Ilmu Sosial Profetik – Kuntowijoyo
Bila kita berbicara
mengenai Sosiologi Islam, mungkin tak lengkap rasanya bila kita tak berbicara
tentang ilmu sosial profetik dari Kuntowijoyo. Dalam perkembangannya, Ilmu
Sosial Profetik muncul sebagai bentuk perlawanan atas hegemoni positivisme,
materialisme dan sekularisme yang membelenggu dunia
pendidikan yang cenderung mengalami proses dehumanisasi. Selama ini raksasa
positivisme yang menguasai dunia pendidikan modern hanya memproduksi
sarjana-sarjana ilmu sosial apatis (non-ethis) yang merasa puas atas hasil
analisis mereka.
Sebagai orang yang paling
paham akan kecenderungan sosial masyarakat, sarjana ilmu sosial seharusnya
tidak merasa puas hanya dengan memahami fenomena-fenomena ilmu sosial semata,
melainkan juga harus mempunyai kepedulian akan transformasi sosial yang
terarah. Kuntowijoyo, sebagai penggagas utama paradigma Ilmu Sosial Profetik
meyatakan bahwa Ilmu Sosial Profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah
fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu
dilakukan, untuk apa dan oleh siapa?
Latar Belakang Gagasan Ilmu Sosial Profetik
Menurut Kuntowijoyo,
asal-usul dari pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik itu berasal dari
tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Muhammad Iqbal dalam
pembicaraannya mengenai peristiwa mi’raj mengatakan bahwa seandainya
Nabi itu seorang mistikus atau sufi, tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi,
karena telah merasa tenteram bertemu dengan Tuhan dan berada di sisi-Nya. Nabi
kembali ke bumi untuk menggerakan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya
sejarah. Beliau memulai suatu transformasi sosial budaya, berdasarkan cita-cita
profetik.[1]
Roger Garaudy adalah
seorang ahli filsafat Prancis yang masuk Islam. Robert Garaudy mengatakan bahwa
ditengah hancurnya peradaban umat manusia dimana filsafat barat memiliki banyak
kelemahan, maka kita sebaiknya menghidupkan kembali warisan Islam yang telah
ada, yaitu filsafat kenabian (filsafat profetika) dari Islam. Kuntowijoyo
mengambil gagasan dua pemikir tersebut dalam rangka mengembangkan ilmu sosial yang
liberatif, transformatif dan transendental.
Gagasan mengenai
ilmu sosial profetik ini dipicu oleh perdebatan yang terjadi di kalangan
cendekiawan Islam mengenai teologi, yang terjadi dalam sebuah seminar di
Kaliurang, Yogyakarta. Saat itu ada dua kubu yang berseberangan pendapat di
situ, yakni kubu teologi konvensional, yang mengartikan teologi sebagai ilmu
kalam, “yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak
normatif, dan skolastik” dengan kubu teologi transformatif, yang memaknai
teologi sebagai “penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan”.
Untuk mengatasi kemacetan dialog ini Kuntowijoyo mengusulkan digantinya istilah
teologi menjadi ilmu sosial, sehingga istilah Teologi Transformatif diubah
menjadi Ilmu Sosial Transformatif.
Kemudian, peristiwa
lain yang memicu gagasan ilmu sosial profetik ini adalah Kongres Psikologi
Islam I di Solo, 10 Oktober 2003 dimana pada saat itu ada yang memakai istilah
“Islamisasi pengetahuan”. Kuntowijoyo merasa khawatir, karena sebuah gerakan
intelektual yang sarat nilai keagamaan disamakan dengan gerakan bisnis pragmatis.
Oleh karena itu ia tidak lagi memakai istilah “Islamisasi pengetahuan”, dan
mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh,
dan mengganti “Islamisasi pengetahuan” menjadi “pengilmuan Islam”, serta dari
reaktif menjadi proaktif.
Menurutnya, akan
sangat tidak realitstis jika kita memandang pengaruh-pengaruh barat dalam hal
Islamisasi sains ini dalam perspektif dikonomis. Sekalipun pada tujuan finalnya
kita memang harus berusaha untuk mendekati cita-cita Islam yang otentik, karena
kita yakin bahwa Islam merupakan sebuah alternatif, tapi dalam proses
globalisasi dan universalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang
terjadi dewasa ini, kita harus membuka diri terhadap seluruh warisan peradaban.[2]
Dalam bukunya yang berjudul
“Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika”, ia menyatakan
bahwa pengembangan paradigma Islam itu merupakan langkah pertama dan strategis
ke arah pembangunan Islam sebagai sistem, gerakan sosial-budaya ke arah sistem
Islam yang kaffah, modern dan berkeadaban. Dengan demikian, Islam akan
lebih credible bagi pemeluknya dan bagi non-Muslim.
Tujuan dari Ilmu Sosial Profetik
Kuntowijoyo
mengemukakan bahwa ilmu sosial saat ini tengah mengalami kemandegan, sehingga
muncul kemudian ilmu Sosial Transformatif. Ilmu sosial profetik “secara sengaja
memuat kandungan nilai-nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan
masyarakatnya”. Menurut Kuntowijoyo hal itu berarti bahwa perubahan tersebut
didasarkan pada cita-cita humanisasi (emansipasi), liberasi (pembebasan) dan
transendensi. Ini merupakan cita-cita profetik yang diturunkan dari misi
historis Islam sebagaimana kandungan surat surat Ali Imran ayat 110, yang berbunyi:
Menurut Kuntowijoyo,[3] terdapat beberapa makna filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu: masyarakat utama (khairu ummah), kesadaran sejarah (ukhrijat linnas), humanisasi (amr ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (al-iman billah). Menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah, menurut Kuntowijoyo adalah karakteristik dari ilmu sosial profetik. Ia mentrasformasikan tiga nilai tersebut ke dalam ilmu sosial, yakni humanisasi, liberasi dan transendensi.
Humanisasi merupakan manifestasi amar ma’ruf. Kemudian, liberasi atau pembebasan merupakan manifestasi dari nilai nahi munkar. Sementara itu transendensi merupakan manifestasi dari nilai tu’minuuna billaah. Menurutnya, prinsip humanisasi dan liberasi harus bersandar pada prinsip transendensi. Ketiga konsep tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan satu sama lain.
Menurut Kuntowijoyo,[3] terdapat beberapa makna filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu: masyarakat utama (khairu ummah), kesadaran sejarah (ukhrijat linnas), humanisasi (amr ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (al-iman billah). Menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah, menurut Kuntowijoyo adalah karakteristik dari ilmu sosial profetik. Ia mentrasformasikan tiga nilai tersebut ke dalam ilmu sosial, yakni humanisasi, liberasi dan transendensi.
Menurut Kuntowijoyo,[1] terdapat beberapa makna filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu: masyarakat utama (khairu ummah), kesadaran sejarah (ukhrijat linnas), humanisasi (amr ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (al-iman billah). Menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah, menurut Kuntowijoyo adalah karakteristik dari ilmu sosial profetik. Ia mentrasformasikan tiga nilai tersebut ke dalam ilmu sosial, yakni humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi merupakan manifestasi amar ma’ruf. Kemudian, liberasi atau pembebasan merupakan manifestasi dari nilai nahi munkar. Sementara itu transendensi merupakan manifestasi dari nilai tu’minuuna billaah. Menurutnya, prinsip humanisasi dan liberasi harus bersandar pada prinsip transendensi. Ketiga konsep tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan satu sama lain.
1. Humanisasi
Humanisasi adalah memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan (materialisme), ketergantungan, kekerasan dan penindasan. Manusia saat ini menurutnya sedang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial yang menjadikan manusia sebagai masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami objektivasi ketika berada ditengah-tengah mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu teknologi juga telah membantu kecenderungan reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial.[4]
Konsep humanisasi dalam ilmu sosial profetik sebenarnya hampirsama dengan konsep humanisasi liberalisme Barat. Bedanya, humanisasi liberalisme Barat bersifat antroposentris dimana manusia menjadi pusat dari segalanya, sementara humanisasi ilmu sosial profetik Kuntowijoyo bersifat Teosentris. Hal tersebut berkaitan dengan konsep transendensi. Sebagaimana ia telah mengatakan bahwa:
Atas dasar hal tersebut, maka jelaslah teosentris yang dimaksud dalam Islam juga berbeda dengan teosentrisnya dalam agama lain dimana dalam Islam tidak dikenal sistem pemikiran panteologisme atau pemikiran serba teologi yang cenderung meremehkan pemikiran rasio. Meskipun Al-Qur’an bertindak sebagai petunjuk utama bagi manusia (huda linnas), tetapi di dalamnya juga termuat anjuran untuk berpikir menggunakan akal dan observasi untuk memperoleh kebenaran atas dasar petunjuk wahyu.
2. Liberasi
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ
Kamu adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah. (QS. Ali-Imran [3]: 110)
Menurut Kuntowijoyo,[3] terdapat beberapa makna filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu: masyarakat utama (khairu ummah), kesadaran sejarah (ukhrijat linnas), humanisasi (amr ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (al-iman billah). Menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah, menurut Kuntowijoyo adalah karakteristik dari ilmu sosial profetik. Ia mentrasformasikan tiga nilai tersebut ke dalam ilmu sosial, yakni humanisasi, liberasi dan transendensi.
Humanisasi merupakan manifestasi amar ma’ruf. Kemudian, liberasi atau pembebasan merupakan manifestasi dari nilai nahi munkar. Sementara itu transendensi merupakan manifestasi dari nilai tu’minuuna billaah. Menurutnya, prinsip humanisasi dan liberasi harus bersandar pada prinsip transendensi. Ketiga konsep tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan satu sama lain.
Menurut Kuntowijoyo,[3] terdapat beberapa makna filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu: masyarakat utama (khairu ummah), kesadaran sejarah (ukhrijat linnas), humanisasi (amr ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (al-iman billah). Menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah, menurut Kuntowijoyo adalah karakteristik dari ilmu sosial profetik. Ia mentrasformasikan tiga nilai tersebut ke dalam ilmu sosial, yakni humanisasi, liberasi dan transendensi.
Menurut Kuntowijoyo,[1] terdapat beberapa makna filosofis yang terkandung pada ayat ini, yaitu: masyarakat utama (khairu ummah), kesadaran sejarah (ukhrijat linnas), humanisasi (amr ma’ruf), liberasi (nahi munkar) dan transendensi (al-iman billah). Menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah, menurut Kuntowijoyo adalah karakteristik dari ilmu sosial profetik. Ia mentrasformasikan tiga nilai tersebut ke dalam ilmu sosial, yakni humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi merupakan manifestasi amar ma’ruf. Kemudian, liberasi atau pembebasan merupakan manifestasi dari nilai nahi munkar. Sementara itu transendensi merupakan manifestasi dari nilai tu’minuuna billaah. Menurutnya, prinsip humanisasi dan liberasi harus bersandar pada prinsip transendensi. Ketiga konsep tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan satu sama lain.
1. Humanisasi
Humanisasi adalah memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan (materialisme), ketergantungan, kekerasan dan penindasan. Manusia saat ini menurutnya sedang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial yang menjadikan manusia sebagai masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Kita mengalami objektivasi ketika berada ditengah-tengah mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu teknologi juga telah membantu kecenderungan reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial.[4]
Konsep humanisasi dalam ilmu sosial profetik sebenarnya hampirsama dengan konsep humanisasi liberalisme Barat. Bedanya, humanisasi liberalisme Barat bersifat antroposentris dimana manusia menjadi pusat dari segalanya, sementara humanisasi ilmu sosial profetik Kuntowijoyo bersifat Teosentris. Hal tersebut berkaitan dengan konsep transendensi. Sebagaimana ia telah mengatakan bahwa:
“Humanisme Islam adalah humanisme teosentrik, artinya merupakan sebuah agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan tetapi mengarahkan perjuangannya pada untuk kemuliaan peradaban manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang kemudian akan ditransformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat dan budaya.”[5]
Atas dasar hal tersebut, maka jelaslah teosentris yang dimaksud dalam Islam juga berbeda dengan teosentrisnya dalam agama lain dimana dalam Islam tidak dikenal sistem pemikiran panteologisme atau pemikiran serba teologi yang cenderung meremehkan pemikiran rasio. Meskipun Al-Qur’an bertindak sebagai petunjuk utama bagi manusia (huda linnas), tetapi di dalamnya juga termuat anjuran untuk berpikir menggunakan akal dan observasi untuk memperoleh kebenaran atas dasar petunjuk wahyu.
2. Liberasi
Liberasi maksudnya
adalah pembebasan manusia dari sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem
ekonomi dan sistem politik yang membelenggu umat manusia sehingga tidak dapat
mengaktualisasikan dirinya sebagai mahluk yang mulia dan merdeka. Tujuan dari
liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan
teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang
miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokratis, dan mereka yang
tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa.[6] Prinsip ini mendorong untuk mengangkat isu-isu
kemanusiaan seperti kemiskinan, eksploitasi, dominasi struktural yang cenderung
menindas dan hegemoni ideologi, prinsip ini berangkat dari isu-isu aktual dan
fenomena empiris – terapi tetap berada dalam sandaran transendental dari agama
yang ditransformasi dalam wilayah praxis. [7]
3. Transendesi
Transendensi
merupakan nila-nilai keimanan manusia kepada Allah yang terwujud dalam bentuk
tauhid. Transendensi merupakan nilai pokok utama yang menjadi sandaran dari
proses humanisasi dan liberasi. Transendensi inilah yang membedakan bentuk-bentuk humanisasi dan liberasi
dalam ilmu sosial profetik dengan ilmu sosial Barat yang atroposentris. Sistem
pengetahuan barat menjadikan manusia sebagai pusat dari segalanya.
Melalui proyek
rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam
raya. Rasio mengajari manusia cara berpikir, bukan cara hidup. Rasio
menciptakan alat-alat bukan kesadaran. Rasio mengajari cara manusia untuk
hidup, bukan memaknainya. Sehingga pada akhirnya manusia menjalani hidup tanpa
makna. Transendensi memberi arah kemana dan tujuan apa humanisasi dan liberasi
dilakukan. Prinsip ini juga berfungsi sebagai media untuk menata ulang umat
manusia, sekaligus sebagai barometer untuk mengukur kemajuan dan kemunduran
peradaban umat manusia.
Epistemologi
Kuntowijoyo
menempatkan wahyu dalam posisi yang sangat penting dalam epistemologi ilmu
sosial profetiknya. Menurutnya, unsur wahyu inilah yang membedakan epistemologi
Islam dengan cabang-cabang epistemologi Barat yang hanya mengakui sumber
pengetahuan berasal dari akal atau panca-indera saja. Dilihat dari perspektif
Islam, epistemologi Rasionalisme dan Epirisme menurut Kuntowijoyo menjadi
tampak terlalu sederhana. Dalam epistemologi Islam menurut Kuntowijoyo, unsur
petunjuk transendental yang berupa wahyu juga menjadi sumber pengetahuan yang
penting. Pengetahuan wahyu, oleh karena itu menjadi pengetahuan apriori. Wahyu dilihat
sebagai salah satu pembentuk konstruk mengenai realitas, sebab wahyu diakui
sebagai ayat-ayat Tuhan yang memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan
seorang Muslim.
Dalam Islam wahyu
yang dianggap paling sempurna dan karena itu memiliki otoritas tertinggi adalah
Al Qur’an. Al Qur’an merupakan kumpulan wahyu yang diyakini diturunkan oleh
Allah s.w.t. melalui perantaraan malaikat Jibril kepada manusia yang dipilih
oleh Allah s.w.t. untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada seluruh umat
manusia, yaitu Muhammad s.a.w. Oleh karena itu, dalam keyakinan umat Islam
Muhammad s.a.w. adalah seorang Nabi dan utusan Allah (Rasulullah).
Menempatkan wahyu
sebagai sumber pengetahuan juga mempunyai implikasi lebih jauh, yaitu pengakuan
adanya struktur transendental yang dapat menjadi referensi untuk menafsirkan
realitas. Pengakuan mengenai adanya ide yang murni, yang sumbernya berada di
luar diri manusia. Suatu konstruk tentang struktur nilai-nilai yang
berdirisendiri dan bersifat transendental. Hal ini juga berarti mengakui bahwa
Al Qur’an harus dipahami sebagai memiliki bangunan ide yang transendental,
suatu orde, suatu sistem gagasan yang otonom dan sempurna”.
Menurut Kuntowijoyo,
pesan utama Al Qur’an bersifat transendental, melampaui zaman. Oleh karena itu
diperlukan metodologi yang mampu mengangkat teks Al Qur’an dari konteksnya, dengan
cara mentransendensikan makna tekstual dari penafsiran kontekstual berikut
bias-bias historisnya. Dengan begitu kita akan dapat menangkap kembali makna
teks yang seringkali merupakan respons terhadap realitas historis kepada pesan
universal dan makna transendentalnya, sekaligus membebaskan
penafsiran-penafsiran terhadapnya dari bias-biasa tertentu akibat keterbatasan
situasi historis.
Menurutnya,[8] Al-Qur’an
sangat kaya dengan berbagai konsep dan narasi yang mengandung nilai historis
dan metafora, yang jika dieksplorasi dan
dielaborasi lebih dalam lagi akan berimplikasi pada terciptanya
perubahan yang sejalan dengan visi Al-Qur’an itu sendiri. Kuntowijoyo membagi
konsep dalam Al-Qur’an kedalam dua bagian, yaitu konsep abstrak dan konsep yang
konkret. Contoh dari konsep abstrak adalah seperti Allah, Malaikat, Akhirat,
Makruf dan Munkar.
Sementara itu konsep
yang konkret itu seperti fuqara, du’afa, mustad’afun, zalimun,
aghniya, mustakbirun, dan mufsidun. Selain konsep,
Al-Qur’an juga memuat narasi yang mengandung nilai historis seperti kisah
kesabaran Nabi Ayyub, kezaliman Fir’aun, dan narasi yang mengandung metafora
seperti rapuhnya rumah laba-laba, luruhnya sehelai daun yang tak luput dari
pengamatan Tuhan, atau keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir
berdo’a. Menurutnya, narasi tersebut memberikan pemahaman kepada pembaca
tentang arche-type kondisi-kondisi yang universal.
Metodologi
Menurut Kuntowijoyo,
metodologi yang dapat digunakan untuk mengilmukan Islam adalah integralisasi
dan objektivikasi. Yang pertama bertujuan untuk mengintegralisasikan kekayaan
pengetahuan manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam Al-Qur’an beserta
pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi) dan yang kedua menjadikan pengilmuan Islam
sebagai rahmat untuk semua orang (rahmatan lil ‘alamiin).[9]
Berbeda halnya
dengan ilmu rasional-empiris yang hanya dikonstruk melalui penafsiran rasio
atas pengalaman empiris yang ditangkap oleh panca indera, ilmu dalam pandangan
Islam merupakan hasil usaha manusia melalui akal, hati nurani, kesadaran, serta
bantuan panca-inderanya, yang disusun secara sistematis, untuk memahami
fenomena semesta ketuhanan, manusia dan alam berdasarkan pemberitahuan
Al-Qur’an.
Dalam ilmu sosial
profetik, ilmu yang didasarkan pada fakta-fakta empiris dengan ilmu yang
didasarkan pada kebenaran agama diintegrasikan untuk mencapai suatu peradaban
kemanusiaan yang maju. Metodologi integratif atau ilmu yang bersifat
integralistik tumbuh dari dalam Islam. Pertama, Agama. Al-Qur’an
merupakan wahyu Tuhan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri
sendiri, dan lingkungan (fisik, sosial, budaya). Kitab diturunkan merupakan
petunjuk etika, kebijaksanaan, dan dapat menjadi setidaknya Grand Theory.
Kedua,
Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, melainkan juga menyuruh manusia
untuk menggunakan akal dan panca indera untuk membaca dan memikirkan ayat-ayat
Tuhan baik yang tersurat maupun tersirat. Oleh karena itu dalam hal ini
terdapat dua sumber ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang berasal dari Tuhan
dan pengetahuan yang berasal dari manusia, atau bisa disebut sebagai
teoantroposentrisme.
Ketiga, didiferensiasi. Mondernisme yang
menghendaki diferensiasi sudah tidak lagi sesuai dengan semangat zaman. Pada
era post-moderni ini perlu ada perubahan didiferensiasi (rujuk kembali), yaitu
penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk antara
agama dan ilmu pengetahuan. Metode integralistik menurut Kuntowijoyo tidak
hanya menyatukan agama dan hasil pikiran manusia, tetapi juga bertujuan untuk
menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dengan agama-agama radikal
dalam banyak sektor.
Metode integrasi dan
interkoneksi dalam kerangka menjelaskan fenomena sosial dengan mengaitkan
dengan teks menjadi pilihan yang tepat untuk menemukan ilmu sosial yang ilmiah,
sama ilmiahnya dengan ilmu-ilmu yang didasarkan atas pengalaman empiris, hanya
saja – sosiologi profetik memiliki tambahan karena didasarkan kebenaran teks
yang dikaitkan dengan konteks atau fenomena sosial diajak ke teks.
Selanjutnya adalah objektivasi,
yaitu suatu metode yang didasarkan pada internalisasi nilai atau penerjemahan
nilai-nilai internal kedalam kategori-kategori objektif. Menurut kuntowijoyo,
tindakan objektif apabila konkretisasi dari keyakinan yang dihayati secara
internal.[10]
Misalnya seperti membayar zakat yang sebenarnya merupakan konkretisasi dari
keyakinan yang dihayati secara internal, tujuannya untuk membersihkan harta,
bahwa harta itu harus dinafkahkan. Membayar zakat berarti eksternalisasi dan itulah yang
disebut dari ibadah. Menurutnya, suatu tindakan itu dikatakan objektif apabila
tindakan tersebut dirasakan oleh orang non-Islam sebagai suatu yang natural (sewajarnya),
tidak sebagai perbuatan keagamaan.
[1] Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. (Bandung:
Mizan, 1998), h. 289
[2] Ibid., h. 290
[3] Syarifudin Jurdi, Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern : Teori, Fakta
dan Aksi Sosial, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 9
[4] Kuntowijoyo, Op.Cit., h. 289
[5] Ibid., h. 186
[6] Ibid.,
[7] Syarifudin Jurdi, Op.Cit., h. 45
[8] Syamsul Arifin, Jurnal Teosofi (Dimensi Profetisme Pengembangan Ilmu
Sosial dalam Islam Persfektif Kuntowijoyo). Vol 4, No 2. Universitas
Muhammadiyah Malang, h. 488
[9] Syarifudi Jurdi, Op.Cit., h. 36
[10] Ibid., h. 38