional struktur
modernitas rasionalitas. Ia mengkritik kesalahan para pemikir posmodern yang
mengorbankan ilmu, terutama tentang ilmu kehidupan dunia. Pemisahan ilmu dari
kehidupan dunia dan menyerahkan kepada ahli berarti “penyerahan proyek
modernitas seluruhnya”. Habermas merasa pemikir posmodern dijiwai oleh sentimen
normatif.
Habermas pernah menjadi pemikir neo-Marxis yang paling terkenal di
dunia. Namun kemudia ia memperluas karyanya dengan memasukan unsur teoritis
yang berbeda. Habermas berpandangan optimis terhadap masa depan kehidupan
masyarakat modern. Ia melihat modernitas sebagai proyek yang belum selesai. Kesamaan
antara Marx dan Habermas adalah
sama-sama merupakan pemikir modernitas yang meyakini bahwa dimasa hidup
mereka, proyek modernitas masih belum selesai. Hanya saja bedanya menurut Marx
adalah akan tercipta pekerjaan penuh dan kreatif, sementara menurut Habermas
adalah terciptanya komunikasi bebas dan terbuka.
Jika Marx memusatkan perhatian pada kerja dan tenaga kerja, maka
Habermas memusatkan perhatian pada masalah komunikasi yang ia anggap sebagai
proses yang lebiha umum ketimbang pekerjaan. Jika Marx memusatkan perhatian
pada pengaruh distortif dari struktur masyarakat kapitalis terhadap pekerjaan,
Habermas memusatkan perhatian pada cara struktur masyarakat mendistorsi
komunikasi. Jika Marx membayangkan masa depan ditandai oleh pekerjaan penuh dan
tenaga kreatif, Habermas membayangkan masyarakat masa depan ditandai oleh
komunikasi bebas dan terbuka.[1]
Habermas berpandangan bahwa bahwa masyarakat rasional akan menjadi
sebuah masayrakat dimana sistem dan kehidupan dunia mungkin akan menjadi
rasional menurut caranya sendiri, mengkuti logikanya sendiri. Menurutnya,
rasionalisasi sistem dan kehidupan dunia dapat menimbulkan kemakmuran dan
pengendalian terhadap lingkungannya sebagai akibat dari sistem rasional dan
sistem kebenaran, kebajikan dan keindahan yang berasal dari kehidupan dunia
yang rasional. Namun dalam kehidupan modern, sistem menjadi dominan dan
menjajaha kehidupan dominan. Akibatnya adalah, meskin kita menikmati buah
sistem rasionalisasi, kita terampas dari kekayaan hidup yang berasal dari
kehidupan dunia yang mungkin berkembang.[2]
Menurut Habermas, penyelesaian masalah yang dilakukan oleh
negara-negara kesehateraan sosial yang birokratis dan modern dengan menambah
subsistem baru tidak akan pernah terselesaikan. Masalah tersebut harus
diselesaikan dalam rangka hubungan antara sistem dan kehidupan dunia. Pertama,
rintangan pengendali (restraining barrier) harus digunakan untuk
mengurangi pengaruh sistem terhadap kehidupan dunia. Kedua, sensor harus
dibangun untuk meningkatkan pengaruh kehidupan dunia terhadap sistem. Dengan
demikian ia berksimpulan bahwa menurutnya permasalahan kontemporer tidak dapat
diselesaikan dengan sistem pembelajaran untuk berfungsi secara lebih baik.
Impuls-impuls kehidupan dunia harus berperan dalam pengendalian sendiri dari
sistem fungsional.
Setidaknya terdapat empat kritik Habermas yang ditujukan kepada
para pemikir posmodern, yaitu:
1. Para
pemikir post-modernis dinilai kurang tegas mengenai apakah mereka mencitakan
teori yang serius atau kesusastraan.
2. Habermas
merasa bahwa pemikir pos-modern dijiwai oleh sentimen normatif, namun sentimen mereka itu
disembunyikan dari pembaca, sehingga tak dapat memahami apa sebenarnya maksud
pemikir post modern itu, dan mengapa mereka mengkritik masayrakat dari sudut
pandang dan tujuan mereka sendiri.
3. Habermas
menudur perspektif post-modern sebagai perspektif gagal dalam membedakan
praktik dan fenomena yang terjadi dalam masyarakat modern.
4. Pemikir
post modern dianggap mengabaikan praktik kehidupan dunia, yang justru menjadi
sasaran mutlak Habermas. Kekeluruan ini merepakan kerugian ganda bagi pemikir
post modern.