KONSEP UMMAH DAN IMAMAH MENURUT ALI SYARIATI




Ali Syari’ati menggunaan istilah ummah untuk menyebut konsep masyarakat ideal yang diharapkan olehnya. Keistimewaan ummah menurutnya adalah menempatkan kebersamaan dalam arah tertentu serta pembentukan kekerabatan baik lahir dan batin sebagai ciri dasar yang mengikat umat manusia. Istilah ummah merupakan istilah yang dinamis dengan landasan ideologi yang bergerak mengarah pada tujuan bersama.

Menurut Ali Syari’ati, ummah merupakan sekumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang sama, yang satu sama lain bahu membahu agar bisa bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan, berdasarkan suatu kepemimpinan bersama. Dari pengertian tersebut, maka dapat kita ketahui bahwa konsep ummah tersebut terdiri dari 3 unsur, yaitu: (1) persamaan tujuan yang dimiliki oleh sekelompokmorang; (2) adanya pergerakkan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut; (3) keharusan akan adanya pemimpin dan petunjuk kolektif atau imamah.

Imamah merupakan refleksi tentang petunjuk yang diberikan kepada ummah yang akan mengantarkan mereka sampai tujuan. Artinya, untuk mewujudkan ummah atau masyarakat ideal yang dicita-citakan oleh Ali Syari’ati, maka harus ada seorang pemimpim yang menjadi petunjuk kolektif yang menggerakkan anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Ummah adalah refleksi dari akidah dan kebersamaan yang mensyaratkan adanya pemimpin (imamah) uang bertanggungjawab dan dapat diterima oleh semua orang serta mengharuskan mereka bergerak menuju arah yang sama dan tujuan secara bersama-sama.


Dengan demikian, konsep ummah dan imamah merupakan terminologi yang pembahasannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ummah adalah komunitas Muslim atau masyarakat penuh persaudaraan yang bersandarkan pada kepemilikan manusia dan tiadanya penggalian dan ekspolitasi. Menurutnya, sebuah masyarakat tanpa kelas bukanlah suatu tujuan sebagaimana disuarakan kaum sosialis Barat, melainkan suatu prinsip. Masyarakat ideal yang dibekali dengan Kitab, timbangan, dan besi, digambarkan sosok bagaikan Tuhan yang padanya roh Allah telah menang atas lumpur tempat dari mana manusia tecipta.

Orang yang menyelami nilai-nilai al-Quran dan keadilan, akan secara terus menerus memberontak terhadap status quo Kabilian (kaum penindas) guna menegakkan masyarakat ideal. Kepemilikan besi, yang mewakili kekuatan militer, membuka jalan lempang ke arah penegakkan sebuah masyarakat yang adil tanpa kelas. Menekankan pentingnya perjuangan bersenjata, Syariati menegaskan bahwa tanpa senjata, kesadaran dan keyakinan sendiri tidak akan mampu menggapai masyarakat yang ideal. Menguraikan jalan pada kesempurnaan individual yang absolut, Syariati merenungkan tentang kebajikan isar atau pengorbanan diri. Tawakkal hanya kepada Allah dan berontak menentang semua bentuk penindasan dan kekuatan, manusia ideal diseru untuk mengambil langkah pertama kearah terciptanya surga manusia yang dijanjikan di bumi dengan memberontak terhadap kaum penguasa.

Islam sebagai ideologi akan ummah yang beradab dan dinamis yang menentang segala bentuk kekufuran dan kejumudan. Tuhan mengirim seorang Nabi selalu berasal dari rakyat biasa yang tidak saja memahami betul kondisi masyarakat, tetapi ia memiliki kesadaran untuk melakukan perubahan. Menurut Syari’ati,  fungsi kenabian tersebut harus dilanjutkan, dan yang bisa melanjutkan posisi Nabi saat ini adalah seorang raushanfekr yang mengarahkan dan mengajarkan masyarakatnya tentang cara untuk berubah. Raushanfekr adalah seorang pemikir yang tercerahkan, yaitu orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” di masanya serta seting kesejarahannya dan masyarakatnya.[1]

Dalam gambaran Syariati, pemimpin ummah yang mampu mengemban amanah Tuhan hanyalah manusia ideal. Manusia ideal kata Syariati adalah manusia yang di dalam dirinya hadir kesadaran Tuhan dan mampu mengenyahkan dimensi-dimensi syetan. Manusia ideal adalah theomorfis yang telah bebas dari kontradiksi dua infinita. Manusia ideal memiliki tiga aspek, yaitu kebenaran, kebajikan,dan keindahan. Menurut fitrahnya, dia adalah khalifah Allah. Manusia ideal adalah kehendak yang memiliki komitmen dengan tiga macam dimensi, yaitu kesadaran, kemerdekaan, dan kreatifitas.

Menurut Syari’ati, raushanfekr lebih pantas memegang pemerintahan dari pada ulama. Baginya, kaum ulama tidak berhak memonopoli kebenaran di bidang agama, karena para ulama sama sekali tidak bisa lepas tangan dari terciptanya kemunduran di dunia Islam. Manurut Syari’ati, selama ini kaum ulama telah menafsirkan ajaran-ajaran agama yang justru hanya menguntungkan kalangan istana. Menurutnya, mereka yang bukan ulama bisa justru dapat memahami ajaran Islam dengan lebih murni, berfikir dan hidup secara lebih Islami dibandingkan dengan seorang ahli hukum atau filosof.

Ia juga menyalahkan ulama yang telah menjadi salah satu penyebab keberhasilan yang dicapai oleh kaum imperialis, karena akibat kekeras kepalaan para ulamalah yang menggiring para generasi muda Iran mencari perlindungan dalam kebudayaan Barat. Maka dari itu sangat sedikit dari karya-karyanya yang sejalan dengan pendapat ulama. Bahkan para ulama sering menuduhnya sebagai agen sunni, wahabiah, dan bahkan komunisme.

Menurut Ali Syariati secara sosiologis, ia berkeyakinan bahwa ketiadaan imamah adalah sumber munculnya problem-problem ummah, bahkan manusia secara umum. Imam, menurut Ali Syari’ati adalah seorang pahlawan, idola-insan kamil dan syahid (saksi) yang menuruti polanya umat manusia menyempurnakan diri. Tanpa pola seperti itu, umat manusia akan mengalami disorientasi dan alienasi.[2] Syari’ati menunjukkan bahwa sepanjang zaman, masyarakat manusia selalu butuh kepada semacam hero atau idola seperti itu untuk eksistensi dan survive-nya. 

Setelah menunjukkan kedudukan Ummah sebagai kelompok manusia yang bergerak maju bersama-sama menuju satu tujuan kesempurnaan, Syari’ati menunjukkan keharusan adanya Imamah sebagai pembimbing proses ini. Imam, dalam kerangka ini, bukanlah pelayan dan administrator kepentingan ummah, melainkan reformer-nya. Ia membimbing dan membentuk masyarakat menurut ideal manusia, sebagaimana diyakininya, dan bukan menurut keinginan dan restu orang-orang yang dipimpinnya.

Sebagaimana halnya dengan istilah ummah, istilah imamah menampakkan diri dalam bentuk sikap sempurna, dimana seseorang dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan pendinamisan massa. Penstabilan dalam konsep ini masalahnya adalah menguasai massa sehingga berada dalam stabilitas dan ketenangan, yang kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit dan bahaya. Sedangkan pendinamisan dalam konsep ini masalahnya berkenaan dengan asas kemajuan dan perubahan ideologis, sosial dan keyakinan serta menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal.

Dengan demikian imamah bukanlah sebuah lembaga yang anggota-anggotanya menikmati kenyamanan dan kebahagiaan yang mapan, dan bukan pula lembaga yang melepaskan diri dari kepemimpinan dan tanggung jawab dari persoalan kesejahteraan umat. Dalam kosa kata yang menjadi favorit Syari’ati, imamah berasosiasi dengan siyasah yang revolusioner, dan bukan politique yang kompromistis.

Imamah tidak diperoleh dari proses pemilihan layaknya pemilihan kepala negara, kepala suku atau lainnya. Melainkan melalui pembuktian kemampuan seseorang. Artinya kehadiran seorang imam bukanlah atas kehendak sebagian orang yang lalu memilih dan mengangkatnya sebagai imam. Namun ia hadir karena kepribadiannya yang menunjukkan keteladanan, syahid, penuh dengan uswah dan dapat dijadikan panutan. Dapat dikatakan bahwa ia adalah manusia yang sempurna (insan kamil).




Sumber Referensi:

Jauhari, B. Imam. 2012. Toeri Sosial: Proses Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syari’ati, Ali. 1989. Ummah dan Imamah. Terjemahan Afif Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah.




[1] Imam B. Jaurhari. Teori Sosial: Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 42
[2] Ali Syari`ati, Ummah dan Imamah. Terjemahan Afif Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1989), h. 17.
LihatTutupKomentar

Iklan