Menulusuri Akar Permasalahan Korupsi di Indonesia



Fenomena korupsi merupakan fenomena yang kompleks dan multidimensional. Korupsi selalu hadir dengan berbagai bentuknya melintasi ruang dan waktu, korupsi ada dimana-mana, timur atau pun barat, dari zaman dulu sampai sekarang, korupsi selalu menjadi isu hangat yang ramai dibicarakan dalam media pemberitaan. Namun yang membedakannya adalah frekuensinya. Pada satu negara, mungkin tingkat korupsinya rendah karena dapat ditekan oleh suatu mekanisme yang berjalan efektif. Tetapi pada suatu negara yang lain, tingkat korupsinya mungkin tinggi akibat sistem yang masih banyak memberikan ruang dan celah bagi para pelaku. Tidak ada satu pun negara di dunia yang bebas korupsi.

Menurut Amundsen, terdapat enam bentuk perwujudan dari korupsi, yaitu: 1) Suap (bribery), merupakan tindakan pemberian uang atau barang berharga untuk mempengaruhi atau mengubah sikap si penerima atas kepentingan si pemberi; 2) Penggelapan (Embezzlement) adalah pencurian sumberdaya oleh pejabat yang diajukan untuk mengelolanya; 3) Penipuan (Fraud) adalah manipulasi aliran informasi oleh pejabat publik untuk keuntungan pribadi. 4) Pemerasan (Extortion), adalah sumberdaya yang diekstraksi dengan menggunakan paksaan, kekerasan atau ancaman; 5) Favoritisme adalah kecenderungan diri dari pejabat negara atau politisi yang memiliki akses sumberdaya negara dan kekuasaan untuk memutuskan pendistribusian sumberdaya tersebut; dan 6) Nepotisme adalah bentuk khusus dari favoritisme. Mengalokasikan kontrak berdasarkan kekerabatan atau persahabatan.[1]

Korupsi pada dasarnya merupakan difungsi dari lembaga pemerintahan yang disebabkan oleh ketidaksesuaian antara tujuan suatu individu dengan tujuan kolektif. Korupsi terjadi karena kepentingan yang bersifat pribadi ditempatkan lebih tinggi di atas kepentingan bersama dalam menjalan roda pemerintahan.  Menurut Robert K. Merton, sebagaimana struktur atau institusi dapat menyumbang pemeliharaan bagian-bagian lain dari sistem sosial, struktur atau institusi pun dapat menimbulkan akibat negatif terhadap sistem sosial.[2] Pada satu sisi kehadiran lembaga pemerintan berfungsi sebagai pelaksana ketertiban, memberikan perlindugan, menegakkan keadilan dan mengusahakan kesejateraan serta kemakmuran masyarakat. Tetapi pada sisi yang lain, lembaga pemerintahan dapat dijadikan sebagai ruang pemuas keserakahan pribadi melalui penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Dengan demikian, korupsi juga dapat dikatakan sebagai fungsi laten dari lembaga pemerintahan.

Menurut Mochtar Lubis, penyebab korupsi yang merajalela di Indonesia adalah ‘birokrasi partimonial’ dimana aparat birokrasi lebih mengutamakan hubungan-hubungan irasional dari pada hubungan yang rasional, misalnya: sanak famili dan teman dekat, serta tidak adanya nilai yang memisahkan secara tajam antara milik masyarakat dengan milik pribadi.[3] Hal ini tidak lepas dari konteks historis budaya Indonesia pada zaman dulu yang menggunakan sistem politik kerajaan. Penerapan birokrasi modern yang terjadi di Indonesia masih dalam bentuk luarnya saja. Konsep birokrasi patrimonial ni barangkali mempunyai pengertian yang sama dengan istilah sultanisme yang dikemukakan oleh weber dimana jabatan dan perilaku dalam keseluruhan lebih didasarkan kepada hubungan pribadi dan hubungan “bapak-anak buah” atau “patron-client relationship”.

Layaknya seekor bunglon, korupsi dapat merubaha warna dan menyesuaikan diri mengikuti perubahan sistem. Hal tersebut terjadi karena para pelaku korupsi tidak kalah pintarnya dalam menyiasati dan mecari celah sempit untuk melakukan tindakan tersebut. Desentralisasi pemerintahan pasca reformasi menjadi celah baru bagi para birokrat di tingkat daerah. Taufik Rinaldi dkk, mengemukakan bahwa:
Desentralisasi membawa implikasi pada terjadinya pergeseran relasi kekuasaan pusat-daerah dan antar lembaga di daerah. Berbagai perubahan membuka peluang maraknya ‘money politics’ oleh kepala daerah untuk memperoleh dan mempertahankan dukungan dari legislatif, pemanfaatan berbagai sumber pembiayaan oleh anggota legislatif sebagai setoran bagi partai politik serta –yang paling umum, adalah keinginan untuk memperkaya diri sendiri. Peluang korupsi semakin terbuka dengan adanya perbedaan/inkonsistensi peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah, ‘kerjasama’ antara legislatif dan eksekutif serta minimnya porsi partisipasi dan pengawasan publik. Sebenarnya, tidak ada yang terlalu baru dalam modus operandi korupsi pemerintahan daerah.[4]

Desentralisasi dan pemberian hak otonomi kepada pemerintah daerah pada dasarnya merupakan proses demokratisasi. Perubahan yang paling penting dari desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah menyangkut sektor pelayanan publik. Bidang pemerintahan yang wajid dilaksanakan Pemerintah Kabupaten atau Kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga kerja. Namun hal tersebut tentu nyatanya mempunyai fungsi laten dimana pergeseran kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah ini membuka peluang ‘money politik’ dalam tubuh pemerintahan.

Biaya ongkos politik yang mahal yang dikeluarkan pada saat kampanyeu oleh pemerintah daerah terkadang menjadi salah satu faktor yang mendorong tindakan korupsi. Salah satu anggota DPRD Provinsi NTB mengungkapkan bahwa:

Persoalan mendasar adalah e... sebagian besar anggota DPRD itu punya masalah keuangan. Nah, begitu dilantik mereka terbebani utang-utang di masa lalu pada saat kampanyeu penyusunan di daftar di partai untuk bisa menang.. begitu dilantik yang terpikir adalah bagaimana mengembalikan uang yang ‘diinvestasikan’...”

Maraknya kasus korupsi di tingkat daerah ini dapat kita saksikan di berbagai media pemberitaan. Misalnya, pada tahun 2016 lalu setidaknya 10 kepala daerah telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Sepuluh kepala daerah tersebut adalah[5]:
  1. Bupati Kabupaten Subang, Ujang Sobandi yang terjerat kasus korupsi anggaran BPJS Kabupaten Subang tahun 2014;
  2. Bupati Rokan Hulu Suparman sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi menerima pemberian atau janji terkait pembahasan R-APBD tahun 2014-2015;
  3. Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan nikel di dua kabupaten di Sultra, selama 2009 hingga 2014;
  4. Bupati Banyuasin – Yan Anton Ferdian dalam kasus suap terkait proyek di dinas pendidikan dan dinas lainnya di kabupaten Banyuasin;
  5. Wali Kota Madiun – Bambang Irianto yang terjerat kasus gratifikasi
  6. Bupati Tanggamus – Bambang Kurniawan yang terjerat kasus suap kepada sejumlah anggota DPRD;
  7. Bupati Sabu Raijua – Marthen Dira Tome dalam kasus dugaan korupsi dana pendidikan luar sekolah;
  8. Bupati Buton – Samsu Umar Abdul Samiun terkait dugaan suap kepada mantan Ketua MK Akil Mochtar;
  9. Wali Kota Cimahi – Atty Suharti terkait kasus suap; dan
  10. Bupati Nganjuk – Taufiqurrahman yang terjerat kasus korupsi 5 proyek pembangunan infrastruktur.



SUMBER REFERENSI:

Amundsen dalam Happy Febriana Hariyanti. Korupsi: Faktor-faktor yang Mempengaruhi dan Dampaknya terhadap Pertumbuhan ekonomi di Kawasan Asia Fasifik. Skripsi. (Institut Pertanian Bogor, 2016), h. 11-12
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Kencana, 2014)
Siti Fatimah. Korupsi: Menulusuri Akar Persoalan dan Menemukan Alternatif Pemecahannya.  Demokrasi. Vol VI No. 1 Th. 2007
Taufik Rinaldi dkk. Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi (Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintah Daerah, Bank Dunia, 2007
Abba Gabrilin, Kaleidoskop 2016: Sepulih Kepala Daerah Tersangka Korupsi, Kompas, diakses dari: http://nasional.kompas.com/read/2016/12/12/09232571/kaleidoskop.2016.10.kepala.daerah.tersangka.korupsi. Pada tanggal 1 November 2017, pukul 11.30






[1] Amundsen dalam Happy Febriana Hariyanti. Korupsi: Faktor-faktor yang Mempengaruhi dan Dampaknya terhadap Pertumbuhan ekonomi di Kawasan Asia Fasifik. Skripsi. (Institut Pertanian Bogor, 2016), h. 11-12
[2] George Ritzer, Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Kencana, 2014), h. 133
[3] Siti Fatimah. Korupsi: Menulusuri Akar Persoalan dan Menemukan Alternatif Pemecahannya. Jurnal Demokrasi. Vol VI No. 1 Th. 2007
[4]  Taufik Rinaldi dkk. Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi (Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintah Daerah, (Bank Dunia, 2007), h.V
[5] Abba Gabrilin, Kaleidoskop 2016: Sepulih Kepala Daerah Tersangka Korupsi, Kompas, diakses dari: http://nasional.kompas.com/read/2016/12/12/09232571/kaleidoskop.2016.10.kepala.daerah.tersangka.korupsi. Pada tanggal 1 November 2017, pukul 11.30
LihatTutupKomentar

Iklan