MONITORING TEMPAT-TEMPAT PENAHANAN
Monitoring tempat-tempat penahanan adalah upaya pengawasan dan
pemantauan terhadap kondisi dan keberlangsungan tempat-tempat penahanan untuk
memeriksa dan mengevalusasi kesesuaian antara prosedur standar dan pelaksanaan
yang dilakukan. Monitoring tempat-tempat
penahanan pada dasarnya merupakan aktifitas yang ditujukan untuk memberikan
informasi tentang implementasi prosedur penahanan sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku. Monitoring ini diperlukan agar untuk mengetahui berbagai
pelanggaran yang dilakukan saat penahanan baik itu berupa perlakuan istimewa
atau pun pelanggaran terhadap HAM terhadap tahanan. Dengan begitu dapat
dilakukan tindakan evaluasi dan perbaikan sistem hukum dan prosedur penahan
agar mengurangi risiko pelanggaran yang lebih besar.
Monitoring tempat-tempat penahanan menggambarkan proses,
keseluruhan waktu dari pemeriksaan regular, melalui kunjungan lapangan terhadap
seluruh aspek dari tempat penahanan. Pemeriksaan dapat melibatkan seluruh atau
beberapa kategori tahanan tertentu (lihat di bawah) yang ditahan di satu atau
lebih tahanan. (lihat di bawah). Monitoring mencakup penyebaran hasil secara
lisan maupun tertulis, sebagaimana juga rekomendasi-rekomendasi kepada pejabat
yang berwenang, dan kepada pihak-pihak lain yang terkait dalam perlindungan
atas orang yang dirampas kebebasannya di tingkat nasional dan internasional.
Monitoring juga termasuk tindak lanjut mengenai implementasi dari rekomendasi
yang diberikan pada pejabat yang berwenang. [1]
Salah satu hal yang perlu diketahui juga adalah bahwa tempat
penahanan dan Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) itu sebenarnya berbeda. Lapas
adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan. Sementara itu Rutan (Rumah Tahanan) adalah tempat
tersangka/terdakwa ditahan sementara sebelum keluarnya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap untuk menghindari tersangka/terdakwa tersebut melarikan
diri atau mengulangi perbuatannya. Artinya, Lapas itu diisi oleh narapidana,
sementara Rutan itu diisi oleh terdakwa dan tersangka. Dari segi waktunya, di
Lapas narapidana dibina selama proses hukuman/menjalani sanksi pidana.
Sementara itu, tersangaka/terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan.[2]
Namun meskipun demikian, Lapas dan Rutan pun tetap memiliki
persamaan, yaitu sama-sama merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain itu,
penempatan penghuni Rutan maupun Lapas sama-sama berdasarkan penggolongan umur,
jenis kelamin, dan jenis tindak pidana/kejahatan. Oleh karena itu, monitoring
terhadap Rumah tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan sebenarnya mempunyai
mekanisme dan fungsi yang sama.
Monitoring terhadap perlakuan dan kondisi tempat penahanan
orang-orang yang dirampas kebebasannya melalui kunjungan regular dan tanpa
pemberitahuan merupakan salah satu sarana paling efektif untuk mencegah
penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang.[3] Tujuan
utama dari monitoring tempat-tempat
penahanan adala untuk pencegahan penyiksaan dan peningkatan kondisi tempat
penahanan. Selama proses penahanan (tersangka/terdakwa) berlangsung, hal
tersebut berarti bahwa negara sedang merampas kebebas orang yang bersangkutan
dimana orang tersebut tidak diijinkan untuk meninggalkan tempat tersebut atas
kehendaknya, dengan melalui perintah dari pejabat kehakiman, pemerintah atau
pejabat lainnya. Oleh karena itu perlu diadakan perlindungan bagi mereka yang
dirampas kebebasannya karena sangat rentan dan beresiko terjadinya pelanggaran
HAM.
Monitoring terhadap tempat penahanan dilakukan melalui kunjungan
yang mana kunjungan-kunjungan tersebut memiliki fungsi sebagai berikut:[4]
1. Fungsi preventif, fakta sederhana bahwa seseorang dari
luar secara regular memasuki suatu tempat penahanan dengan sendirinya
berkontribusi atas perlindungan bagi mereka yang ditahan di sana;
2. Perlindungan
langsung, kunjungan lapangan
memungkinkan untuk bereaksi secepatnya terhadap persoalan yang menimpa tahanan
yang belum ditangani oleh pegawai yang sedang bertugas;
3. Dokumentasi: Selama kunjungan, aspek-aspek yang
berbeda dari tempat penahanan dapat diperiksa dan kelayakannya dapat dinilai;
informasi yang dikumpulkan menyediakan suatu landasan untuk menyusun suatu
penilaian dan mendokumentasikannya, dan untuk melakukan pembenaran atas
tindakan pembenahan yang diusulkan. Kunjungan juga memberikan kesempatan untuk
mendokumentasikan aspek-aspek tertentu dari tempat penahanan, yang daoat
ditanggapi dalam studi tematik;
4. Landasan untuk berdialog
dengan pejabat penahanan yang berwenang, kunjungan memungkinkan untuk membuat dialog langsung dengan
pejabat dan petugas yang sedang bertugas di fasilitas tempat penahanan. Dialog
ini, sejauh mungkin, karena didasarkan kepada rasa saling menghormati, mengarah
ke pengembangan suatu relasi kerja yang konstruktif di mana dapat diperoleh
sudut pandang petugas mengenai kondisi kerja mereka, dan persoalan-persoalan
yang mungkin telah mereka identifikasi
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa monitoring tempat penahanan ini sangat penting dilakukan untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran terhadap prosedur penahanan. Pelanggaran terhadap prosedur penahanan ini salah satunya adalah pelanggaran HAM terhadap tahanan. Salah satu contohnya adalah 3 kasus pelanggaran HAM berat di Rutan Pekan Baru, Riau yang ditemukan oleh Komnas HAM. Di Rutan tersebut terjadi over kapasitas tahanan yang seharusnya 561 orang dipaksakan untuk 1.870 orang yang menyebabkan terjadinya terjadinya situasi yang tidak kondusif. Selain itu, sikap arogansi yang berujung pada penganiayaan dan kekerasan terhadap narapidana menjadi temuan Komnas HAM. Belum lagi adanya pemerasan dan pungutan liar dilakukan petugas terhadap keluarga napi yang hendak membesuk. Berbagai modus pungutan terjadi di rutan tersebut, seperti pindah kamar yang dikenakan tarif hingga jutaan rupiah, tarif menelepon dan tarif berkunjung untuk keluarga.[5]
Kemudian juga dilansir dari media online Kompas, Working Group
Against Torture (WGAT) mencatat bahwa sepanjang Desember 2011- Februari
2012 telah terjadi 9 kasus kematian tahanan, seperti di Kepolisian dan Lembaga
Pemasyarakatan.[6]
Situasi ini sangat mengkhawatirkan, mengingat berdasarkan catatan Polri
sepanjang 2011, jumlah tahanan yang meninggal di beberapa rumah tahanan di
Indonesia sebanyak 19 orang. Penyebab meninggalnya tahanan pada proses
penahanan di Kepolisian maupun lembaga pemasyarakatan ini bermacam-macam. Mulai
dari perkelahian antar sesama tahanan, dugaan penyiksaan oleh petugas, sakit
atau luka-luka akibat kekerasan maupun sebab yang belum dapat diidentifikasi
oleh Pihak Kepolisian maupun Lembaga Pemasyarakatan. Namun, yang pasti terjadi
adalah Kepolisian maupun Lembaga Pemasyarakatan tidak memberi perlindungan dan
pemenuhan hak-hak tahanan secara maksimal. Mengingat tahanan yang meninggal
tersebut secara de facto dan yuridis berada di bawah kekuasaan dan
pengendalian aparat Kepolisian maupun petugas Lembaga Pemasyarakatan.
Padahal berdasarkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia; KUHAP; Kovenan
Hak-hak Sipil dan Politik maupun Konvensi Menentang Penyiksaan dan perlakuan
atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat
manusia yang sudah diratifikasi Pemerintah Indonesia serta Undang-Undang
Pemasyarakatan, tahanan maupun narapidana berhak untuk mendapat perlindungan
hukum dan fisik yang maksimal. Tahanan dan narapidana berhak untuk mendapatkan
perlakuan yang layak sebagaimana halnya manusia bebas lainnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, WGAT berpendapat bahwa
kasus-kasus meninggalnya tahanan atau narapidana di tempat-tempat penahanan
tersebut merupakan pelanggaran HAM yang perlu mendapat perhatian yang serius
dari Polri maupun Kementerian Hukum dan HAM yang membawahi langsung
lembaga-lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Kasus-kasus kematian tahanan atau
narapidana tidak akan terjadi apabila aparat penegak hukum, Kepolisian dan
Kejaksaan tidak menjadikan penahanan sebagai satu-satunya alternatif dalam
menangani perkara-perkara kriminalitas.
Polri dan Kejaksaan hendaknya mengubah pendekatan dalam menangani
perkara-perkara kriminalitas. Polri dan Kejaksaan tidak lagi menjadikan
penahanan sebagai satu-satunya cara dalam memproses suatu perkara kriminalitas.
Kementrian Hukum dan HAM Polri perlu memberi pelatihan kepada anggota dan
petugasnya mengenai pengelolaan tempat-tempat penahanan. Juga memberikan akses
yang luas kepada kelompok-kelompok masyarakat untuk mengunjungi dan melakukan
monitoring terhadap tempat-tempat penahanan yang ada di Indonesia. Komisi
Ombudsman, KPAI, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan meningkatkan kuantitas dan
kualitas pemantauan terhadap tempat-tempat penahanan yang ada di Indonesia. Langkah-langkah
di atas perlu segera dilaksanakan dan lembaga-lembaga negara terkait untuk
mencegah tempat-tempat penahanan menjadi kuburan baru bagi para tahanan dan
narapidana di Indonesia.
Download artikel ini
Download artikel ini
Sumber Referensi:
Association for The Prevention of Torture
(APT). 2016. Monitoring Tempat-Tempat Penahanan: Sebuah Panduan Praktis.
Tim Penerjemah ELSAM dari “Monitoring Places of Detention: A Practical Guide”
Ester Lince Napitupulu. “WGAT: Tempat Penahanan
Jangan Jadi Kuburan". Diakses pada 25 November 2017. http://nasional.kompas.com/read/2012/03/03/19402635/WGAT
.Tempat.Penahanan.Jangan.Jadi.Kuburan
Riyan Nofitra, “Komnas HAM Temukan 3
Pelanggaran HAM Berat di Rutan Pekan Baru”, diakses pada tanggal 25 November
2017. https://nasional.tempo.co/read/874164/
komnas-ham-temukan-3-pelanggaran-ham-berat-di-rutan-pekanbaru .
Djuwairiah Wonga, “5 Kasus Tahanan
Meninggal, Ada yang Kehilangan Organ Vital”. diakses pada tanggal 25 November
2017. http://kupang.tribunnews.com/2017/10/04/
tahanan-tewas-bukan-cuma-sekali-inilah-5-kasus-yang-pernah-terjadi-nomor-1-kehilangan-organ-vital?page=all
________, Hukum Online. “Perbedaan dan
Persamaan Rutan dan Lapas”. Diakses pada tanggal: 25 November 2017. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/
lt4b22ef6f96658/perbedaan-dan-persamaan-rutan-dan-lapas
[1]
Association for The Prevention of Torture (APT). Monitoring Tempat-Tempat
Penahanan: Sebuah Panduan Praktis. Tim Penerjemah ELSAM dari “Monitoring
Places of Detention: A Practical Guide”.
2016
[2]
________, Hukum Online. “Perbedaan dan Persamaan Rutan dan Lapas”. Diakses pada
tanggal: 25 November 2017. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4b22ef6f96658/perbedaan-dan-persamaan-rutan-dan-lapas
[3]
Association for The Prevention of Torture (APT). Op.Cit.
[4]
Ibid., h. 7-8
[5]
Riyan Nofitra, “Komnas HAM Temukan 3 Pelanggaran HAM Berat di Rutan Pekan
Baru”, diakses pada tanggal 25 November 2017. https://nasional.tempo.co/read/874164/komnas-ham-temukan-3-pelanggaran-ham-berat-di-rutan-pekanbaru
.
[6]
Ester Lince Napitupulu. “WGAT: Tempat Penahanan Jangan Jadi Kuburan".
Diakses pada 25 November 2017. http://nasional.kompas.com/read/2012/03/03/19402635/WGAT.Tempat.Penahanan.
Jangan.Jadi.Kuburan