Pembangunan Berbasis Budaya



A.    Pengertian Pembangunan Berbasis Budaya
Menurut Parsudi Suparlan (1997) dalam bukunya Antropologi Pembangunan mengatakan bahwa pembangunan  adalah :
“serangkaian upaya yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah, badan-badan atau lembaga-lembaga internasional, nasional atau lokal yang terwujud dalam bentuk-bentuk kebijaksanaan, program, atau proyek, yang secara terencana mengubah cara-cara hidup atau kebudayaan dari sesuatu masyarakat sehingga warga masyarakat tersebut dapat hidup lebih baik atau lebih sejahtera daripada sebelum adanya pembangunan tersebut.”

Menurut Djojonegoro (1996:7), pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi masyarakat dari suatu keadaan pada keadaan yang lain yang makin mendekati tata masyarakat yang dicita-citakan; dalam proses transformasi itu ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu keberlanjutan (continuity) dan perubahan (change), tarikan antara keduanya menimbulkan dinamika dalam perkembangan masyarakat.
Sementara itu kebudayaan merupakan variasi pola-pola hidup masyarakat yang termanifestasi dalam nilai-nila, norma, tindakan, kebiasaan, simbol-simbol, dan perlatan sehari-hari. Secara bahasa, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau budi. Jadi kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan adalah culture. Istilah cuture berasal dari bahasa Latin yang colere yang bererti mengolah tanah atau bertani. Berdasarkan pengertian tersebut, culture dapat diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan merubah alam.
Menurut Edward Brunet Tylor (Saebani, 2012: 162) kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sementara Selo Soemadjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan hasil kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat kebudayaan atau budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Pengertian tersebut merujuk pada gagasan J.J Honigmann tentang wujud kebudayaan atau disebut juga ’gejala kebudayaan’. Honigmann membagi kebudayan kedalam tiga wujud, yakni kebudayaan dalam wujud ide, pola tindakan dan artefak atau benda-benda (Herimanto dan Winarto 2008:25). Wujud kebudayaan ide merupakan wujud ideal dari suatu kebudayaan yang bersifat abstrak seperti nilai, norma, gagasan dan peraturan. Wujud kebudayaan activities merupakan sistem sosial (social system) dari suatu kebudayaan mengenai tindakan manusia yang berpola seperti upacara adat dalam kelahiran, perkawinan dan kematian. Wujud kebudayaan artifacts  merupakan perwujudan dari suatu kebudayaan berupa benda fisik seperti patung, kaligrafi, anyaman dan lain-lain.
Seorang antropolog bernama C. Kluckhohn (Soekanto, 2012: 154) dalam karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture telah menguraikan ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap bersifat universal, yaitu: (1) Perlengkapan dan peralatan hidup manusia; (2) Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi; (3) Sistem kemasyarakatan yang meliputi sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum dan sistem perkawinan; (4) Bahasa; (5) Kesenian; (7) Sistem pengetahuan; (8) Sistem kepercayaan atau religi.
Bedasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan berbasis kebudayaan adalah serangkaian upaya transformasi sosial yang direncanakan baik oleh pemerintah maupun organisasi kemasyarakat yang terwujud dalam kebijakan atau program kerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang didasarkan atas nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat masyarakat setempat. Dengan demikian, secara sederhana pembangunan berbasis kebudayaam adalah pembangunan yang memanfaatkan nilai-nilai luhur budaya masyarakat setempat sebagai modal sosial (social capital) dalam pembangunan.

B.     Latar Belakang Munculnya Konsep Pembangunan Berbasis Kebudayaan
Latar belakang munculnya konsep pembangunan berbasis kebudayaan tidak lepas dari kritik terhadap teori modernisasi klasik yang menempatkan nilai-nilai budaya barat sebagai nilai terbaik yang wajib diikuti oleh negara dunia ketiga. Para kritikus tidak setuju dengan teori modernisasi klasik yang mempertentangkan nilai tradisional dengan modern, dan melihat nilai tradisional negara Dunia Ketiga bersifat homogen. Mereka mengatakan bahwa nilai tradisional dan modern bukanlah sesuatu yang bertolak-belakang satu dengan yang lainnya, akan tetapi hidup berdampingan (Martono, 2012: 63). Selain itu, nilai tradisional menurut mereka tidak selalu menjadi penghambat proses pembangunan di negara Dunia Ketiga. Negara Dunia Ketiga memiliki nilai tradisional yang sangat heterogen yang akan selalu hadir dan tidak mungkin dihilangkan.
Wong dalam penelitiannya menemukan kekuatan yang luarbiasa dari nilai-nilai tradisional China terhadap kewiraswastaan, yang akan berimplikasi terhadap pembangunan ekonomi. (Yulifar, 2010) Wong menguji dengan cermat tentang pengaruh pranata keluarga terhadap berbagai organisasi badan usaha milik etnis China di Hongkong. Faktor yang diamati adalah tentang ideologi dan praktek manajamen paternalistik, tenaga kerja keluarga, dan pemilikan keluarga. Di dalam teori modernisasi klasik, nilai-nilai tradisional China diakui sangat dahsyat dan menimbulkan nepotisme, merendahkan disiplin kerja, menghalangi proses seleksi tenaga kerja di pasar bebas, mengurangi insentif individual untuk investasi, menghalangi proses tumbuhnya berpikir rasional dan merintangi tumbuhnya norma-norma bisnis universal.
Menurut penelitian Wong, secara ekonomis hubungan paternalisme membantu para usahawan untuk menarik dan mempertahankan tenaga kerja yang ada di dalam industri yang sangat fluktuatif. Secara politis, jika para pekerja merasa tidak puas terhadap kebijakan pengusaha, maka tidak aka nada perlawanan secara kelompok, seperti melalui demo. Tetapi lebih diekspresikan secara pribadi. Misalnya, dengan cara mangkir dari tempat kerja atau mengundurkan diri.
Nepotisme, bagi Wong dalam penelitiannya memperlihatkan sisi positif. Melalui nepotisme, berbagai badan usaha di Hongkong berhasil mempertahankan eksistensinya. Melalui sistem penggajian dan pembagian kerja, serta lama bekerja yang fleksibel, dan pengusaha dapat memiliki kekuatan dan posisi yang kuat di dalam persaingan antar perusahaan. Karena, di saat perusahaan mengalami masa kritis, para pekerja yang cakap, terdiri dari sanak keluarga bisa dibayar murah atau ditunda bayarannya. Ketika posisi perusahaan menjadi lebih baik bahkan tumbuh kembang ke arah yang bagus, maka perusahaan membayar hutang mereka kepada para pekerja dan mencoba lebih mensejahterakannya. Jika ada anggota keluarga menduduki posisi manejerial, usahawan etnis Cina tersebut akan memberikan dan mencukupi segala kebutuhannya, dan melengkapinya dengan pendidikan formal sekaligus kesempatan untuk magang. Oleh karena itu, menurut Wong, tenaga menejer keluarga sangat jarang memiliki standar mutu yang rendah.
Untuk segi investasi, wong menemukan bahwa pada tahun 1978, permodalan perusahaan kecil dimiliki oleh individual atau keluarga mereka dalam kisaran 60%. Model pemilikan keluarga ini sangat membantu keberhasilan usaha etnis Cina dI Hongkong. Di samping itu, tingginya tingkat kepercayaan terhadap antar anggota keluarga, kemudahan mencapai konsensus, kemampuan menutupi rahasia dan pengambilan keputusan yang sangat cepat membuat perusahaan keluarga memiliki daya saing yang kuat.

Menurut Djojonegoro (1996:7), pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi masyarakat dari suatu keadaan pada keadaan yang lain yang makin mendekati tata masyarakat yang dicita-citakan; dalam proses transformasi itu ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu keberlanjutan (continuity) dan perubahan (change), tarikan antara keduanya menimbulkan dinamika dalam perkembangan masyarakat.
Sementara itu kebudayaan merupakan variasi pola-pola hidup masyarakat yang termanifestasi dalam nilai-nila, norma, tindakan, kebiasaan, simbol-simbol, dan perlatan sehari-hari. Secara bahasa, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau budi. Jadi kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan adalah culture. Istilah cuture berasal dari bahasa Latin yang colere yang bererti mengolah tanah atau bertani. Berdasarkan pengertian tersebut, culture dapat diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan merubah alam.
Menurut Edward Brunet Tylor (Saebani, 2012: 162) kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sementara Selo Soemadjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan hasil kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat kebudayaan atau budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Pengertian tersebut merujuk pada gagasan J.J Honigmann tentang wujud kebudayaan atau disebut juga ’gejala kebudayaan’. Honigmann membagi kebudayan kedalam tiga wujud, yakni kebudayaan dalam wujud ide, pola tindakan dan artefak atau benda-benda (Herimanto dan Winarto 2008:25). Wujud kebudayaan ide merupakan wujud ideal dari suatu kebudayaan yang bersifat abstrak seperti nilai, norma, gagasan dan peraturan. Wujud kebudayaan activities merupakan sistem sosial (social system) dari suatu kebudayaan mengenai tindakan manusia yang berpola seperti upacara adat dalam kelahiran, perkawinan dan kematian. Wujud kebudayaan artifacts  merupakan perwujudan dari suatu kebudayaan berupa benda fisik seperti patung, kaligrafi, anyaman dan lain-lain.
Seorang antropolog bernama C. Kluckhohn (Soekanto, 2012: 154) dalam karyanya yang berjudul Universal Categories of Culture telah menguraikan ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap bersifat universal, yaitu: (1) Perlengkapan dan peralatan hidup manusia; (2) Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi; (3) Sistem kemasyarakatan yang meliputi sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum dan sistem perkawinan; (4) Bahasa; (5) Kesenian; (7) Sistem pengetahuan; (8) Sistem kepercayaan atau religi.
Bedasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan berbasis kebudayaan adalah serangkaian upaya transformasi sosial yang direncanakan baik oleh pemerintah maupun organisasi kemasyarakat yang terwujud dalam kebijakan atau program kerja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang didasarkan atas nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat masyarakat setempat. Dengan demikian, secara sederhana pembangunan berbasis kebudayaam adalah pembangunan yang memanfaatkan nilai-nilai luhur budaya masyarakat setempat sebagai modal sosial (social capital) dalam pembangunan.

B.     Latar Belakang Munculnya Konsep Pembangunan Berbasis Kebudayaan
Latar belakang munculnya konsep pembangunan berbasis kebudayaan tidak lepas dari kritik terhadap teori modernisasi klasik yang menempatkan nilai-nilai budaya barat sebagai nilai terbaik yang wajib diikuti oleh negara dunia ketiga. Para kritikus tidak setuju dengan teori modernisasi klasik yang mempertentangkan nilai tradisional dengan modern, dan melihat nilai tradisional negara Dunia Ketiga bersifat homogen. Mereka mengatakan bahwa nilai tradisional dan modern bukanlah sesuatu yang bertolak-belakang satu dengan yang lainnya, akan tetapi hidup berdampingan (Martono, 2012: 63). Selain itu, nilai tradisional menurut mereka tidak selalu menjadi penghambat proses pembangunan di negara Dunia Ketiga. Negara Dunia Ketiga memiliki nilai tradisional yang sangat heterogen yang akan selalu hadir dan tidak mungkin dihilangkan.
Wong dalam penelitiannya menemukan kekuatan yang luarbiasa dari nilai-nilai tradisional China terhadap kewiraswastaan, yang akan berimplikasi terhadap pembangunan ekonomi. (Yulifar, 2010) Wong menguji dengan cermat tentang pengaruh pranata keluarga terhadap berbagai organisasi badan usaha milik etnis China di Hongkong. Faktor yang diamati adalah tentang ideologi dan praktek manajamen paternalistik, tenaga kerja keluarga, dan pemilikan keluarga. Di dalam teori modernisasi klasik, nilai-nilai tradisional China diakui sangat dahsyat dan menimbulkan nepotisme, merendahkan disiplin kerja, menghalangi proses seleksi tenaga kerja di pasar bebas, mengurangi insentif individual untuk investasi, menghalangi proses tumbuhnya berpikir rasional dan merintangi tumbuhnya norma-norma bisnis universal.
Menurut penelitian Wong, secara ekonomis hubungan paternalisme membantu para usahawan untuk menarik dan mempertahankan tenaga kerja yang ada di dalam industri yang sangat fluktuatif. Secara politis, jika para pekerja merasa tidak puas terhadap kebijakan pengusaha, maka tidak aka nada perlawanan secara kelompok, seperti melalui demo. Tetapi lebih diekspresikan secara pribadi. Misalnya, dengan cara mangkir dari tempat kerja atau mengundurkan diri.
Nepotisme, bagi Wong dalam penelitiannya memperlihatkan sisi positif. Melalui nepotisme, berbagai badan usaha di Hongkong berhasil mempertahankan eksistensinya. Melalui sistem penggajian dan pembagian kerja, serta lama bekerja yang fleksibel, dan pengusaha dapat memiliki kekuatan dan posisi yang kuat di dalam persaingan antar perusahaan. Karena, di saat perusahaan mengalami masa kritis, para pekerja yang cakap, terdiri dari sanak keluarga bisa dibayar murah atau ditunda bayarannya. Ketika posisi perusahaan menjadi lebih baik bahkan tumbuh kembang ke arah yang bagus, maka perusahaan membayar hutang mereka kepada para pekerja dan mencoba lebih mensejahterakannya. Jika ada anggota keluarga menduduki posisi manejerial, usahawan etnis Cina tersebut akan memberikan dan mencukupi segala kebutuhannya, dan melengkapinya dengan pendidikan formal sekaligus kesempatan untuk magang. Oleh karena itu, menurut Wong, tenaga menejer keluarga sangat jarang memiliki standar mutu yang rendah.


Untuk segi investasi, wong menemukan bahwa pada tahun 1978, permodalan perusahaan kecil dimiliki oleh individual atau keluarga mereka dalam kisaran 60%. Model pemilikan keluarga ini sangat membantu keberhasilan usaha etnis Cina dI Hongkong. Di samping itu, tingginya tingkat kepercayaan terhadap antar anggota keluarga, kemudahan mencapai konsensus, kemampuan menutupi rahasia dan pengambilan keputusan yang sangat cepat membuat perusahaan keluarga memiliki daya saing yang kuat.

C.    Pembangunan Berbasis Budaya dalam Community Development
Tujuan pembangunan berbasis masyarakat (Community Development) adalah untuk menciptakan masyarakat yang berdaya dan berbudaya.  Keberdayaan memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan. Pengembangan daya tersebut dilakukan dengan mendorong, memotivasi, dan membangikitkan kembali kesadaran akan potensi dari budaya luhur yang dimiliki masyarakat setempat. Pembangunan yang dilakukan mengutamakan partisipasi masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai dan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat setempat.
Community Development Program (Program Pemberdayaan Masyarakat) merupakan suatu progam/proyek yang bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan berdasarkan pengembangan kemandirian masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat, partisipasi masyarakat dan kelembagaan dalam penyelenggaraan pembangunan. Community Development dengan segala kegiatannya dalam pembangunan menghindari metode kerja "doing for the community", tetapi mengadopsi metode kerja "doing with the community".
Menurut Arthur Dunham, Community Development  adalah usaha-usaha yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri. Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-individu di dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan teknis baik dari pemerintah maupun organisasi-organisasi sukarela.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembangunan berbasis budaya merupakan komponen utama dari Community Development yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang berdaya dan berbudaya. Maksud dari berdaya dan berbudaya disini adalah masyarakat mampu mengembangkan dan mempertahankan eksistensinya sendiri baik dibidang sosial, ekonomi, politik dan hukum tanpa harus kehilangan jatidirinya (budaya-nya sendiri).

D.    Urgensi Pembangunan Berbasis Budaya
Urgensi suatu budaya dapat dilihat dari fungsinya yang mempunyai peran penting bagi kehidupan manusia. Fungsi budaya yakni mempersatukan masyarakat, memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong perubahan di dalam masyarakat. Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat salah satunya melalui proses pembangunan. Persoalan kebudayaan merupakan bagian penting dalam proses pembangunan.   Kebudayaan terkait dengan persoalan karakter dan mental bangsa yang menentukan keberhasilan pembangunan di Indonesia. Apabila mental dan karakter bangsa yang cenderung destruktif dan koruptif tentunya tujuan pembangunan akan sulit terlaksana, begitu pula sebaliknya. Di sisi lain pembangunan multisektor lainnya juga membutuhkan peranan kebudayaan untuk mendukung suksesnya program-program yang akan dijalankan. Seringkali timbul permasalahan, ketidakberhasilan sasaran program yang dijalankan di daerah disebabkan oleh kurangnya dukungan dari faktor budaya masyarakat tertentu.
Misalnya yang terjadi pada krisis ekonomi tahun 1998 mengajarkan kepada kita bahwa pembangunan Indonesia yang bertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi saja ternyata keliru. Kejayaan ekonomi Indonesia mengalami kehancuran terkena krisis akibat lemahnya pondasi yang menyangga perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia yang dibangun dengan semangat KKN tidak kuat menerima terpaan krisis yang berawal dari krisis mata uang Thailand. Model pembangunan ala Pemerintah Orde Baru  yang terlihat kuat di luar tetapi rapuh di dalam memberikan pelajaran berharga bagi pengambil kebijakan ke depan agar tidak mengabaikan perhatiannya terhadap persan serta pembangunan sektor lainnya, khususnya peran serta dari kebudayaan.
Kebudayaan  Indonesia berkaitan dengan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya masyarakat yang tinggal mendiami wilayah Indonesia. Kebudayaan Indonesia yang terbentuk dari ratusan budaya daerah memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan negara lain. Di sini ditemukan ratusan adat istiadat, kesenian, dan bahasa sukubangsa yang berbeda-beda, yang merupakan  potensi untuk dikembangkan dalam proses pembangunan ke depan terutama untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.

E.     Contoh Pembangunan Berbasis Budaya
Contoh pembangunan berbasis budaya di Indonesia adalah kegiatan bedah rumah di Jorong, Cingkariang, Kabupaten Agam. Program kerja pemerintah ini menggunakan pendekatan pembangunan berbasis masyarakat (Community Based Development) dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat terutama tokoh masyarakat yang dikenal dengan “urang ampek nan jiniah” dan adanya dukungan dari budaya lokal dalam rangka meningkatkan kualitas hunian masyarakat miskin tersebut. Hasil penelitian Syukri (2009) menunjukkan bahwa peran budaya lokal sangat berarti dalam mendukung keberhasilan kegiatan bedah rumah di Jorong Cingkariang, beberapa budaya lokal yang ada yaitu jiwa tolong menolong, kekerabatan, musyawarah mufakat dan gotong royong berperan dalam berbagai aspek yaitu kelembagan lokal, pemilihan penerima bantuan, tahap pembangunan, pembiayaan dan penyediaan lahan untuk pembangunan rumah layak huni bagi masyarakat miskin. Rekomendasi yang ditawarkan adalah untuk mempertahankan budaya lokal yang ada dan menjaga keberlanjutan kegiatan bedah rumah ini.
Menurutnya, masyarakat termotivasi untuk berpartisipasi dalam setiap proses pembangunan, khususnya rumah layak huni bagi masyarakat miskin, hal ini disebabkan oleh adanya rasa kekerabat yang cukup kental, rasa kebersamaan dan jiwa tolong menolong. Pelaksanaan kegiatan bedah rumah ini mendapat dukungan penuh dari seluruh lapisan masyarakat karena penerima bantuan ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan bersama dengan cara musyawarah dan mufakat.
Kelembagaan lokal yang beranggotakan ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai dan bundo kanduang, yang dikenal dengan urang ampek nan jiniah, dalam kegiatan bedah rumah ini sangat signifikan, oleh karena lembaga-lembaga lokal inilah yang mengerakkan kegiatan serta menggali potensipotensi lokal yang ada di Jorong Cingkariang untuk mendukung keberhasilan kegiatan bedah rumah ini. Hubungan sosial antar masyarakat akan menjadi lebih erat, oleh karena dalam pelaksanaan pembangunan rumah ini dilakukan dengan semangat gotong royong, melalui kerjasama antara kaum muda dan kaum tua untuk menolong saudaranya yang miskin dalam memenuhi kebutuhan rumah yang layak huni.
Masyarakat memberikan bantuan dananya secara ikhlas untuk pembangunan rumah layak huni sebagai bentuk kepedulian kepada saudara mereka yang membutuhkan, selain itu mereka lebih terpacu untuk menyumbang karena pengelolaan dana tersebut dilakukan dengan manajemen keterbukaan dan kebersamaan sehingga bisa dipantau langsung oleh seluruh lapisan masyarakat.
Keberhasilan kegiatan bedah rumah ini dapat dilihat dengan telah dibangunnya empat unit rumah baru secara berkelanjutan untuk masyarakat miskin dan terwujudnya keberdayaan masyarakat, karena masih terpeliharanya budaya lokal yang merupakan kekuatan masyarakat di Jorong Cingkariang dalam kegiatan bedah rumah ini. Peran budaya lokal sangat berarti dalam mendukung keberhasilan kegiatan bedah rumah di Jorong Cingkariang, beberapa budaya lokal yang ada yaitu jiwa tolong menolong, kekerabatan, musyawarah mufakat dan gotong royong berperan dalam bebagai aspek yaitu kelembagan lokal, pemilihan penerima bantuan, tahap pembangunan, pembiayaan dan penyediaan lahan untuk pembangunan rumah layak huni bagi masyarakat miskin.



Kesimpulan 
  • Pembangunan berbasis kebudayaam adalah pembangunan yang memanfaatkan nilai-nilai luhur budaya masyarakat setempat sebagai modal sosial (social capital) dalam pembangunan.
  • Latar belakang munculnya konsep pembangunan berbasis kebudayaan adalah sebagai kritik terhadap teori modernisasi klasik yang terlalu mengangung-angungkan nilai Barat dan mensubordinasikan nilai-nilai tradisional.
  • Pembangunan berbasis budaya merupakan komponen utama dari Community Development yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang berdaya dan berbudaya.
  • Urgensi pembangunan berbasis budaya adalah untuk menciptakan masyarakat harmonis yang berdaya menghadapi perkembangan zaman tanpa harus kehilangan nila-nilai luhur warisan nenek moyangnya.
  • Contoh pembangunan berbasis budaya di Indonesia adalah kegiatan bedah rumah di Jorong, Cingkariang, Kabupaten Agam, dimana peran budaya lokal seperti kebiasaan tolong menolong, musyawarah mufakat dan gotong royong sangat berarti dalam mendukung keberhasilan kegiatan tersebut.


Saran
  • Pendekatan pembangunan berbasis budaya sangat strategis untuk diterapkan di Indonesia yang heterogen dan pluralistis.
  • Diharapkan pembangunan berbasis budaya yang telah dilakukan di sebagian masyarakat dapat ditiru oleh masyarakat yang lainnya. 


DAFTAR PUSTAKA

Horton, Paul B. & Chester L. Hunt, ________, Sosiologi jilid 2, terjemahan Aminudin Ram, Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kurniawan, Borni. Kearifan Lokal di Tengah Arus Pembangunan. Jurrnal Ilmu Kesejateraan Sosial: Welfare, Vol. 1, No. 2, Desember 2012
Saebani, Beni Ahmad. 2012. Pengantar Antropologi. Bandung: Pustaka Setia.
Santoso, Purwo. Menuju Pemerintahan Desa Berbasis Budaya Lokal: Antisipasi Kesulitan Penataan. Disampaikan pada Seminar Nasional dalam perayaan Wisuda Program Pascasarjana MAPD IPDN tahun 2011 pada tanggal 10 Agustus 2011 di Gedung Aula Zamhir Islamie, Cilandak Timur Jakarta Selatan.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2012

Yulifar, Leli. 2010. Handbook Sosiologi dan Antropologi Pembangunan. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Ilmu Sosial – Universitas Pendidikan Indonesia.
LihatTutupKomentar

Iklan