Analisis Teori Strukturalisme Konflik Lewis Coser pada Kasus Yerusalem





Kita akan mengawali pembahasan ini dengan teori strukturalisme konflik dari Lewis Coser yang akan kita gunakan sebagai pisau analisisnya. Menurut Coser, konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental (penolong) dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya. Dalam teorinya, Coser menyebutkan beberapa fungsi dari konflik, yaitu sebagai berikut:

1.       Konflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar. Dalam masyarakat yang terancam disintegrasi, konflik dengan masyarakat lain bisa menjadi kekuatan yang mempersatukan.
2.       Konflik dengan kelompok lain dapat menghasilkan solidaritas di dalam kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarkannya kepada aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok lain.
3.       Konflik juga bisa menyebakan anggota-anggota masyarakat yang terisolir  menjadi berperan secara aktif.
4.       Konflik juga bisa berfungsi untuk berkomunikasi, saat terjadi konflik, anggota-anggota masyarakat akan berkumpul dan merencanakan apa yang akan dilakukan. Lewat tukar menukar pikiran itu mereka bisa mendapat gambaran yang lebih jelas akan apa yang harus dibuat baik itu untuk mengalahkan lawan ataupun untuk menciptakan perdamaian.[1]

Tepatnya pada hari 6 Desember lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trum mengumumkan pemindahan kedutaan AS ke Yerusalem dan sekaligus mengakui secara resmi kota tersebut sebagai ibu kota Israel. Dalam pernyataan pers di Gedung Putih, Trump mengatakan bahwa Israel memiliki hak untuk menentukan ibu kotanya.

“... Saya memutuskan ini waktunya untuk secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel...” tutur Trump sambil mengangkat sebelah tangannya.

Pernyataan tersebut sontak menggegerkan dunia internasional dan mengundang banyak kecaman dari berbagai penjuru negara, terutama negara muslim.  Misalnya Turki, Presiden Erdogan dalam pidatonya dengan tegas menyatakan kecamannya terhadap tindakan AS tersebut.

“ .... Saya ingin menyampaikan kesedihanku terkait dengan laporan bahwasannya Amerika Serikat sedang mempersiapkan diri untuk menyatakan bahwa Al-Quds (Yerusalem) adalah ibukota Israel. Al-Quds, Tuan Trump, Al-Quds adalah red line (lambang batas kesabaran) umat muslim. Ketika penduduk Palestina semakin parah, pelanggaran HAM, persekusi dan serangan terus berlanjut, mengambil keputusan yang mendukung Israel tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga menginjak-nginjak nurani kemanusiaan. Sebagai tuan rumah pertemuan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) kami akan menindak lanjuti permasalahan ini dengan tegas. Jika keinginan itu tetap dijalankan, kami akan mengadakan pertemuan dengan pimpinan negara OKI di Istanbul dalam 5-10 hari. Dan kami akan melangkah lebih jauh, kami akan memobilisasi muslim di seluruh dunia dengan adanya kejadian ini.....” ucap Erdogan.

Pernyataan Trump soal pengakuan Yerusalem sebagai Ibukota Israel yang menimbulkan banyak kecaman tersebut menjadi sebuah peluang bagi kebangkitan pergerakan Islam internasional. Selama ini isu persatuan umat Islam internasional yang di usung oleh berbagai organisasi berbasis keislaman dianggap sebagai utophia. Namun siapa sangka, justru dengan kejadian ini umat Islam di seluruh dunia menjadi semakin tergerak untuk melakukan konsolidasi.

Dalam kancah politik internasional ini sudah jelas bahwa Amerika Serikat dan Israel adalah musuh bersama yang harus dilawan oleh umat Islam. Berbagai pelanggaran HAM, persekusi dan penindasan lainnya terhadap warga Palestina  oleh Israel menjadi narasi utama yang untuk membangkitakan reakis umat. Organisasi pergerakan Islam internasional kini telah menemukan momentumnya. Maka bukan suatu hal yang utopis ketika reaksi kemarahan umat Islam di seluruh penjuru dunia ini menjadi peluang yang strategis untuk mengobarkan semangat persatuan dan perlawanan terhadap AS dan Israel sebagai musuh bersama.






Sebagaimana konsep fungsi konflik dari Coser di atas, bahwa konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang terstruktur secara longgar. Kondisi ini persis dengan apa yang terjadi pada umat muslim saat ini. Sebelumnya, ikatan persatuan umat muslim dunia sudah melonggar oleh sekat-sekat wilayah dan fragmentasi pemikiran. Bahkan banyak pengamat politik yang menyatakan bahwa kebangkitan persatuan Islam internasional hanyalah utopia belaka. Namun tidak bisa dipungkiri lagi, saat ketegangan internasional mucul dan konflik timur tengah semakin memanas akhibat pernyataan Trump tersebut, maka isu-isu persatuan pun mulai laku kembali diperbicangkan. Rasa empati terhadap saudara muslim di Palestina semakin meningkat, sentimen dan gelora permusuhan terhadap AS-Israel pun semakin menggebu-gebu. Kejadian ini merupakan momentun yang pas bagi pergerakan Islam internasional untuk melakukan framimng dan memobilisasi massa.

Fungsi konflik yang kedua sebagai mana telah disebutkan diatas adalah menghantarkan kelompok yang terlibat konflik tersebut pada pembentukan aliansi-aliansi. Sebelumnya sebagaimana kita ketahui fragmentasi pemikiran Islam sangatlah banyak. Masing-masing mempunyai cita-cita pergerakkannya sendiri. Namun dengan adanya konflik tersebut, orang-orang mulai disatukan dengan sentimen-sentimen kebencian terhadap AS dan Israel. Berbagai kelompok yang terfragmentasi tersebut disatukan oleh perasaan yang sama, yaitu kebencian atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Palestina. Tidak hanya di kalangan umat muslim, bahkan Korea Utara pun mengeluarkan pernyataan dukungan terhadap kaum muslim Palestina dan turut mengecam tindakan AS tersebut.

Fungsi konflik yang ketiga menurut Coser di atas adalah menyebakan anggota-anggota masyarakat yang terisolir  menjadi berperan secara aktif. Hal ini dapat kita lihat, sebelumnya masih banyak orang yang tidak terlalu peduli dengan isu-isu persatuan umat. Dengan adanya konflik ini, beberapa kalangan masyarakat yang tadi kurang peduli terhadap isu persatuan tersebut mulai tergerak hatinya untuk ikut terlibat dalam gerakan, baik itu berupa doa-doa, aksi massa, sumbangan dan lain sebagainya.

Fungsi terakhir dari koflik menurut Coser adalah meningkatkan intensitas dan jalinan komunikasi. Hal ini sudah barang tentu sangat logis, mengingat kerekatan sosial yang ada dalam kelompok tersebut meningkat dan perlu adanya upaya konsolidasi umat, maka komunikasi menjadi tulang punggung dari resistensi sosial kelompok. saat terjadi konflik, anggota-anggota masyarakat akan berkumpul dan merencanakan apa yang akan dilakukan. Lewat tukar menukar pikiran itu mereka bisa mendapat gambaran yang lebih jelas akan apa yang harus dibuat baik itu untuk mengalahkan lawan ataupun untuk menciptakan perdamaian.






[1] Rano, Bernard, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007. Hal 83-84

LihatTutupKomentar

Iklan