Dinamika Penduduk dalam Pandangan Marxist

Aliran ini dipelopori oleh Karl Marx dan Friederich Engels dimana saat itu teori Maltus sangat berpengaruh baik di Inggris maupun di Jerman. Marx dan Engels tidak sependapat dengan Maltus yang menyatakan bahwa apabila tidak diadakan pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk, maka manusia akan kekurangan bahan pangan. Menurut Marx,[1] tekanan penduduk yang terdapat di suatu negara bukanlah tekanan penduduk terhadap bahan makanan, tetapi tekanan penduduk terhadap kesempatan kerja. Kemelaratan bukan disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat, melainkan karena kesalahan masyarakat itu sendiri seperti yang terdapat pada negara-negara kapitalis. Kaum kapitalis memotong sebagian dari pendapatan buruh sehingga mereka mendapatkan gaji yang rendah.

Menurut Marx dan Engels, bukan pertumbuhan penduduk yang menyebabkan kemelaratan, melainkan karena sistem kapitalis. Revolusi industri yang terjadi saat itu berperanguh besar bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Eropa, dimana tenaga mesin mengambil alih pekerjaan-pekerjaan yang sebelunya dilakukan oleh manusia. Dengan menggunakan mesin, proses produksi menjadi lebih efektif dan efisien, tidak membutuhkan banyak tenaga kerja serta dapat memproduksi barang dalam jumlah besar. Hadirnya teknologi industri, ternyata tidak memberikan kesejateraan bagi seluruh umat manusia, melainkan hanya sebagian kecil saja yang dapat menikmatinya, yaitu para kapitalis. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut, maka struktur masyarakat harus diubah menjadi sistem sosialis dimana alat-alat produksi dimiliki bersama.

Menurut Marx, apabila masyarakat dilihat secara keseluruhan akan ada dua kelas utama yang saling berhadapan dalam tatanan ekonomi kapitalis yaitu borjuis dan proletar. Borjuis adalah sekelompok pemilik sarana produksi dan pembeli tenaga kerja, sedangkan proletar adalah  sekelompok orang yang tidak memiliki sarana produksi dan hidup dari menjual tenaga kerjanya.[2]  


Terdapat beberapa kritik yang dilontarkan kepada teori Marx ini. Dalam teorinya ia menyatakan bahawa hukum kependudukan di negara sosialis merupakan antitesa hukum kependudukan di negara kapitalis. Menurut hukum ini apabila di negara kapitalis tingkat kelahiran dan tingkat kematian sama-sama rendah, maka dinegara sosialis akan terjadi kebalikannya, yaitu tingkat kelahiran dan kematian sama-sama tinggi. namun kenyataannya tidaklah demikian,  tingkat pertumbuhan penduduk di negara Unisoviet hampir sama dengan negara-negara maju yang sebagian besar merupakan negara kapitalis.

RRC sebagai negara sosialis tidak dapat mentolelir lagi pertumbuhan penduduk yang tidak dihambat sesuai dengan ajaran Marxist, karena beberapa wilayah jumlah bahan makan sudah sangat terbatas. Pada tahun 1953 pemerintah RRC mulai membatasi jumlah pertumbuhan penduduknya dengan menggunakan alat-alat kontrasepsi dan membolehkan pengguguran kandungan (abortion).[3]






[1] Paul B. Horton, Sosiologi jilid 2. Terjemahan Aminudin Ram, (Jakarta: Erlangga, _____., h. 56
[2] Dede Mulyanto, Antropologi Marx : Karl Mark, tentang Masyarakat dan Kebudayaan, (Bandung: Ultimus, 2011), hlm. 108
[3] Ida Bagoes Mantra, Demografi Umum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), Op.Cit., h. 57
LihatTutupKomentar

Iklan