Pandangan Masyarakat terhadap Perpajakan di Indonesia


 Menurut Remsky K. Juniseno, pajakan adalah kewajiban kenegaraan dan pengabdian peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai keperluan negara berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya diatu dalam undang-undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan negara.[1] Sementara itu, menurut Merdiasmo, [2] pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Menurut Brotodihardjo,[3] terdapat 5 (lima) ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu: 

(1) pajak dipungut berdasarkan ketentuan undang-undang; (2) dalam pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprstasi kepada individual oleh pemerintah; (3) pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah; (4) pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Apabila dari pemasukannya masih terdapat surplus, maka dipergunakan untuk membiayai investasi publik (public investment); (5) pajak juga digunakan untuk mengatur (regulerand).
Kesadaran masyarakat Indonesia dalam membayar pajak masih rendah, hal tersebut tidak lepas dari persepsi mereka terdahap perpajakan di Indonesia. Hal ini juga berkaitan dengan kepercayaan (trust) mereka terhadap pemerintah Indonesia secara keseluruhan, maupun lempaga pengelola pajak pada khususnya. Sampai saat ini masih banyak warga negara yang tidak mau membayar pajak atau mencoba-coba mengakali bahkan mangkir dari kewajiban tersebut. Dalam hal ini, terdapat beberapa permasalahan yang berhubungan dengan pandangan masyarakat terhadap perpajakan di Indonesia, yaitu:

1.     Masih terdapat warga negara baik masyarakat biasa dan pengusaha, maupun aparat pemerintahan yang belum memiliki kesadaran moral sebagai wajib pajak yang baik dan terpuji, seperti masih ada praktik Korupsi,Kolusi,dan Nepotisme (KKN), mengemplang pajak, praktik suap, dan perilaku lain yang tidak terpuji;

2.     Masih terdapat anggota masyarakat yang belum memahami pentingnya pajak, kebijakan penggunaan, dan manfaatnya bagi bangsa dan negara;

3.     Masih terdapat kasus aparatur negara yang tidak memberikan contoh keteladanan dalam kewajiban membayar pajak.

Dari ketiga permasalahan di atas, jelas sekali bahwa inti dari persoalan tersebut ada masalah kepercayaan (trust). Kepercayaan merupakan kesediaan (willingness) individu untuk mengantungkan dirinya pada pihak lain yang terlibat pertukaran karena individu mempunyai keyakinan (confid ence) terhadap pihak lain. Menurut Krech  kepercayaan merupakan gambaran sikap untuk menerima suatu pernyataan atau pendirian tanpa menunjukkan sikap pro atau kontra.[4]


Problem besar di Indonesia, adalah tidak adanya transparansi penerimaan pajak oleh instansi terkait. Informasi jumlah penerimaan pajak secara resmi belum tersedia bagi publik. Demikian juga informasi mengenai jumlah pajak tak tertagih beserta nama wajib pajak terkait. Ketidakjelasan informasi ini menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap instansi pajak yang pada gilirannya menurunkan kepercayaan mereka untuk membayar pajak. Apalagi melihat sekarang ini adanya banyak kasus yang terjadi membuat moral pegawai pajak semakin jatuh dan bisa jadi juga membuat kepercayaan masyarakat terhadap aparat pajak juga semakin menurun. Hal ini menambah pandangan negatif yang merebak ditengah masyarakat pada instansi perpajakan mengenai korupsi dengan wajib pajak.

Sebelum kasus-kasus ini muncul kepatuhan wajib pajak masih tergolong rendah. Tetapi adanya kasus tentang petugas pajak ini, mau tidak mau mempengaruhi pandangan negatif masyarakat terhadap petugas atau apapun yang berhubungan dengan pajak yang semakin besar. Salah satu contohnya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan. Gayus adalah seorang Pegawai Ditjen Pajak golongan III A yang gajinya kurang dari dua juta, namun ia mempunyai harta dengan jumlah yang fantastis dan mendapatkan perlakuan istimewa. Kasus korupsi gayus tambunan ini telah menyebabkan kepercayaan publik terhadap direktorat pajak menurun. Banyak elemen masyarakat yang khawatir bahwa pajak yang dibayarkan akan dikorupsi oleh oknum-oknum direktorat pajak semacam Gayus itu.

Sikap kekecewaan ini bahkan sampai memunculkan marakanya ancama “boikot wajib pajak” kala itu. Kasusu korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan ini telah menyebabkan terjadinya krisis kepercayaan terhadap Dirjen Pajak. Walau pun demikian, sebenarnya banyak orang salah paham terhadap kasus tersebut, yang dilakukan Gayus bukanlah mengambil uang yang dikelola oleh Dirjen Pajak, melainkan menerima suap dari pengusaha yang nakal dalam melaksanakan kewajibannya dalam membayar pajak.

Masyarakat, khususnya golongan wajib pajak merasa bahwa dengan mempertimbangkan informasi-informasi yang ada, seperti banyaknya pemberitaan penggunaan dana yang tidak sesuai dengan semestinya, kasus korupsi, kasus penggelapan pajak, serta berbagai kasus lainnya yang berkaitan dengan ketidakadilan dalam sistem hukum yang berjalan. Dimana hal tersebut membuat wajib pajak berpikir dengan cara yang rasional bahwa pajak yang dibayarnya kepada negara tidak digunakan sebaikbaiknya untuk kesejahteraan rakyat sehingga muncul rasa kurang percaya wajib pajak dan memengaruhi terhadap perilaku wajib pajak untuk bertindak tidak patuh dalam membayar PBB.

Pandangan masyarakat terhadap perpajakan di Indonesia juga diperngaruhi oleh faktor pengetahuan wajib pajaknya. Semakin tinggi pengetahuan wajib pajak terhadap peraturan perpajakan akan meningkatkan kepatuhan walaupun di dalam masyarakat timbul berbagai macam stigma dan pandangan mengenai kenyataan pajak itu sendiri. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah pengetahuannya mengenai wajib pajak, maka semakin besar pula ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola pajak terutama setelah adanya pemberitaan kasus korupsi di lembaga tersebut.

Beberapa kejadian dan informasi seperti pemberitaan mengenai penggelapan pajak, dan korupsi akan memengaruhi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Tentu saja pandangan Wajib Pajak ini akan membawa kecenderungan yang lebih rendah dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, walaupun Wajib Pajak telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai perpajakan. Wajib Pajak yang memiliki pengetahuan memadai tersebut memiliki kecenderungan melaksanakan kewajibannya dan patuh terhadap peraturan perpajakan, namun hal ini juga dipengaruhi oleh stigma atau sudut pandang dari setiap Wajib Pajak itu sendiri.

Jika Wajib Pajak memiliki pandangan yang kurang baik terhadap pajak akibat dari informasi yang diterima seperti pemberitaan mengenai korupsi dan penggelapan pajak maka Wajib Pajak itu walaupun memiliki pengetahuan tentang perpajakan cenderung lebih rendah dalam memenuhi kewajibannya. Kepribadian dan sudut pandang setiap Wajib Pajak juga memiliki pengaruh, karena masih banyak juga Wajib Pajak yang memiliki pengetahuan lebih mengenai perpajakan namun memiliki pandangan yang kurang baik terhadap pajak, mereka tetap memenuhi kewajiban perpajakannya karena mereka merasa bahwa membayar pajak merupakan sebuah kewajiban dan bakti terhadap negara.





Sumber Referensi:

Brotodihardjo, Santoso. 2013. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama
Judisuseno, Remsky K. 1996. Pajak dan Strategi Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Mardiasmo. 2002. Perpajakan. Cetakan Kesembilan. Jakarta: Andi
Soemitro, Rochmat. 1988. Pajak Ditinjau dari Segi Hukum, Bandung: Eresco.
Solikhatun, Is. _____, Menumbuhkembangkan Kepercayaan Masyarakat terhadap Wajib Pajak. Jurnal. Universitas Sultan Fatah Demak.
Wijayanti, Diah Wahyu. _______,  Pengaruh Pemahaman, Sanksi Perpajakan, Tingkat Kepercayaan pada Pemerintahan dan Hukum terhadap Kepatuhan dalam Membayar Wajib Pajak (Studi Wajib Pajak pada Masyarakat di Kelurahan Pajang Kecamatan Laweyan Surakarta). Universitas Muhammadiyah Surakarta.







[1] Remsky K. Judisuseno, Pajak dan Strategi Bisnis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1996), h. 5
[2] Mardiasmo. Perpajakan. Cetakan Kesembilan. (Jakarta: Andi, 2002), h. 1
[3] Brotodihardjo, Santoso. 2013. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama, h. 6-7
[4] Krech dalam Is Solikhatun. Menumbuh Kembangkan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Wajib Pajak. Jurnal. Universitas Sultan Fatah Demak, h. 8
LihatTutupKomentar

Iklan