Perkembangan Masyarakat Industri Indonesia
1. Masa Kolonial
Industrialisasi
di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak masa kolonialisme Belanda. Cikal
bakal industri di Indonesia dimulai sejak hadirnya industri perkebunan pada
masa tanam paksa (cultuur stelsel). Jenis industri awal yang berkembang
di Indonesia adalah industri pertanian. Industri pertanian sendiri adalah
industri yang mengolah dan menghasilkan barang yang mendukung sektor pertanian
yang meliputi persawahan, perkebunan, perikanan, kehutanan, dan peternakan.
Sistem tanam
paksa (cultuur stelsel) merupakan kebijakan dari Johanes van den Bosch
yang diangkat sebagai gubernur jenderal saat itu (1830) dengan tugas pokok
menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar
hutang, dan membiayai perang. Oleh karena itu ia mengerahkan tenaga rakyat
tanah jajahan untuk melakukan penanaman tanaman tertentu yang hasil-hasilnya
dapat laku di pasaran dunia. Dampaknya beban rakyat semakin berat karena harus
menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar pajak, mengikuti kerja
rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen; Kemudian menimbulkan tekanan
fisik dan mental yang berkepanjangan; Serta menimbulkan kemiskinan yang parah,
kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat
drastis.
Pada tahun
1850, setelah kaum Liberal memperoleh kemenangan politik di Negeri Belanda.
Mereka menerapkan asas-asas liberalisme di tanah jajahan dimana pemerintah tidak
ikut campur tangan dalam masalah ekonomi. Tugas ekonomi diserahkan kepada
orang-orang swasta dengan memberi kebebasan berusaha kepada mereka. Pada tahun
1870, pemerintah kolonial memberlakukan UU agraria yang memberikan peluang
kepada swasta untuk menanamkan modal mereka dalam berbagai usaha di Indonesia. Selama
masa ini kaum swasta Barat membuka perkebunan-perkebunan seperti, kopi, teh,
gula dan kina yang cukup besar di Jawa dan Sumatra Timur. Pabrik gula berdiri
dimana-mana, diikuti dengan berdirinya industri-industri barang kebutuhan
sehari-hari dalam skala besar serta industri manufaktur lainnya.[1]
Pada sekitar
tahun 1920-an industri-industri modern di Indonesia hampir semuanya dimiliki
oleh orang asing meskipun jumlahnya relatif sedikit.[2] Industri-industri kecil yang berdiri saat itu
ada berupa industri yang memproduksi kebutuhan rumah tangga seperti
penggilingan padi, tekstil dan sebagainya, yang tidak terkoordinasi. Kebanyakan
tenaga kerja saat itu terpusat disektor pertanian dan perkebunan untuk memenuhi
kebutuhan ekspor pemerintahan kolonial. Pada saat itu ada dua Industri besar
modern milik asing yang sudah berdiri di Indonesia, yaitu pabrik rokok British
American Tobacco dan pabrik perakitan kendaraan bermotor - General Motor
Car Assembly.
Pada tahun
1930-an, terjadi depresi besar perekonomian dimana penerimaan ekspor turun dari
1.448 juta Gulden menjadi 505 juta Gulden sehingga mengakibatkan pengangguran.
Kondisi tersebut memaksa pemerintah mengubah sistem dan pola kebijaksanaan
ekonomi untuk lebih menitik beratkan pada sektor industri. Mereka memberikan
kemudahan-kemudahan dalam pemberian ijin dan pasilitas bagi pendirian industri
baru.
Pada tahun
1937, menurut sebuah taksiran stok investasi total di Indonesia saat itu
sekitar US$ 2.264 juta, separuhnya (US$ 1.411 juta) dimiliki oleh sektor
swasta. Dari jumlah tersebut Belanda memegang andil terbesar dengan 63%,
kemudian Inggris 14%, Cina 11%, dan Amerika Serikat 7%.[3] Berdasarkan
sensus industri kolonial pada tahun 1939, sebanyak 173 ribu orang telah bekerja
di industri-industri milik asing yang bergerak di bidang pengolahan makanan,
tekstil serta barang-barang logam. Pada masa pendudukan Jepang kondisi tersebut
berbanding terbalik, mereka melarang impor bahan mentah, barang-barang kapital
diangkut ke Jepang dan pemaksaan tenaga kerja (romusa) sehingga
invesatasi asing pada masa itu praktis nihil.
2. Orde Lama
Setelah
kemerdekaan, Indonesia menjadi pengimpor barang-barang kapital dan teknologi,
serta mulai memprioritaskan pengembangan sektor industri dan investasi asing.
Penanam modal asing mulai berdatangan meskipun masih dalam taraf coba-coba.
Pada tahun 1951, pemerintah mengeluarkan kebijaksaan RUP (Rencana Urgensi
Perekonomian) untuk menumbuhkan dan mendorong industri-industri kecil bagi
pribumi. Pemerintah memberlakukan pembatasan-pembatasan untuk industri-industri
besar atau modern yang banyak dimiliki oleh orang Eropa dan Cina. Kebijakan
tersebut membuat investasi asing berkurang, ditambah lagi dengan situasi
politik yang bergejolak masa itu. Namun disisi yang lain, kebijakan tersebut
setidaknya telah memacu tumbuh suburnya sektor bisnis di kalangan pribumi,
walaupun masih relatif kecil. Berdasarkan kondisi tersebut, kemudian pemerintah
membuat kebijakan ekonomi yang menitikberatkan pada pengembangan
industri-industri yang dijalankan (dimiliki) oleh pemerintah.
Pada tahun 1957
sektor industri mengalami stagnasi dan perekonomian mengalami masa teduh.
Sepanjang tahun 1960-an sektor industri praktis tidak berkembang.[4]
Kondisi tersebut disebabkan oleh situasi politik yang selalu bergejolak,
kelangkaan modal serta kurangnya tenga ahli dan terampil. Aliran modal yang
masuk mayoritas dari negara-negara sosialis dalam bentuk pinjaman.[5] Keadaan perekonomian saat itu sangat sulit
akibat inflasi yang parah dan berkepanjangan, menurunya Prodak Domestik Bruto,
kecilnya peran sektor industri, serta tingginya angka pengangguran. Sektor
industri didominasi oleh industri-industri berat seperti pabrik baja di Cilegon
dan pabrik fosfat di Cilacap. Pertumbuhan ekonomi tahun 1960 – 1965 turun
drastis dari 6,9% menjadi 1,9%.
3. Orde Baru
Dalam
menghadapi krisis ekonomi yang diwarikan oleh orde lama, orde baru mengeluarkan
kebijakan ekonomi penyelamatan dengan mengundang investor asing untuk menanam
modalnya di Indonesia. Pemerintahan orde baru menetapkan enam langkah prioritas
kebijakan ekonominya, yaitu: memerangi inflasi, mencukupkan stok cadangan bahan
pangan (terutama beras), merehabilitasi prasarana perekonomian, meningkatkan
ekspor, menciptakan lapangan kerja serta mengundang investor asing.
Secara
keseluruhan program ekonomi orde baru dibagi menjadi dua jangka waktu yang
saling berkaitan, yaitu program jangka pendek dan program jangka panjang.
Program jangka pendek meliputi : tahap penyelamatan (1966), tahap rehabilitasi
(1967), tahap konsolidasi (1967) dan tahap stabilisasi (1968).[6] Program tersebut dilanjutkan dengan program
jangka pangjang yang terdiri atas rankaian Rencana Pembanguna Lima Tahun
(Repelita). Program pembanguan pada masa orde baru diarahkan pada tiga sasaran
pencapaian pembangunan, atau sering dikenal dengan istilah “Trilogi
Pembangunan”.
Trilogi
pembangunan pada Repelita I (1969-1974) meliputi : (1) stabilisasi nasional
(ekonomi dan politik), (2) pertumbuhan ekonomi, dan (3) pemerataan hasil-hasil
pembangunan. Pembangunan yang digalakan ini menitikberatkan pembangunan pada
sektor pertanian dan industri yang menujang sektor pertanian seperti pabrik
pupuk dan insektisida. Secara khusus, Repelita I ini bertujuan untuk
meningkatkan produksi pangan dan ekspor. Hasilnya produksi beras meningkat dari 11,32 juta ton menjadi 14 juta ton;
pertumbuhan ekonomi dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun; pendapatan
rata-rata penduduk (pendapatan per kapita) dari 80 dolar Amerika dapat
ditingkatkan menjadi 170 dolar Amerika. Tingkat inflasi dapat ditekan menjadi
47,8%.
Pada Repelita
II (1974–1979), strategi dasar pembangunan diarahkan pada pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional, dan pemerataan
pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan peningkatan industri
yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Keumudian pada Repelita III (1979-1984),
pembangunan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan
meningkatkan industri pengolahan bahan baku menjadi bahan jadi.
Setelah itu
Repelita IV (1984–1989) strategi dasar pembangunan metitikberatkan pada sektor
pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil
pertanian lainnya. Pembangunan sektor industri meliputi industri yang
menghasilkan barang ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja,
industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan
mesin-mesin industri. PJP (Pembanguan Jangka Panjang) I telah diakhiri dengan
Repelita V (1989–1994). Tahun 1973, Majelis Permusyawaratan Rakyat merumuskan
dan menetapkan GBHN pertama yang merupakan strategi pembangunan nasional.
Strategi yang
mendahulukan pembangunan pertanian tadi telah berhasil mengantarkan bangsa
Indonesia berswasembada beras, menyebarkan pembangunan secara luas kepada
rakyat, dan mengurangi kemiskinan di Indonesia. Berbagai macam industri telah
didirikan untuk meningkatkan produksinya. Pabrik semen di Gresik, Padang,
Cibinong, dan Ujung Pandang. Untuk memperkuat struktur industri Indonesia yang
masih lemah, mulai tahun 1984 pemerintah menyusun suatu langkah strategis yang
disebut “Peta Rangka Landasan” bidang industri dengan sistem “Pusat Pertumbuhan
Industri (Industrial Growth Center) “sebuah proyek percontohan di Lhok
Seumawe sebagai suatu wilayah terpadu dari pusat industri petrokimia, pupuk
Urea, semen, kertas, dan sebagainya.
Bersamaan
dengan itu terjadi perubahan struktur perekonomian negara dari sektor pertanian
ke sektor industri. Berdasarkan amanat GBHN 1983 kebijakan pembangunan antara
sektor pertanian dengan sektor di luar pertanian menjadi lebih berimbang. Peranan sektor pertanian dalam Prodak
Domestik Bruto (PDB) telah mengalami penurunan, sebaliknya peranan dari sektor
luar pertanian mengalami peningkatan. Sumbangan sektor pertanian dalam
pembentukan PDB terus menurun dari 46,9% menjadi 17,6% pada tahun 1993, dan dilain pihak peranan
sektor industri pengolahan (manufacturing) terus meningkat dari 8,3%
menjadi 21,1% pada kurun waktu yang sama, yang diikuti oleh sektor-sektor lain.[7]
Pada Pelita VI
(1994-1999) pemerintah mencanangkan periode ini sebagai tahap tinggal landas (take
off) dimana sektor pertanian yang semula memberikan sumbangan terbesar
terhadap PDB digantikan oleh sektor indutri pengolahan. Pemerintah Orde Baru
saat itu mengembangkan industri substitusi impor, dimana kebutuhan akan bahan
baku/penolong dipasok dari negara lain (outward looking) dan orientasi
pemasarannya pada pasar domestik (inward looking), sehingga industri
pengolahan ini menjadi penghambur devisa, padahal semula diandalkan sebagai
penghasil devisa. Strategi[8] yang diterapkan pemerintah ini ternyata
berakibat fatal dan menimbulkan kemerosotan ekonomi. Ketergantungan yang sangat
tinggi terhadap input impor menimbulkan terjadinya defisit transaksi neraca
berjalan yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Industri substitusi telah
membuat perekonomian Indonesia menjadi rentan terhadap perubahan kurs mata uang
dan tingkat suku bungan luar negeri.
Kepercayaan
dunia terhadap kepemimpinan Soeharto makin menurun. Pada April 1998, 7 bank
dibekukan operasinya dan nilai rupiah terus melemah sampai Rp15.000 perdolar.
Hal ini menyebabkan terjadinya aksi mahasiswa di berbagai kota di seluruh
Indonesia. Keadaan makin kacau ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM
dan ongkos angkutan. Krisis ekonomi tahun 1998 ini berdampak pada pengurangan
tenaga kerja di sektor industri sebanyak 9,9 juta orang.
4. Era Reformasi
Tujuan
reformasi adalah terciptanya kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
dan sosial yang lebih baik dari masa sebelumnya. Pada masa reformasi,
perekonomian Indonesia dimulai dengan krisis moneter yang berlanjut menjadi
krisis ekonomi. Pada era reformasi ini terjadi perubahan struktur ekonomi
(Tinjau Birokrasi Pengambilan Keputusan) dari yang etatis dan sentralistis
menjadi egaliter dan desentralis dimana pemerintahan daerah diberikan hak dan
wewenang untuk melaksanakan pembangunan
ekonomi.[9] Laju
inflasi pada tahun 1998 mencapai 10%. Pada saat itu hampir seluruh sektor
mengalami pertumbuhan negatif.
Hampir semua
jenis industri di Indonesia mengalami kemunduran bahkan ada terpaksa harus
ditutup karena pailit. Hal ini juga termasuk juga perusahan-perusahaan bidang
perkebunan juga mengalami penurunan, kecuali perkebunan kelapa sawit, teh dan
tembakau yang mengalami peningkatan. Luas tanaman dan produksi karet pada tahun
1999 menurun sebesar 1,13% dan 8,03%. Peran sektor industri pengolahan pada
tahun 1999 mencapai lebih dari seperempat (25,8%) komponen pembentukan PDB.
Sementara pertanian hanya menyumbang sebesar 19,4%.
Pada tahun 1999
laju pertumbuhan ekonomi Indoneisia diperkirakan telah menjadi positif yang
menunjukan tanda-tanda pemulihan perekonomian. Laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada saat itu adalah sekitar 0,23% dan pertumbuhan ekonomi tanpa migas
sebesar 0,35%. Permintaan tumbuh
signifikan pada kuartal pertama tahun 2000 di bidang invertasi (0,4%) dan
ekspor (1,1%). Hal tersebut didorong oleh investasi domestik, industri
manufaktur dan pertanian.
Peluang
pekerjaan di sektor industri pada tahun 1999 meningkat 1,1 juta, tetapi hal
tersebut masih tidak seimbang dengan jumlah jumlah penduduk yang juga banyak.
Meski begitu terjadi peningkatan jumlah pekerja sektor industri yang mulanya
(1998) sebanyak 34,5% menjadi 35,9% di
tahun 1999. Strategi dari industri manufaktur telah difokuskan pada industri
yang lebih luas. Hal ini dimaksudkan
agar struktur industri nasional tidak terlalu tergantung pada bahan mentah
impor.[10]
[1] Purnawan Basundoro, Industrilisasi,
Perkembangan Kota dan Respon Masyarakat: Studi Kasus Kota Gersik (Jurnal
Humaniora, Volume XIII, No 2/2001), h. 133
[2] Dumairy, Op.Cit., h. 230
[3] Ibid., h. 231
[4] Ibid., h.231
[5] Hampir setengahnya aliran modal tersebut berasal dari Rusia.
[6] Subandi, Op.Cit., h. 37
[7] Ibid., h. 44
[8] Maksudnya adalah strategi industrialisasi impor (import-substitution
industralization strategy).
[9] Hal tersebut didasarkan pada UU No 22 tahun 1999
yang sekarang telah diubah menjadi UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah.
[10] Siti Nadroh dkk, Indonesia
Selayang Pandang, (Jakarta: Medina Indonesia, 2003), h. 108