Fenomena Migrasi dan Urbanisasi di JABODETABEK serta Dampaknya Bagi Kehidupan Sosial
Umumnya, urbanisasi selalu diartikan sebagai perpindahan penduduk
dari desa ke kota. Padahal, urbanisasi pada dasarnya merujuk pada dua
pengertian, yaitu: 1) proses transformasi wilayah menjadi kota; dan 2) proses perpindahan
penduduk dari desa ke kota. Sementara itu, dalam pengertian demografi,
urbanisasi diartikan sebagai proses bertambahnya penduduk perkotaan yang
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (1) migrasi penduduk dari wilayah pedesaan
ke wilayah perkotaan; (2) pertumbuhan alamiah penduduk perkotaan itu sendiri;
dan (3) adanya reklasifikasi wilayah dar pedesaan ke perkotaan. Reklasifikasi
wilayah berarti terjadinya perubahan karakteristik suatu wilayah (biasanya
desa) yang semula bersifat perdesaan menjadi perkotaan.
Migrasi dan urbanisasi pada dasarnya merupakan manifestasi langsung
dari proses pembangunan ekonomi dalam ruang (space), khususnya yang
berkaitan dengan tahapan globalisasi kontemporer. Pemahaman mengenai
sebab-sebab dan konsekuensi dari migrasi maupun urbanisasi dalam konteks
perubahan distribusi penduduk dan aktifitas ekonomi, menjadi hal penting dalam
kerangka evaluasi kebijakan yang selama ini ada serta intervensi yang perlu
dilakukan guna mengatasi keseimbangan pembangunan antara daerah perdesaan dan
perkotaan.
Dalam pandangan neoclassical economic equilibrium, migrasi
dinilai positif karena dianggap membantu memperbaiki ketidakseimbangan pertumbuhan
regional. Migrasi dipandang sebagai proses alamiah yang merupakan konsekuensi
dari ketidakmerataan regional dalam memperoleh kesempatan fasilitas sosial dan
ekonomi. Orang-orang dari daerah yang rendah fasilitas sosial dan ekonominya
akan bergerak ke daerah-daerah yang tinggi fasilitas sosial dan ekonominya. Migrasi
memiliki peranan sebagai mekanisme untuk mencari keseimbangan antara daerah
yang masih sedikit fasilitas pembangunannya dengan daerah yang banyak fasilitas
pembangunannya.
Sementara itu, dalam pandangan historical-structural, migrasi
mempunyai dampak negatif bagi proses pembangunan regional. Tenaga-tenaga
terdidik dan potensial serta sumber-sumber kekuatan akan terkonsentrasi pada
daerah-daerah tertentu sehingga memperluas jurang perbedaan pertumbuhan antara
daerah-daerah yang sudah tinggi tingkat pembangunannya dengan daerah yang masih
tertinggal pembangunannya. Daerah yang ketinggalan sebagai pengirim migran akan
tetap tertinggal.
Migrasi dan urbanisasi di negara-negara berkembang secara historis
memiliki kaitan dengan stagnasi dan volatilitas sektor pertanian serta
kurangnya diversifikasi sektoral dalam ekonomi pertanian. Penurunan pertumbuhan
di sektor pertanian, baik dalam produksi maupun pendapatan petani, telah
memberikan dampak pada kurangnya kesempatan kerja di wilayah perdesaan.
Demikian juga dengan rendahnya penyediaan infrastruktur di sektor public
berdampak pada meningkatnya jumlah migrasi keluar dari perdesaan. Setelah di
perkotaan, banyak di antara para migran kemudian terserap ke dalam sektor
ekonomi informal perkotaan.
Di Indonesia, pada tahun 2025 nanti diproyeksikan sekitar 60%
penduduk tinggal di daerah perkotaan, dan pulau Jawa akan menjadi kampung kota
terbesar di dunia yang membentang dari Banten hingga Banyuwangi di bagian
timur. Jika ini benar terjadi maka akan terjadi implikasi yang luar biasa baik
implikasi sosial, ekonomi, keamanan, politik dan lingkungan. Dalam hal
lingkungan, kebutuhan akan air bersih meningkat cepat sementara cadangan air
bersih yang tersedia semakin berkurang sebagai akibat penurunan daya dukung dan
daya tampung lingkungan.
Pertumbuhan kota-kota besar ditandai dengan proses urbanisasi dan
industrialisasi, yang berakibat pada pemekaran wilayah dengan membentuk
koridor-koridor perkotaan (Firman, 1996). Perubahan luas kawasan perkotaan
kemudian membentuk konurbasi, yaitu bergabungnya beberapa kota yang membentuk
kawasan kota yang lebih luas yang dikenal sebagai kawasan metropolitan
(metropolitan area).
Proses terjadinya konurbasi tidak lepas dari makin maraknya
penduduk kota inti yang berpindah tempat tinggal menuju daerah pinggiran kota.
Dengan kata lain, proses urbanisasi yang berlangsung di kawasan metropolitan
tidak hanya terjadi di pusat kota, melainkan terjadi spill over ke daerah
pinggiran kota. Pada perkembangan yang lebih lanjut, terjadi kejenuhan tinggal
di pusat kota (terutama sebagian golongan masyarakat kelas menengah dan atas)
yang mengalihkan tempat tinggalnya di pinggir kota. Menurut Hariyono (2007),
pada tahap tertentu dengan kondisi yang berbeda mereka kembali ke pusat kota
dengan gejala kota dipenuhi dengan apartemen, perumahan eksklusif, rumah toko,
dan rumah susun.
Pertubuhan penduduk yang sangat tinggi di wilayah JABODETABEK
disebabkan oleh arus migrasi masuk yang kebanyakan berasal dari daerah-daerah
yang berdekatan dengan wilayah metropolitian seperti Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Meskipun demikian, uniknya laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta
sebagai kota inti justru mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan laju
pertumbuhan penduduk Bodetabek. Sementara laju pertumbuhan kawasan Bodetabek
meningkat dan jauh lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan penduduk
nasional.
Penurunan laju pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta terjadi karena
sebagian penduduknya bermigrasi ke wilayah di seputar Bodetabek. Migrasi masuk
yang terjadi di wilayah Bodetabek, hampir separuhnya berasal dari DKI Jakarta
dengan alasan pindah karena ikut keluarga (suami/istri/orang tua/anak) dan
karena perumahan. Sedangkan migran yang berasal dari luar JABODETABEK cenderung
memiliki alasan pindah karena mencari pekerjaan.
Migrasi masuk ke wilayah Bodetabek dari DKI Jakarta tidak disertai
dengan perpindahan tempat bekerja, sehingga menghasilkan pelaku ulang alik
antara wilayah Bodetabek menuju DKI Jakarta dan sebaliknya. Fenomena ulang alik
di wilayah JABODETABEK menghasilkan kemacetan lalu lintas yang belum
terpecahkan dan memberikan pola waktu tempuh yang semakin lama antara tempat
tinggal (wilayah Bodetabek) dan tempat bekerja (DKI Jakarta).
Tingginya migrasi masuk dan proses urbanisasi yang cepat di kawasan
JABODETABEK membawa dampak pada penurunan kualitas lingkungan baik fisik maupun
lingkungan sosial. Lingkungan fisik ditandai dengan meluasnya kawasan-kawasan
yang padat dan kumuh dengan infratsruktur pemukiman yang rendah, banjir,
kesulitan air bersih, polusi baik udara, air maupun suara. Kondisi ini
mengakibatkan perubahan tingkah laku penduduk JABODETABEK menjadi lebih agresif
dan kurang peduli akibat stress terhadap kesesakan dan kepadatan wilayah ini.
Pola waktu tempuh yang semakin lama juga memberikan dampak pada
makin rendahnya tingkat solidaritas dan kohesi sosial para pekerja di
lingkungan tempat tinggal mereka. Ketidakpedulian antarsesama warga ini
memberikan dampak yang negatif, salah satu di antaranya adalah memicu
terjadinya aksi terorisme. Di samping dampak negatif, dampak positif dengan
adanya migran adalah peningkatan kesejahteraan dan proses pembangunan wilayah
di Bodetabek serta terjadinya proses interaksi nilai-nilai positif di antaranya
terjadinya penurunan fertilitas di wilayah yang didatangi.
Dari sisi pertahanan dan keamanan, JABODETABEK menjadi barometer
untuk tingkat nasional sehingga pengamanan wilayah menjadi prioritas utama
dalam menciptakan kondisi aman dan nyaman. Proses migrasi dan urbanisasi di
wilayah ini telah mengakibatkan kesesakan dan kepadatan yang menyebabkan
meningkatnya tindak kejahatan dan kriminalitas maupun terorisme.
Dari sisi krirninalitas, di wilayah hukum Polda Metro Jaya (yang
meliputi kawasan JABODETABEK) terdapat 4 empat katagori kejahatan. Pertama,
kejahatan konvensional (pencurian, perampokan, perkelahian). Kedua,
transnasional crime (kejahatan transnasional) yang terkadang lintas negara,
seperti narkoba, illegal logging, terorisme, dan lainnya. Ketiga,
kejahatan yang berkaitan dengan kerugian terhadap kekayaan negara (korupsi,
illegal mining, illegal fishing). Keempat, kejahatan yang berimplikasi
pada masalah-masalah rasial. Sama seperti di daerah lain, kejahatan yang paling
menonjol di Jakarta dari waktu ke waktu adalah kejahatan konvensional,
khususnya kejahatan jalanan.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang terjadi di wilayah
JABODETABEK akibat proses urbanisasi dan arus migrasi masuk, maka ada beberapa
alternatif kebijakan yang bisa diambil, yaitu:
1. Besarnya
arus migrasi masuk harus diatasi dengan mengalihkan pembangunan nasional keluar
JABODETABEK, khususnya luar pulau Jawa.
2. Fenomena
ulang aling yang menjadi penyebab kemacetan harus diatas dengan peningkatan
sarana transfortasi massal murah, cepat dan aman serta dapat beroperasi hingga
malam hari. Transfortasi yang sudah ada saat ini harus diermajakan untuk
meningkatkan keamanan dan kenyamanan.
3. Berkurangnya
tingkat solidaritas dan kohesi sosial di lingkungan tempat tinggal wilayah
Bodetabek seharusnya memberikan inspirasi kepada para perencana pembangunan
permukiman untuk selalu menyediakan fasilitas ruang publik sehingga proses
interaksi sesama warga dapat terus-menerus berlangsung.
4. Untuk
dapat memberikan dampak positif terhadap daerah yang dituju, perlu dilakukan
selektifitas migran melalui penerapan tertib administrasi kependudukan.
Sehingga setiap daerah harus memperkuat system pendaftaran penduduk dan
pencatatan sipil, agar setiap penduduk memiliki Nomor induk Kependudukan yang
unik, tunggal dan berlaku seumur hidup. Dengan system ini, seluruh orang akan
terregister dengan baik dan data yang diperoleh dapat digunakan untuk
perencanaan pembangunan. Dan bagi penduduk, identitas kependudukan dapat
digunakan untuk memperoleh pelayanan public dimanapun dia berada. Selain itu
pelaku mobilitas non permanen diwajibkan melapor di kantor registrar, bukan
untuk mengganti KTP nya tetapi sekedar upaya untuk memantau keberadaan mereka.
5. Kebijakan
tata ruang kota harus dipandang dalam perspektif nasional, bukan hanya daerah
per daerah. Wilayah JABODETABEK merupakan suatu kesatuan kawasan yang saling
mendukung saling mempengaruhi, sehingga perencanaan pembangunan seharusnya
dilakukan secara bersama-sama dan dipatuhi oleh masing-masing pemerintah
daerah.
6. Pembangunan
wilayah perdesaan sebagai sentra-sentra ekonomi yang mampu menciptakan peluang
kerja bagi warganya, sehingga arus migrasi bisa diturunkan.
7.
Kerjasama
antar pemerintah daerah dalam hal pembangunan dan pemantauan arus mobilitas
baik permanen dan non permanen, pembangunan system informasi baik untuk peluang
kerja, persyaratan yang dibutuhkan dan konsekuensi yang akan didapatkan jika
migran yang masuk ke wilayah tertentu tidak memenuhi persyaratan-persyaratan
yang dibuat sehingga migrant bisa memiih dan memanfaatkan informasi tersebut
ketika memutuskan untuk pindah.
8. Perlu
revitalisasi peran BLK, khususnya BLKD di JABODETABEK untuk memberikan
pelatihan secara gratis kepada para pendatang yang tidak memiliki keterampilan,
sehingga tidak menjadi beban pemerintah kota di wilayah JABODETABEK.
Sumber Referensi:
Toersilaningsih, Rani dkk. 2012. Migrasi dan Urbanisasi di
Jabodetabek: Tinjauan Empiris dan Aplikasi Kebijakan. Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional,