Agama sebagai Ideologi Menurut Ali Syariati (Sosiologi Islam)
Latar belakang pemikiran Ali Syari’ati mengenai agama sebagai
ideologi, tidak lepas dari latar belakang keluarganya dan setting politik Iran
pada waktu itu. Syari’ati lahir di Mazinan (sebuah dusun kecil yang terletak di
pinggiri gurun Provinsi Khurazan), pada 24 November 1933. Ia lahir dan tumbuh
dalam kalangan keluarga sangat religius, dan terhormat. Ayahnya adalah seorang ulama besar, seorang
mujahid dan pendiri “Pusat Dakwah Islam” di Masyhad dan merupakan salah seorang
pelopor gerakan intelektual Islam Iran. Pamannya seorang murid ulama termasyur
dan kakeknya seorang filosof.
Situasi sosial yang dihadapi Syari’ati pada waktu itu berupa
problem-problem kolonialisme dan neo-kolonialisme yang telah melahirkan krisis
dalam berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, politik dan rasa keterasingan
dari kebudayaan sendiri. Kepemimpinan Mosaddeq yang berasal dari kalangan
nasionalis sekuler tidak berlangsung lama karena terjadinya kudeta. Dalang dari
kudeta tersebut adalah Amerika Serikat (CIA) yang berhasil menjatuhkan Musadeq
pada tahun 1953. Atas tekanan Amerika, Uni Soviet pun menarik diri dari Iran
dan pada saat yang bersamaan, Amerika membangun kedekatan dengan rezim Muhammad
Reza Shah Pahlevi.
Partai nasionalis bekas pimimpinan Musadeq pada waktu itu menjadi
gerakan bawah tanah. Dalam kondisi tersebut Syari’ati hadir dan menawarkan
sebuah ideologi baik bagi mereka yang tetap kuat beragama, maupun bagi mereka
yang ingin mengadakan suatu revolusi. Syariati berpendapat bahwa krisis yang
dihadapi Iran tidak akan mampu diatasi, baik oleh liberalis kapitalis, atau pun
oleh komunisme Marxis dan sosialis. Disinilah, Syariati melihat Islam sebagai
satu-satunya ideologi yang dapat menyelamatkan Iran.
Ideologi
merupakan suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial,
sejarah dan proyeksinya kedepan serta mensosialisasikan suatu bentuk hubungan
ke depan. Menurut Syari’ati sebagai ideologi, agama adalah keyakinan yang
secara sadar dipilih untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan serta masalah-masalah
yang ada. Dengan demikian, Islam harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan
revolusioner untuk membebaskan “rakyat” baik secara kultural maupun politik.
Pemikiran Syari’ati secara umum lahir dari kesadarannya akan
problem-problem yang dimunculkan oleh hegemoni barat terhadap Dunia Ketiga
dalam bentuk kolonialisme yang hampir meliputi seluruh aspek kehidupan bahkan
mampu mengubah pola pikir rakyat. Jadi rakyat disini sebeenarnya tidak saja
penduduk Iran melainkan masyarakat dunia secara umum. Selain itu, menurut
Syari’ati bahwa musuh Islam itu tidak hanya ideologi-ideologi barat, melainkan
juga kalangan “ulama” Islam konservatif yang menjadikan Islam hanya sebatas
kegiatan ritual saja, atau memisahkan kehidupan dunia dan akhirat dan fuqoha
yang telah menjadikan doktrin Islam sebagai alat legitimasi status quo.
Menurut Syari’ati, Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw tidak hanya
sekedar agama, tetapi sebuah aliran pemikiran atau –isme yang mencerahkan atau
memberikan kesadaran terhadap masyarakat untuk berhadapan dengan status quo
atau isme yang membelenggu dan menindas, dan yang selalu ada dalam setiap masa
menghapus kekufuran serta kejumudan berpikir. Syari’ati berpandangan bahawa
fungsi kenabian haruslah diteruskan, dan yang bisa meneruskan posisi Nabi saat
ini adalah seorang raushanfekr.
Raushanfekr adalah seorang pemikir yang tercerahkan, yaitu
seorang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” di masanya serta seting
kesejarahannya dan masyarakatnya. Menurut Syari’ati, faktor perubahan sosial
memang ‘massa’ atau rakyat itu sendiri, namun seharusnya ada di antara mereka
yang tampil memimpin perubahan tersebut. Seorang raushanfekr akan
mengajarkan masyarakatnya tentang bagaimana “caranya” berubah dan akan
mengarahkan kemana arah perubahan itu. Tujuan seorang raushanfekr adalah
menanamkan dalam diri masyarakatnya keyakinan bersama yang dinamis dan membantu
mereka untuk mencapaikesadaran diri dan merumuskan cita-cita mereka.
Menurut Syari’ati, kita memiliki tugas intelektual, yaitu
mempelajari dan memahami Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan
kehidupan manusia, perseorangan maupun masyarakat dan sebagai intelektual, kita
memikul amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Dalam rangka
memahami Islam, maka ada dua metode yang diperlukan, yaitu: pertama,
mempelajari Al-Qur’an sebagai himpunan ide serta produk ilmiah dan sastra; Kedua,
mempelajari sejarah Islam, yaitu seluruh perkembangan yang pernah dialami Islam
sejak awal risalah Rasul hingga hari ini dengan Nabi, dan tokoh-tokohnya.
Download artikel ini
Download artikel ini
Sumber Referensi:
Jauhari, Imam B. 2012. Teori Sosial:
Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syari’ati, Ali. 1988. Membangun Masa
Depan Islam. Terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Mizan.
Syari’ati, Ali. 1984. Ideologi Kaum
Intelektual. Penyunting Syafiq Basri dan Haidar Bagir. Bandung: Mizan.