Download Ebook : Kajian Kesejahteraan dan Keamanan Penduduk di Wilayah Perbatasan PDF
Judul Buku : Kajian Kesejahteraan dan Keamanan
Penduduk di Wilayah Perbatasan
Indonesia
Penerbit : BKKBN
Tahun Terbit : 2012
Suber : www.bkkbn.go.id
Download : Klik Disini
Isu-isu
perbatasan negara merupakan isu yang bersifat universal. Artinya hampir seluruh
negara di dunia menghadapi persoalan-persoalan seputar dengan wilayah
perbatasan negaranya. Pada dasarnya permasalahan di daerah perbatasan dapat
dibagi menjadi dua yaitu persoalan penegasan batas-batas negara secara fisik,
dan pengelolaan daerah-daerah perbatasan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Indonesia
berbatasan dengan sepuluh negara lain yakni Malaysia, PNG, Timor Leste,
Australia, India, Thailand, Singapura, Vietnam, Palau, dan Filipina. Wilayah
perbatasan Indonesia-Malaysia memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan
dengan daerahdaerah Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara lain. Dengan
panjang garis perbatasan ±1.840 km menyimpan sejumlah persoalan yang berdimensi
daerah, nasional maupun regional.
Temuan
kepustakaan dan data lapangan mengemukakan bahwa implementasi pengelolaan
wilayah perbatasan yang dilakukan Pemerintah Indonesia selama ini dirasakan
belum dilakukan secara komprehensif. Artinya pengelolaan dilakukan secara
parsial, sporadis dan ad-hoc. Akibatnya permasalahan-permasalahan yang muncul
dan dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan tidak dapat
diselesaikan secara menyeluruh. Terisolirnya daerah-daerah perbatasan, minimnya
sarana dan prasarana, rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk, penyelundupan,
illegal logging, human trafficking, hingga potensi degradasi rasa nasionalisme
masyarakat perbatasan merupakan masalah krusial yang harus segera diatasi.
Temuan lapangan
selama penelitian menunjukkan adanya masalah-masalah sebagai berikut (contoh di
Kalimantan Barat) : ketimpangan pembangunan fisik, kelangkaan fasilitas dan
infrastruktur-listrik, jaringan transportasi, fasilitasi kesehatan, ketimpangan
akses informasi, ekonomi dan perdagangan, disharmoni antara aparat militer dan
masyarakat dan kekesalan masyarakat terhadap perilaku pejabat. Masalah di Papua
sedikit berbeda, antara lain adalah kerawanan keamanan, penyelundupan senjata,
amunisi dan narkoba, konflik pertanahan, kelangkaan fasilitas dan infrastruktur
kesehatan, ketimpangan akses ekonomi dan perdagangan, kapasitas SDM yang
rendah, budaya minum minuman keras yang pada derajat tertentu bias mengarah
destruktif, serta masalah disharmoni antara penduduk asli dan pendatang.
Sementara itu
masalah di perbatasan Nusa Tenggara Timur dengan Timur Leste sedikit berbeda
dengan di Kalimantan Barat dan Papua. Karena Timor Leste sempat mengalami masa
bersama Republik Indonesia, sehingga ketika terjadi peralihan kekuasaan,
terjadi pula gelombang exodus besar-besaran dari Timor Leste ke Indonesia.
Sampai saat ini proses pengungsian dan resettlement para pengungsi tersebut
masih bermasalah. Kenyataan lain adalah tidak terlalu nampak perbedaan
kesejahteraan antara kedua wilayah tersebut. Karena bisa dikatakan, antara
Timor Leste dan NTT samasama wilayah yang tertinggal dari sisi pembangunan.
Walaupun, Timor Leste banyak mendapat prioritas pembangunan ketika bergabung
dengan Indonesia, juga beberapa tahun setelah jajak pendapat yang disokong oleh
PBB.
Pendekatan
keamanan (security approach) yang diterapkan Pemerintah Indonesia pada
daerah-daerah perbatasan menyebabkan wilayah-wilayah di Kalimantan Barat maupun
Kalimantan Timur tertinggal bila dibandingkan dengan wilayah Sarawak dan Sabah,
Malaysia. Dari kondisi sarana dan prasarana, pembangunan daerah serta tingkat
kesejahteraan penduduk, harus diakui terjadi kesenjangan yang cukup signifikan
antara daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia.
Perubahan
paradigma untuk menjadikan daerah perbatasan sebagai “halaman depan” (front
yard) negara oleh pemerintah perlu didukung oleh sejumlah perangkat
kebijakan. Dimensi kelembagaan merupakan salah satu perangkat penting. Sejauh
ini lembaga atau institusi yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk mengelola
perbatasan Indonesia tersebar di sejumlah instansi pusat dan daerah. Lebih
lanjut, pada era otonomi daerah yang sedang berlangsung saat ini, pemerintah
daerah mempunyai kewenangan lebih untuk mengelola daerahnya masing-masing,
termasuk daerah yang berbatasan dengan negara lain. Terjadinya tumpang tindih
kewenangan, kurang harmonisnya hubungan kerja dan tingginya ego sektoral adalah
konsekuensi dari banyaknya instansi yang terlibat.
Akhirnya,
pemikiran yang mengemuka adalah bahwa mengelola perbatasan bagi pemerintah
Indonesia tak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan keamanan tradisional
yang bertumpu pada pendekatan kemiliteran (hankam) belaka. Pendekatan
kemiliteran tetap penting, utamanya dalam menangani masalah di perbatasan laut
ataupun tindak pidana di perbatasan darat seperti illegal logging, smuggling,
ataupun human trafficking. Namun pendekatan kemiliteran saja tidak cukup karena
persoalan perbatasan fisik jauh lebih kompleks daripada masalah kemiliteran
belaka (goes far beyond military threat).
Salah satu
kasus yang mengemuka dan menunjukkan dampak kependudukan yang krusial terhadap
keamanan di perbatasan Indonesia adalah seperti yang terjadi di Kecamatan
Entikong, yaitu berupa 'eksodus' alias migrasi besar-besaran warga Indonesia ke
Malaysia karena alasan ekonomi., bergantinya kewarganegaraan sejumlah besar WNI
menjadi warga negara Malaysia, ataupun lintas batas secara illegal tanpa
melalui pintu yang resmi.
Fenomena di
atas harus dipahami dalam perspektif mengejar kesejahteraan ekonomi (economic
security) dan juga keamanan pangan (food security), daripada sebagai
pembangkangan anak bangsa terhadap negaranya (degradasi nasionalisme. Degradasi
nasionalisme barangkali terjadi di beberapa daerah secara kasuistik dan
temporal, namun sejatinya jiwa nasionalisme masyarakat Indonesia di perbatasan
masih sangat tinggi. Hanya saja kesulitan sosial ekonomi dan jarak yang jauh
dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi membuat masyarakat perbatasan kesulitan
mengekspresikan jiwa nasionalismenya.
Maka, dalam konteks
ini, perhatian terhadap pendekatan keamanan non tradisional dalam mengelola
masalah perbatasan menjadi amat penting, utamanya adalah perhatian terhadap
aspekaspek human security sebagaimana dimaksud dalam laporan UNDP tahun 1994.
Kebijakan
hankam sebagai paradigma utama dalam pembangunan wilayah perbatasan yang telah
berjalan puluhan tahun lamanya, terbukti kurang memberikan kemajuan di bidang
sosial ekonomi bagi penduduk wilayah perbatasan. Kondisi tersebut menyebabkan
terisolirnya wilayah perbatasan dari pembangunan nasional, sehingga orientasi
kehidupan sosial dan ekonomi penduduk wilayah perbatasan cenderung ke negara
tetangga (dalam kasus Kalbar-Sarawak). Dengan semakin berkurangnya jumlah
penduduk di kawasan perbatasan maka hal itu dapat beimplikasi negatif terhadap
daya dukung pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan, terutama dari unsur
masyarakat sebagai salah satu komponen pentingdalam desain kebijakan hankam
Indonesia. Yang pada gilirannya dalam jangka panjang akan memperlemah kedaulatan
negara di garda depan.
Kemudian,
belajar dari Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan serta Pulau Miangas di perbatasan
laut dengan Philippina, negara RI harus juga mengupayakan perhatian terhadap
pulau-pulau terluar Indonesia. Negara harus memposisikan pulau-pulau tersebut
sebagai halaman depan (frontyard) Indonesia dan bukannya laksana halaman
belakang (backyard) yang boleh diabaikan begitu saja. pembangunan mesti
dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan keamanan di pulau-pulau
terluar tersebut. Sehingga, dengan demikian klaim Indonesia terhadap
pulau-pulau tersebut tidak hanya kuat secara yuridis namun juga secara
sosiologis.