Agama, Politik dan Radikalisme (Studi Kasus pada Agama Islam)
Istilah radikalisme seringkali dikaitkan terorisme, alasanya karena
radikalisme dipercaya sebagai akar dari terorisme. Istilah radikal juga
dianggap sama dengan fundamental yang berarti mendasar. Radikalisme dipandang
sebagai sikap ektrem dari sekelompok orang yang berpandangan fundamental
(mendasar) terhadap agama. Dengan begitu, timbulah kecenderung untuk
menyimpulkan bahwa setiap orang yang berpadangan fundamental terhadap agama
adalah orang-orang fanatik yang ekstrim dan suka melakukan aksi terorisme. Padahal
tidak setiap orang yang berpandangan fundamental melakukan tindakan-tindakan
radikal yang ektrim atau dengan jalan kekerasan.
Misalnya Hizbuttahrir, meskipun mereka meyakini pentingnya
formalisasi syariat dalam bernegara, tetapi mereka tidak pernah melakukan
tindakan-tindakan ekstrim yang dicap radikal. Apakah mereka termasuk radikal?
Maka jawabannya akan sangat tergantung pada cara kita mendefinisikan istilah
radikal itu sendiri. Al-Asymawi[1] dalam
tulisannya Againts Islamic Extremism mengemukakan adanya masalah dalam
penggunaan istilah fundamentalisme untuk menjelaskan extrimisme religius dalam
Islam. Ia menyatakan dirinya sebagai fundamentalis yang menerima dan
menghormati pondasi-pondasi agama Islam. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa
dia adalah seorang ekstrimis dan radikal atau militan. Oleh karena itu, kiranya
perlu bagi kita untuk bisa membedakan fundamentalis yang berjuang dengan jalan
kekerasan, dan fundamentalis yang berjuang tidak dengan jalan kekerasan.
Sehingga kita bisa lebih selektif dan objektif dalam mengkategorikan kelompok
yang disebut radikal.
1. Pengertian Radikalisme
Istilah radikal berasal dari bahas Inggris radical yang berarti
“akar” atau “mendasar”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia makna radikal
meliputi : (1) secara mendasar; (2) amat keras menuntut perubahan; (3) maju
dalam berpikir dan bertindak. Sementara makna radikalisme dalam KBBI meliputi :
(1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang
menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.
Menurut Rahmi Sabirin,[2]
radikalisme adalah sikap keagamaan yang ditandai oleh 4 hal: (1) sikap tidak
toleran, tidak mau menghargai pendapat orang lain; (2) sikap fanatik, yaitu
selalu merasa benar sendiri, menganggap orang lain salah; (3) sikap eksklusif,
yaitu membedakan diri dari kebiasaan Islam kebanyakan dan mengklaim bahwa cara
beragama merekalah yang paling benar, yang kaffah, dan cara beragama yang berbeda
dari mereka sebagai salah, kafir dan sesat; (4) sikap revolusioner, yaitu
cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.
Menurut Egi Sudjana,[3]
Radikalisme hampir sama dengan reaksioner, keduanya sama-sama merupakan sikap
atau tindakan yang dalam hal penyingkapannya terhadap berbagai perubahan
tatanan kehidupan masyarakat yang sudah lama dan mapan (established).
Namun bedanya, jika kaum reaksioner menginginkan perubahan tatanan masyarakat
dalam batas-batas tertentu dan masih mentolelir sebagian tatanan yang ada, maka
kaum radikalis menginginkan perubahan tatanana yang ada ke akar-akarnya dan
jika perlu dilakukan dengan kekerasan (revolusi berdarah). Program-program
radikalisme seringkali dikemukakan dengan istilah-istilah tajam, mencaci maki
pihak lawan dan mengklaim rencana mereka sebagai satu-satunya konsep yang
ideal. Propaganda yang digembar-gemborkan tidak lain dalam rangka mencari
simpati dari mereka yang tidak puas dengan situasi dan kondisi yang ada.
BNPT (Badan Nasional Penanggulang Teroris) mendefinisikan radikalisme
sebagai gerakan yang berusaha melakukan perubahan secara cepat dengan jalan
kekerasan (violence).[4]
Tujuan dari radikalisme atau terorisme di Indonesia adalah untuk mendirikan Daulah
Islamiyah atau Negara Islam Indonesia (NII) dengan menerapkan formalisasi
syariat untuk menggantikan konstitusi dan 4 pilar berbangsa dan bernegara.
Strategi yang digunakan adalah dengan menggalakan semangat ‘jihad’ untuk
memerangi musuh-musuh Islam dengan melakukan aksi teror.
Sakti Wira Yudha dalam Tesisnya yang berjudul “Radikalisme Kelompok
Islam : Analisis Struktur-Agen terhadap Wacana Radikalisme Pasca Orde Baru”
menyatakan bahwa terminologi wacana radikalisme yang berkembang tidak lepas
dari tumpang tindihnya konsepsi radikalisme dengan konsepsi lain seperti
fundamentalisme, miltansi, revivalisme, antiliberal dan skriptualis yang
dikembangkan oleh beberapa intelektual yang mempelajari Islam.[5] Dalam
tesisnya tersebut, ia menekankan wacana radikalisme yang lebih netral dan
prediktif serta menyampaikan beberapa catatan terkait konsepsi radikalisme,
yaitu :
1) Konsepsi radikalisme
muncul dalam konsteks hubungan antara Islam politik ‘radikal’ dengan negara,
isu keadilan sosial dan pergulatan politik di masa perang dingin. Dimensi
ketimpangan vertikal (keadilan sosial dan politik), secara sosio-historis
menjadi pokok persoalan dalam merumuskan radikalisme.
2) Kosepsi radikalisme
seringkali muncul dengan problematika ekonomi dan politik yang menghimpit
kelompok masyarakat marginal sebagai akibat kebijakan pemerintah. Dimensi
kesenjangan ini menjadi potensi bagi munculnya gerakan radikalisme.
3) Konsepsi radikalisme
muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem negara dengan memperjuangkan
gagasan Islam secara total sebagai praktik keagamaan sekaligus politik yang
dapat ditempuh dengan menggunakan cara kekerasan dan tidak. Dimensi kekerasan menjadi
salah satu isu penting bagi konsepsi
radikalisme yang diwujudkan dalam bentuk gerakan sosial. Kekerasan menjadi
salah satu cara dalam memperjuangkan gagasan tentang Islam, sedangkan gerakan
sosial menjadi salah satu bentuk wadah perjuangan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka kiranya penting untuk
mendefinisikan istilah radikalisme secara netral tanpa mereduksi komplesitas permasalahan yang
ada. Oleh karena itu, penulis mendefinisikan radikalisme Islam sebagai sebuah
pandangan yang mendasar terhadap agama yang berusaha melakukan perubahan
tatanan sosial masyarakat secara cepat dan menyeluruh, baik yang menggunakan
kekerasan (violence) maupun tidak dalam upaya untuk mencapai cita-cita
politiknya (mengakkan syariat Islam secara formal).
2. Latar Belakang Munculnya Radikalisme Islam di Indonesia
Pada dasarnya, radikalisme Islam di Indonesia muncul dan tumbuh subur sebagai suatu respon atas kolonialisme dan
imperealisme barat, keterbelakangan dan krisis sosial-budaya pada masyarakat
Islam, kerinduan akan kejayaan di masa lalu, kemiskinan ekonomi, ketertindasan
politik, serta kegagalan pemerintah dalam mensejaterakan rakyatnya. Selain itu
juga gerakan ini semakin masif dan menjadi-jadi setelah terjadinya pergantian
sistem politik dari orde baru ke reformasi dimana kebebasan sangat di junjung
tinggi. Artinya, political opportunity structur juga menjadi salah satu
penyebab munculnya radikalisme di Indonesia di era reformasi ini. Hal ini
berbeda dengan saat pemerintahan orde baru yang
melakukan kontrol sangat ketat, sehingga paham radikalisme pada saat itu
meskipun ada tetapi sulit untuk berkembang.
Menurut Esposito,[6]
terjadinya kebangkitan Islam didorong oleh tiga hal. Pertama, adanya
identitas yang menimbulkan ketidakberdayaan, kekecewaan, dan kehilangan rasa
harga diri. Kedua, kecewa dengan barat dan kegagalan pemerintah untuk
bereaksi secara cukup akan kebutuhan-kebutuhan politik akan sosio-ekonomi
masyarakat. Ketiga, tampilnya kembali rasa harga diri dan kesadaran akan
kekuatan sendiri akibat sukses militer (Arab-Israel) dan ekonomi (embargo
minyak) pada tahun 1973.
Menurut Nur Syam,[7]
genealogi radikalisme dapat ditilik dari beberapa sebab, yaitu sebagai berikut:
a. Radikalisme muncul
disebabkan oleh tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Gerakan ini
menemukan lahan subur dan momentumnya di
era reformasi yang mengedepankan demokratisasi dan Hak Asasi Manusia.
Sakti Wira Yudha dalam Tesisnya yang berjudul “Radikalisme Kelompok Islam : Analisis Struktur-Agen terhadap Wacana Radikalisme Pasca Orde Baru” menyatakan bahwa terminologi wacana radikalisme yang berkembang tidak lepas dari tumpang tindihnya konsepsi radikalisme dengan konsepsi lain seperti fundamentalisme, miltansi, revivalisme, antiliberal dan skriptualis yang dikembangkan oleh beberapa intelektual yang mempelajari Islam.[5] Dalam tesisnya tersebut, ia menekankan wacana radikalisme yang lebih netral dan prediktif serta menyampaikan beberapa catatan terkait konsepsi radikalisme, yaitu :
1) Konsepsi radikalisme muncul dalam konsteks hubungan antara Islam politik ‘radikal’ dengan negara, isu keadilan sosial dan pergulatan politik di masa perang dingin. Dimensi ketimpangan vertikal (keadilan sosial dan politik), secara sosio-historis menjadi pokok persoalan dalam merumuskan radikalisme.
2) Kosepsi radikalisme seringkali muncul dengan problematika ekonomi dan politik yang menghimpit kelompok masyarakat marginal sebagai akibat kebijakan pemerintah. Dimensi kesenjangan ini menjadi potensi bagi munculnya gerakan radikalisme.
3) Konsepsi radikalisme muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem negara dengan memperjuangkan gagasan Islam secara total sebagai praktik keagamaan sekaligus politik yang dapat ditempuh dengan menggunakan cara kekerasan dan tidak. Dimensi kekerasan menjadi salah satu isu penting bagi konsepsi radikalisme yang diwujudkan dalam bentuk gerakan sosial. Kekerasan menjadi salah satu cara dalam memperjuangkan gagasan tentang Islam, sedangkan gerakan sosial menjadi salah satu bentuk wadah perjuangan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka kiranya penting untuk mendefinisikan istilah radikalisme secara netral tanpa mereduksi komplesitas permasalahan yang ada. Oleh karena itu, penulis mendefinisikan radikalisme Islam sebagai sebuah pandangan yang mendasar terhadap agama yang berusaha melakukan perubahan tatanan sosial masyarakat secara cepat dan menyeluruh, baik yang menggunakan kekerasan (violence) maupun tidak dalam upaya untuk mencapai cita-cita politiknya (mengakkan syariat Islam secara formal).
2. Latar Belakang Munculnya Radikalisme Islam di Indonesia
Pada dasarnya, radikalisme Islam di Indonesia muncul dan tumbuh subur sebagai suatu respon atas kolonialisme dan imperealisme barat, keterbelakangan dan krisis sosial-budaya pada masyarakat Islam, kerinduan akan kejayaan di masa lalu, kemiskinan ekonomi, ketertindasan politik, serta kegagalan pemerintah dalam mensejaterakan rakyatnya. Selain itu juga gerakan ini semakin masif dan menjadi-jadi setelah terjadinya pergantian sistem politik dari orde baru ke reformasi dimana kebebasan sangat di junjung tinggi. Artinya, political opportunity structur juga menjadi salah satu penyebab munculnya radikalisme di Indonesia di era reformasi ini. Hal ini berbeda dengan saat pemerintahan orde baru yang melakukan kontrol sangat ketat, sehingga paham radikalisme pada saat itu meskipun ada tetapi sulit untuk berkembang.
Menurut Esposito,[6] terjadinya kebangkitan Islam didorong oleh tiga hal. Pertama, adanya identitas yang menimbulkan ketidakberdayaan, kekecewaan, dan kehilangan rasa harga diri. Kedua, kecewa dengan barat dan kegagalan pemerintah untuk bereaksi secara cukup akan kebutuhan-kebutuhan politik akan sosio-ekonomi masyarakat. Ketiga, tampilnya kembali rasa harga diri dan kesadaran akan kekuatan sendiri akibat sukses militer (Arab-Israel) dan ekonomi (embargo minyak) pada tahun 1973.
Menurut Nur Syam,[7] genealogi radikalisme dapat ditilik dari beberapa sebab, yaitu sebagai berikut:
a. Radikalisme muncul disebabkan oleh tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Gerakan ini menemukan lahan subur dan momentumnya di era reformasi yang mengedepankan demokratisasi dan Hak Asasi Manusia.
a. Radikalisme muncul disebabkan oleh tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya. Gerakan ini menemukan lahan subur dan momentumnya di era reformasi yang mengedepankan demokratisasi dan Hak Asasi Manusia.
b. Kegagalan rezim
sekular yang mengadopsi sistem kapitalisme dalam mengimplematasikan
kebijakannya berdampak terhadap ketidakpercayaan masyarakat terhadap model
pembangunan yang diadopsi pemerintah. Di tengah-tengah ketidakpercayaan ini,
mereka tampil sebagai gerakan amar ma’ruf nahi mungkar dengan membawa
gagasan Islam yang kaffah sebagai alternatif untuk mengatasi masalah
tersebut.
c. Sebagai respon
terhadap barat, dimana kebanyakan isu yang diangkat ke permukaan oleh kelompok
ini adalah responnya terhadap apa pun yang datangnya dari barat. Dikemas dalam
konsep modernisasi dan sekularisasi yang dianggap telah meminimalisasikan peran
dan pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat.
3. Gagasan Utama dan Islam Radikal
Islam radikal merupakan buah dari neo-kolonialisme Adikuasa dan Zionisme,
serta rezim-rezim yang menekan Islam. Ketika pemerintah tidak mampu menjalankan
pemerintahannya secara baik, tidak stabil dan bobrok, maka gerakan Islam masuk
menjadi mainstream alternatif masyarakat.[8] Gagasan utama yang diusung oleh Islam radikal
adalah melakukan formalisasi syari’at sebagai dasar negara, menolak ide-ide
sekuler yang datang dari barat dan memperkuat solidaritas sosial yang
didasarkan atas ikatan keagamaan (ukhuwah Islamiyyah).
Menurut kelompok ini, fungsi syariah adalah mengayomi dan menjamin
keselamatan dan keamanan serta kesejateraan umat manusia, yang meliputi lima
tuntutan pokok yang disebut Maqasid as-syariah : 1) hifzh ad-din,
menjamin kemerdekaan orang untuk beragama; 2) hifzh an-nasl, menjamin
keturunan; 3) hifz al-aql, melindungi akal dari pengaruh yang merusak
fungsi akal dalam kehidupan manusia, 4) hifzh an-nafs, mengayomi dan
menjamin keselamatan manusia, dan 5) hifzh al-mal, menjamin dan
melindungi hak kebendaan manusia. Menurut M. Thalib, fungsi syariat semacam ini
tidak pernah dapat ditandingi oleh undang-undang sekuler yang mengabaikan
faktor batin.
4. Akar Radikalisme di Indonesia
Terdapat beberapa cara pandang dalam melihat akar permasalahan radikalisme
di Indonesia, salah satu cara pandang terkenal dan cukup menarik adalah
pandangan Samuel Huntington (1997) dengan tesis Clash of Civilization
yang melihat terorisme sebagai implikasi dari benturan dua peradaban utama di
dunia, yaitu peradaban Islam vis a vis Barat. Logika Huntington bertitik
tolak dari gaya pandang realisme yang memandang politik dunia sebagai struggle
for power (perebutan kekuasaan).
Dengan prinsip realismenya yang memosisikan interest dalam konteks
kekuasaan menjadi basis logika kedua, yaitu dimana “persaingan antarperadaban
menghasilkan konflik dan pertentangan”. Jika logika tersebut digunakan sebagai
pisau untuk menafsirkan radikalisme di Indonesia, kita akan sampai pada sebuah
titik kesimpulan bahwa pada hakikatnya terorisme adalah ekses dari ketidakserasian
antara peradaban Islam dan Barat. Hal ini dipertegas oleh atribut yang
dikenakan oleh pelaku teror, dengan memberi warna Islam sebagai argumen.
Radikalisme Islam muncul sebagai respons sejarah atau sebagai sebuah proses
historis. Menurut Vedi R. Hadiz (2009), kemunculan Islam sebagai sebuah
kekuatan politik di Indonesia sarat dengan kepentingan-kepentingan material.
Awal mula munculnya Islam sebagai kekuatan politik adalah transformasi dari
kekuatan ekonomi umat yang ditujukan untuk melawan hegemoni kekuatan ekonomi
Cina dan kolonial di pasar lokal. Konteks kemunculan Sarekat Islam bermula dari
H. Samanhudi, yang mempersatukan kepentingan ekonomi umat Islam ke dalam satu
wadah, yang akhirnya bertranfsformasi menjadi organisasi politik.
Awal kemunculan Sarekat Islam tersebut diawali oleh inisiatif
pedagang-pedagang muslim untuk melindungi kepentingan dagang mereka dari
ekspansi pedagang Cina. Mereka sadar bahwa untuk mengalahkan lawan bisnis harus
dengan persatuan.
Perkembangan berikutnya, Sarekat Islam pasca-Tjokroaminoto terfragmentasi
menjadi SI-Merah yang akhirnya kita kenal sebagai Partai Komunis Indonesia.
Pasca-Sarekat Islam, muncul kekuatan baru yang bernama Partai Komunis
Indonesia. Sejarah kemunculan PKI, walaupun pada awalnya dibawa oleh
orang-orang Belanda, tak terlepas dari adanya faksionalisasi di kubu Sarekat
Islam. Faksi Semaun, Alimin, dan Tan Malaka. Kubu ini lahir dari Sarekat Islam
Semarang yang notabene berada di kawasan yang penuh dengan petani miskin.
Marjinalisasi ekonomi-politik, dalam konteks ini, tidak lagi terjadi pada
pedagang muslim, tetapi terjadi pada para buruh dan petani yang dilindas oleh
borjuis lokal. Sehingga, muncul SI Merah yang bersinergi dengan paham
sosialisme melahirkan sebuah kekuatan politik baru, yaitu PKI.
Di sisi lain, borjuasi yang pada hakikatnya dibangun atas hubungan
patrimonial antara negara dan pasar juga melahirkan disparitas dan kekecewaan
di akar rumput. Sehingga, basis sosial dari kelompok yang disebut oleh Orde
Baru sebagai “Islam Radikal” ini pun lahir dan terkonstruksi oleh realitas
politik. Pada titik ini, Hadiz memberikan sebuah tesis: “Islam Radikal” pada
hakikatnya dilahirkan oleh Orde Baru. Kelahiran terorisme merupakan sebuah
proses panjang dari turbulensi sosial dan politik yang mencuat karena rezim
Orde Baru yang begitu represif telah menggunakan peran-perannya untuk menekan
Islam sebagai kekuatan politik di Indonesia. Mereka yang termarjinalkan ini
akhirnya melahirkan kekecewaan yang bersinergi dengan basis sosial mereka
sebagai seorang muslim, sehingga melahirkan gagasan untuk merebut peran negara
“populisme” dengan basis “ketakwaan”.
5. Radikalisme dan Terorisme
Radikalisme dan terorisme sering kali dijadikan sebagai suatu wacana tidak
bisa dipisahkan. Bahkan tidak sedikit orang yang menyamakan antara paham
radikalisme dengan terorisme. Hal tersebut terkait dengan beberapa peristiwa
terorisme yang kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang berpaham radikal.
Banyak orang yang memandang bahwa memang radikalisme tidak secara otomatis
berhubungan dengan terorisme, tetapi radikalisme merupakan fondasi terjadinya
terorisme. [9]
Bahkan ada juga yang memandang bahwa radikalisasi sebagai sebuah proses bertahap dimana
seseorang semakin menerima perlunya penggunaan kekerasan, termasuk terorisme,
dalam upaya mencapai tujuan politik dan atau ideologis tertentu. Misalnya Arsyad
Mbai dalam sebuah wawancara majalah Tempo (21/3/2011), menyatakan bahwa
radikalisme adalah akar dari terorisme. Menurutnya, ideologi radikal adalah
penyebab dari maraknya aksi teror di Indonesia, sehingga pencegahan terorisme
harus diikuti oleh pemberantasan radikalisme.
Ideologi radikalisme Islamis yang mengarah pada terorisme berpusat pada
tiga komponen, yaitu (1) Tauhid dan
jahiliyahisme (2) Al-Wala wal Bara (3) Hakimiya dan Takfir.
Tauhid merupakan penyerahan total kepada Allah yang ditekankan sebagai makna
sesungguhnya dari pernyataan keberimanan dan keber-Islaman seseorang. Jahiliyahisme,
merupakan manifestasi ketidakbertauhidan seseorang, mereka memandang tatanan
dunia sekarang didominasi oleh para penyembah berhala yang bodoh karena diatur
oleh rezim dan sistem buatan manusia, tidak menghargai apa yang telah
difirmankan oleh Tuhan.
Al-wala wa’l’bara merupakan doktrin tentang pentingnya mengembangkan rasa
cinta dan solidaritas terhadap sesama muslim (ukhuwah Islamiyah) dan
membangun permusuhan terhadap non-muslim. Al-wala wa’l’bara menyediakan landasan untuk menarik diri dari
masyarakat sekitar dan membangun dinding eksklusivitas yang berguna dalam
proses pembentukan identitas sosial (dalam wadah jamaah). Al-wala wa’l’bara
memberikan legitimasi pergeseran visi Islamisme menuju aktivisme radikal dan
kekerasan atas nama jihad.
Sementara itu, Hakimiyya dan Takfir merupakan konsep kunci
yang dikembangkan Qutb dan Maududi, bahwa kedaulatan mutlak milik Allah, dan
satu-satunya syari‘ah adalah syari‘ah Allah. Faham hakimiyya mendorong takfir,
keyakinan bahwa penguasa atau bahkan seluruh masyarakat yang tidak mengikuti
syari‘ah, dipandang sebagai kafir dan karena itu harus dilawan dan digantikan
dengan pemimpin Islam sejati, kalau perlu melalui kekerasan.
[1] Syamsul Rijal, “Radikalisme Islam Klasik dan
Kontemporer: Membandingkan Khawariz dan Hizbuttahrir”, Al-Fikr, V. 14, No.2,
2010, h. 216
[2] Rahimi Sabirin, Islam & Radikalisme,
(Jakarta : Ar Rasyid, 2004), h. 5
[3] Egi Sudjana, Islam Fungsional, (Jakarta:
Radjawali Pres, 200), h. 101
[4] Definisi ini merujuk pada kamus, dipersentasikan
dalam Pelatihan Pendidikan Karakter mahasiswa baru Universitas Nasional tahun
2015.
[5] Sakti Wira Yudha, Tesis : Radikalisme
Kelompok Islam “Analisis Struktur-Agen terhadap Wacana Radikalisme Pasca Orde
Baru”, (FISIP : Universitas Indonesia, 2012)
[6] Imam B. Jauhari, Teori Sosial : Proses Islamisasi
dalam Sistem Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 190
[7] Nur Syam, dalam karya
tulisnya yang berjudul “Radikalisme dan Masa Depan Hubungan Agama-Agama :
Rekonstruksi Tafsir Sosial Agama”, dipresentasikan pada tanggal 10 Oktober 2005.
[8] Jauhari, Op.Cit., h. 190
[9] Terorisme merupakan perbuatan yang dilakukan
secara sengaja untuk menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat atau memaksa
pemerintah melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau merusak struktur
politik, ekonomi dan sosial yang ada.