Pertumbuhan Penduduk dan Kerusakan Lingkungan



Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pembangunan adalah aspek kependudukan. Penduduk merupakan sumber daya dalam pembangunan. Apabila potensi-pontensinya dikembangkan dengan baik, maka penduduk akan menunjang dalam pembangunan. Tetapi sebaliknya, apabila kualitas penduduknya rendah dan potensi-potensinya tidak dikembangkan dengan baik, maka hal tersebut justru akan menjadi beban pembangunan.


Bagi negara-negara maju, permasalahan penduduk yang dihadapi umumnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan permasalahan yang dihadapi negara-negara berkembang, hal ini karena tingkat pengetahuna, kesadaran penduduk serta kondisi sosial ekonomi negara yang jauh lebih mampu secara finansial. Dengan tingkat pendapan yang masih rendah, negara-negara berkembang mengalami kesulitan yang pelik dalam menangani jumlah penduduk yang besar.  Negara-negara berkembangan dihadapkan pada masalah dimana ia harus meningkatkan kualitas penduduk yang jumlahnya banyak dengan pendapatan negara yang kecil. Padahal, semakin banyak jumlah penduduk pada suatu negara, maka semakin besar pula biaya yang harus ditanggung negara untuk mengembangkan potensi warganya.

Disamping itu, semakin besar jumlah penduduk yang ada pada suatu negara, maka semakin besar pula kebututuhan akan sandang, pangan, perumahan dan berbagai sarana-prasana lainnya. Artinya, jumlah penduduk yang banyak menyebabkan ekspolitasi terhadap sumber daya alam yang besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan. Semakin banyak tekanan penduduknya, maka semakin besar pula kerusakan lingkungan yang dihasilkannya.

Pertumbuhan populasi penduduk di wialayah pedesaan (yang masyoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani) menyembabkan penguasaan lahan pertanian yang semakin menyempit. Misalnya, seorang petani mempunya 1 hektar tanah, ketika ia mewariskan tanahnya tersebut kepada 3 orang anaknya, maka masing-masing dari anaknya tersebut hanya akan mendapatkan tanah seluas 0,33 hektar apa bila dibagi rata. Begitu pula seterusnya, luas tanah yang dimiliki para petani semakin lama akan semakim menyempit. Akibatnya muncul para petani gurem yang memiliki lahan petanian sempit.[1] Kondisi ini juga menyebabkan masyarakat terdorong untuk membuka lahan pertanian baru di wilayah hutan.

Konversi hutan menjadi lahan pertanian sudah banyak terjadi dimana-mana. Kita tidak bisa begitu saja menyalahkan para petani karena mereka sendiri melakukan hal tersebut terdesak oleh kebutuhan ekonomi yang tidak dapat dihindari. Dalam kondisi yang semakin tercekik, para petani berusaha mempertahankan diri dengan membuka lahan baru. Bukit-bukit pegunungan yang semula berbaju pepohonan kini ditelanjangi, disulap menjadi kebun-kebun yang ditanami sayuran. Hasilnya, tanah mudah longsor, cadangan air dalam tanah semakin sedikit karena pepohonan yang dibabat habis.

Selain itu juga, kepedulian penduduk terhadap lingkungan yang rendah berakibat pada kemerosotan kualitas lingkungan. Jumlah penduduk yang banyak juga berhubungan dengan volume sampah yang dihasilkannya. Semakin banyak penduduk, maka sekain banyak pula sampah dan limbah rumah tangga yang dibuang, apalagi jika kegiatan tersebut dilakukan di ke sungai. Hubungan antara dinamika kependudukan yang terjadi dengan lingkungan hidup sangat erat sekali.

Perubahan yang terjadi pada kependudukan seperti jumlah, komposisi, struktur umur dan pertumbuhan akan berpengaruh pada berbagai aspek lingkungan, baik lingkungan alam, maupun lingkungan buatan. Demikian pula sebaliknya bila terjadi perubahan lingkungan akan mempengaruhi aspek kependudukan.


Pertumbuhan populasi penduduk berhubungan langsung dengan kegiatan pemanfaatan atau eksploitasi terhadap lingkungan. Padahal,  lingkungan sebagai suatu kesatuan ruang mempunyai kemampuan, daya tampung dan daya dukung yang terbatas, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi di bidang kependudukan harus diupayakan sekecil mungkin agar dapat meminimalisir kerusakan lingkungan.








[1] Petani gurem adalah petani yang memiliki atau menyewa lahan petanian kurang dari 0,5 hektar. Menurut BPS, jumlah rumah tangga petani gurem pada tahun 2013 adalah sebanyak 14.250.000 rumah tangga petani. Artinya 55,53% dari seluruh rumah tangga petani di Indonesia merupakan petani gurem.
LihatTutupKomentar

Iklan