Ilmu Sosial Profetik – Kuntowijoyo




Bila kita berbicara mengenai Sosiologi Islam, mungkin tak lengkap rasanya bila kita tak berbicara tentang ilmu sosial profetik dari Kuntowijoyo. Dalam perkembangannya, Ilmu Sosial Profetik muncul sebagai bentuk perlawanan atas hegemoni positivisme, materialisme dan sekularisme yang membelenggu dunia pendidikan yang cenderung mengalami proses dehumanisasi. Selama ini raksasa positivisme yang menguasai dunia pendidikan modern hanya memproduksi sarjana-sarjana ilmu sosial apatis (non-ethis) yang merasa puas atas hasil analisis mereka.

Sebagai orang yang paling paham akan kecenderungan sosial masyarakat, sarjana ilmu sosial seharusnya tidak merasa puas hanya dengan memahami fenomena-fenomena ilmu sosial semata, melainkan juga harus mempunyai kepedulian akan transformasi sosial yang terarah. Kuntowijoyo, sebagai penggagas utama paradigma Ilmu Sosial Profetik meyatakan bahwa Ilmu Sosial Profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa?

Latar Belakang Gagasan Ilmu Sosial Profetik
Menurut Kuntowijoyo, asal-usul dari pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik itu berasal dari tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Muhammad Iqbal dalam pembicaraannya mengenai peristiwa mi’raj mengatakan bahwa seandainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi, tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi, karena telah merasa tenteram bertemu dengan Tuhan dan berada di sisi-Nya. Nabi kembali ke bumi untuk menggerakan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah. Beliau memulai suatu transformasi sosial budaya, berdasarkan cita-cita profetik.[1]

Roger Garaudy adalah seorang ahli filsafat Prancis yang masuk Islam. Robert Garaudy mengatakan bahwa ditengah hancurnya peradaban umat manusia dimana filsafat barat memiliki banyak kelemahan, maka kita sebaiknya menghidupkan kembali warisan Islam yang telah ada, yaitu filsafat kenabian (filsafat profetika) dari Islam. Kuntowijoyo mengambil gagasan dua pemikir tersebut dalam rangka mengembangkan ilmu sosial yang liberatif, transformatif dan transendental.

Gagasan mengenai ilmu sosial profetik ini dipicu oleh perdebatan yang terjadi di kalangan cendekiawan Islam mengenai teologi, yang terjadi dalam sebuah seminar di Kaliurang, Yogyakarta. Saat itu ada dua kubu yang berseberangan pendapat di situ, yakni kubu teologi konvensional, yang mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, “yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan skolastik” dengan kubu teologi transformatif, yang memaknai teologi sebagai “penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan”. Untuk mengatasi kemacetan dialog ini Kuntowijoyo mengusulkan digantinya istilah teologi menjadi ilmu sosial, sehingga istilah Teologi Transformatif diubah menjadi Ilmu Sosial Transformatif.

Kemudian, peristiwa lain yang memicu gagasan ilmu sosial profetik ini adalah Kongres Psikologi Islam I di Solo, 10 Oktober 2003 dimana pada saat itu ada yang memakai istilah “Islamisasi pengetahuan”. Kuntowijoyo merasa khawatir, karena sebuah gerakan intelektual yang sarat nilai keagamaan disamakan dengan gerakan bisnis pragmatis. Oleh karena itu ia tidak lagi memakai istilah “Islamisasi pengetahuan”, dan mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh, dan mengganti “Islamisasi pengetahuan” menjadi “pengilmuan Islam”, serta dari reaktif menjadi proaktif.

Menurutnya, akan sangat tidak realitstis jika kita memandang pengaruh-pengaruh barat dalam hal Islamisasi sains ini dalam perspektif dikonomis. Sekalipun pada tujuan finalnya kita memang harus berusaha untuk mendekati cita-cita Islam yang otentik, karena kita yakin bahwa Islam merupakan sebuah alternatif, tapi dalam proses globalisasi dan universalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang terjadi dewasa ini, kita harus membuka diri terhadap seluruh warisan peradaban.[2]

Dalam bukunya yang berjudul “Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika”, ia menyatakan bahwa pengembangan paradigma Islam itu merupakan langkah pertama dan strategis ke arah pembangunan Islam sebagai sistem, gerakan sosial-budaya ke arah sistem Islam yang kaffah, modern dan berkeadaban. Dengan demikian, Islam akan lebih credible bagi pemeluknya dan bagi non-Muslim.

Tujuan dari Ilmu Sosial Profetik
Kuntowijoyo mengemukakan bahwa ilmu sosial saat ini tengah mengalami kemandegan, sehingga muncul kemudian ilmu Sosial Transformatif. Ilmu sosial profetik “secara sengaja memuat kandungan nilai-nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya”. Menurut Kuntowijoyo hal itu berarti bahwa perubahan tersebut didasarkan pada cita-cita humanisasi (emansipasi), liberasi (pembebasan) dan transendensi. Ini merupakan cita-cita profetik yang diturunkan dari misi historis Islam sebagaimana kandungan surat surat Ali Imran ayat 110, yang berbunyi:



كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ 

Kamu adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah. (QS. Ali-Imran [3]: 110)


Menurut Kuntowijoyo,[3] terdapat beberapa makna filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu: masyarakat utama (khairu ummah), kesadaran sejarah (ukhrijat linnas), humanisasi (amr ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (al-iman billah). Menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah, menurut Kuntowijoyo adalah karakteristik dari ilmu sosial profetik. Ia mentrasformasikan tiga nilai tersebut ke dalam ilmu sosial, yakni humanisasi, liberasi dan transendensi.

Humanisasi merupakan manifestasi amar ma’ruf. Kemudian, liberasi atau pembebasan merupakan manifestasi dari nilai nahi munkar. Sementara itu transendensi merupakan manifestasi dari nilai tu’minuuna billaah. Menurutnya, prinsip humanisasi dan liberasi harus bersandar pada prinsip transendensi. Ketiga konsep tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan satu sama lain.

Menurut Kuntowijoyo,[3] terdapat beberapa makna filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu: masyarakat utama (khairu ummah), kesadaran sejarah (ukhrijat linnas), humanisasi (amr ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (al-iman billah). Menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah, menurut Kuntowijoyo adalah karakteristik dari ilmu sosial profetik. Ia mentrasformasikan tiga nilai tersebut ke dalam ilmu sosial, yakni humanisasi, liberasi dan transendensi.

Menurut Kuntowijoyo,[1] terdapat beberapa makna filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu: masyarakat utama (khairu ummah), kesadaran sejarah (ukhrijat linnas), humanisasi (amr ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (al-iman billah). Menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah, menurut Kuntowijoyo adalah karakteristik dari ilmu sosial profetik. Ia mentrasformasikan tiga nilai tersebut ke dalam ilmu sosial, yakni humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi merupakan manifestasi amar ma’ruf. Kemudian, liberasi atau pembebasan merupakan manifestasi dari nilai nahi munkar. Sementara itu transendensi merupakan manifestasi dari nilai tu’minuuna billaah. Menurutnya, prinsip humanisasi dan liberasi harus bersandar pada prinsip transendensi. Ketiga konsep tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan satu sama lain.

1. Humanisasi
Humanisasi adalah memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan (materialisme), ketergantungan, kekerasan dan penindasan. Manusia saat ini menurutnya sedang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial yang menjadikan manusia sebagai masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami objektivasi ketika berada ditengah-tengah mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu teknologi juga telah membantu kecenderungan reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial.[4]

Konsep humanisasi dalam ilmu sosial profetik sebenarnya hampirsama dengan konsep humanisasi liberalisme Barat. Bedanya, humanisasi liberalisme Barat bersifat antroposentris dimana manusia menjadi pusat dari segalanya, sementara humanisasi ilmu sosial profetik Kuntowijoyo bersifat Teosentris. Hal tersebut berkaitan dengan konsep transendensi. Sebagaimana ia telah mengatakan bahwa: 


Humanisme Islam adalah humanisme teosentrik, artinya merupakan sebuah agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan tetapi mengarahkan perjuangannya pada untuk kemuliaan peradaban manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang kemudian akan ditransformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya.[5]

Atas dasar hal tersebut, maka jelaslah teosentris yang dimaksud dalam Islam juga berbeda dengan teosentrisnya dalam agama lain dimana dalam Islam tidak dikenal sistem pemikiran panteologisme atau pemikiran serba teologi yang cenderung meremehkan pemikiran rasio. Meskipun Al-Qur’an bertindak sebagai petunjuk utama bagi manusia (huda linnas), tetapi di dalamnya juga termuat anjuran untuk berpikir menggunakan akal dan observasi untuk memperoleh kebenaran atas dasar petunjuk wahyu.

2. Liberasi
Liberasi maksudnya adalah pembebasan manusia dari sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu umat manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai mahluk yang mulia dan merdeka. Tujuan dari liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa.[6]  Prinsip ini mendorong untuk mengangkat isu-isu kemanusiaan seperti kemiskinan, eksploitasi, dominasi struktural yang cenderung menindas dan hegemoni ideologi, prinsip ini berangkat dari isu-isu aktual dan fenomena empiris – terapi tetap berada dalam sandaran transendental dari agama yang ditransformasi dalam wilayah praxis. [7]

3. Transendesi
Transendensi merupakan nila-nilai keimanan manusia kepada Allah yang terwujud dalam bentuk tauhid. Transendensi merupakan nilai pokok utama yang menjadi sandaran dari proses humanisasi dan liberasi. Transendensi inilah yang  membedakan bentuk-bentuk humanisasi dan liberasi dalam ilmu sosial profetik dengan ilmu sosial Barat yang atroposentris. Sistem pengetahuan barat menjadikan manusia sebagai pusat dari segalanya.

Melalui proyek rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Rasio mengajari manusia cara berpikir, bukan cara hidup. Rasio menciptakan alat-alat bukan kesadaran. Rasio mengajari cara manusia untuk hidup, bukan memaknainya. Sehingga pada akhirnya manusia menjalani hidup tanpa makna. Transendensi memberi arah kemana dan tujuan apa humanisasi dan liberasi dilakukan. Prinsip ini juga berfungsi sebagai media untuk menata ulang umat manusia, sekaligus sebagai barometer untuk mengukur kemajuan dan kemunduran peradaban umat manusia.

Epistemologi
Kuntowijoyo menempatkan wahyu dalam posisi yang sangat penting dalam epistemologi ilmu sosial profetiknya. Menurutnya, unsur wahyu inilah yang membedakan epistemologi Islam dengan cabang-cabang epistemologi Barat yang hanya mengakui sumber pengetahuan berasal dari akal atau panca-indera saja. Dilihat dari perspektif Islam, epistemologi Rasionalisme dan Epirisme menurut Kuntowijoyo menjadi tampak terlalu sederhana. Dalam epistemologi Islam menurut Kuntowijoyo, unsur petunjuk transendental yang berupa wahyu juga menjadi sumber pengetahuan yang penting. Pengetahuan wahyu, oleh karena itu menjadi pengetahuan apriori. Wahyu dilihat sebagai salah satu pembentuk konstruk mengenai realitas, sebab wahyu diakui sebagai ayat-ayat Tuhan yang memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang Muslim.

Dalam Islam wahyu yang dianggap paling sempurna dan karena itu memiliki otoritas tertinggi adalah Al Qur’an. Al Qur’an merupakan kumpulan wahyu yang diyakini diturunkan oleh Allah s.w.t. melalui perantaraan malaikat Jibril kepada manusia yang dipilih oleh Allah s.w.t. untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada seluruh umat manusia, yaitu Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, dalam keyakinan umat Islam Muhammad s.a.w. adalah seorang Nabi dan utusan Allah (Rasulullah).

Menempatkan wahyu sebagai sumber pengetahuan juga mempunyai implikasi lebih jauh, yaitu pengakuan adanya struktur transendental yang dapat menjadi referensi untuk menafsirkan realitas. Pengakuan mengenai adanya ide yang murni, yang sumbernya berada di luar diri manusia. Suatu konstruk tentang struktur nilai-nilai yang berdirisendiri dan bersifat transendental. Hal ini juga berarti mengakui bahwa Al Qur’an harus dipahami sebagai memiliki bangunan ide yang transendental, suatu orde, suatu sistem gagasan yang otonom dan sempurna”.

Menurut Kuntowijoyo, pesan utama Al Qur’an bersifat transendental, melampaui zaman. Oleh karena itu diperlukan metodologi yang mampu mengangkat teks Al Qur’an dari konteksnya, dengan cara mentransendensikan makna tekstual dari penafsiran kontekstual berikut bias-bias historisnya. Dengan begitu kita akan dapat menangkap kembali makna teks yang seringkali merupakan respons terhadap realitas historis kepada pesan universal dan makna transendentalnya, sekaligus membebaskan penafsiran-penafsiran terhadapnya dari bias-biasa tertentu akibat keterbatasan situasi historis.

Menurutnya,[8] Al-Qur’an sangat kaya dengan berbagai konsep dan narasi yang mengandung nilai historis dan metafora, yang jika dieksplorasi dan  dielaborasi lebih dalam lagi akan berimplikasi pada terciptanya perubahan yang sejalan dengan visi Al-Qur’an itu sendiri. Kuntowijoyo membagi konsep dalam Al-Qur’an kedalam dua bagian, yaitu konsep abstrak dan konsep yang konkret. Contoh dari konsep abstrak adalah seperti Allah, Malaikat, Akhirat, Makruf dan Munkar.

Sementara itu konsep yang konkret itu seperti fuqara, du’afa, mustad’afun, zalimun, aghniya, mustakbirun, dan mufsidun. Selain konsep, Al-Qur’an juga memuat narasi yang mengandung nilai historis seperti kisah kesabaran Nabi Ayyub, kezaliman Fir’aun, dan narasi yang mengandung metafora seperti rapuhnya rumah laba-laba, luruhnya sehelai daun yang tak luput dari pengamatan Tuhan, atau keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdo’a. Menurutnya, narasi tersebut memberikan pemahaman kepada pembaca tentang arche-type kondisi-kondisi yang universal.

Metodologi
Menurut Kuntowijoyo, metodologi yang dapat digunakan untuk mengilmukan Islam adalah integralisasi dan objektivikasi. Yang pertama bertujuan untuk mengintegralisasikan kekayaan pengetahuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam Al-Qur’an beserta pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi) dan yang kedua menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang (rahmatan lil ‘alamiin).[9]

Berbeda halnya dengan ilmu rasional-empiris yang hanya dikonstruk melalui penafsiran rasio atas pengalaman empiris yang ditangkap oleh panca indera, ilmu dalam pandangan Islam merupakan hasil usaha manusia melalui akal, hati nurani, kesadaran, serta bantuan panca-inderanya, yang disusun secara sistematis, untuk memahami fenomena semesta ketuhanan, manusia dan alam berdasarkan pemberitahuan Al-Qur’an.

Dalam ilmu sosial profetik, ilmu yang didasarkan pada fakta-fakta empiris dengan ilmu yang didasarkan pada kebenaran agama diintegrasikan untuk mencapai suatu peradaban kemanusiaan yang maju. Metodologi integratif atau ilmu yang bersifat integralistik tumbuh dari dalam Islam. Pertama, Agama. Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan (fisik, sosial, budaya). Kitab diturunkan merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan, dan dapat menjadi setidaknya Grand Theory.

Kedua,  Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, melainkan juga menyuruh manusia untuk menggunakan akal dan panca indera untuk membaca dan memikirkan ayat-ayat Tuhan baik yang tersurat maupun tersirat. Oleh karena itu dalam hal ini terdapat dua sumber ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia, atau bisa disebut sebagai teoantroposentrisme.

Ketiga, didiferensiasi. Mondernisme yang menghendaki diferensiasi sudah tidak lagi sesuai dengan semangat zaman. Pada era post-moderni ini perlu ada perubahan didiferensiasi (rujuk kembali), yaitu penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk antara agama dan ilmu pengetahuan. Metode integralistik menurut Kuntowijoyo tidak hanya menyatukan agama dan hasil pikiran manusia, tetapi juga bertujuan untuk menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dengan agama-agama radikal dalam banyak sektor.

Metode integrasi dan interkoneksi dalam kerangka menjelaskan fenomena sosial dengan mengaitkan dengan teks menjadi pilihan yang tepat untuk menemukan ilmu sosial yang ilmiah, sama ilmiahnya dengan ilmu-ilmu yang didasarkan atas pengalaman empiris, hanya saja – sosiologi profetik memiliki tambahan karena didasarkan kebenaran teks yang dikaitkan dengan konteks atau fenomena sosial diajak ke teks.

Selanjutnya adalah objektivasi, yaitu suatu metode yang didasarkan pada internalisasi nilai atau penerjemahan nilai-nilai internal kedalam kategori-kategori objektif. Menurut kuntowijoyo, tindakan objektif apabila konkretisasi dari keyakinan yang dihayati secara internal.[10] Misalnya seperti membayar zakat yang sebenarnya merupakan konkretisasi dari keyakinan yang dihayati secara internal, tujuannya untuk membersihkan harta, bahwa harta itu harus dinafkahkan. Membayar zakat  berarti eksternalisasi dan itulah yang disebut dari ibadah. Menurutnya, suatu tindakan itu dikatakan objektif apabila tindakan tersebut dirasakan oleh orang non-Islam sebagai suatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan.





[1] Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. (Bandung: Mizan, 1998), h. 289
[2] Ibid., h. 290
[3] Syarifudin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern : Teori, Fakta dan Aksi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 9
[4] Kuntowijoyo, Op.Cit., h. 289
[5] Ibid., h. 186
[6] Ibid.,
[7] Syarifudin Jurdi, Op.Cit., h. 45
[8] Syamsul Arifin, Jurnal Teosofi (Dimensi Profetisme Pengembangan Ilmu Sosial dalam Islam Persfektif Kuntowijoyo). Vol 4, No 2. Universitas Muhammadiyah Malang, h. 488
[9] Syarifudi Jurdi, Op.Cit., h. 36
[10] Ibid., h. 38
LihatTutupKomentar

Iklan