Teori Kontrak Sosial - J. J. Rousseau

A.    Timbulnya pemikiran kontrak sosial J.J. Rousseau
Bentuk tertua masyarakat dan satu-satunya yang alami ialah keluarga. Anak-anak terikat pada ayahnya hanya selama mereka perlu kepadanya untuk mempertahankan diri. Bila keperluan itu tidak ada lagi, ikatan alami itu putus.
Begitu seseorang mencapai usia dewasa (berakal) ia menjadi tuan bagi dirinya, sebab ia sendiri yang dapat menilai apa yang sebaiknya terus menjamin keberadaannya.
Kita bisa melihat keluarga sebagai model dasar bagi semua persekutuan politik. Penguasa (lurer) merupakan ayah dalam bentuk besar : orang-orang (rakyat), secara analogi, merupakan anak-anaknya, dan semuanya, baik ia penguasa maupun rakyat, melepaskan kemerdekaannya sejauh memberi manfaat kepadanya. Bedanya hanya, bila dalam keluarga cinta ayah kepada anak-anaknya cukup merupakan perawatan yang ia berikan kepada mereka; dalam negara, kesukaan untuk memerintah menjadi ganti cinta tadi, karena penguasa tidak puya hubungan cinta dengan rakyatnya. (Deliar Noer, 1996 :160)
Manusia alamiah, yaitu manusia yang dilahirkan dari kandungan alam, adalah manusia yang baik, yang senantiasa berbuat sesuai dengan asas-asas yang tetap, yang tidak berubah. Tetapi manuisa yang telah dihasilkan oleh hidup bermasyarakat adalah jahat. Di dalam keadaan alamiah manusia hidup atas dasar dirinya sendiri, kesepian, sendiri di tengah-tengah hutan yang lebat, dengan memiliki bagi dirinya segala kekuatan rohaniah dan badaniah. (Harun Hadiwijoyono, 2011 :59)
Teori kontrak sosial merupakan salah satu teori dari terbentuknya negara. Teori kontrak sosial merupakan teori yang menyatakan bahwa terbentuknya negara itu disebabkan oleh adanya keinginan masyarakat untuk membuat kontrak sosial (perjanjian sosial). Jadi, sumber kewenangan berasal dari masyarakat itu sendiri. (http://dedetzelth.blogspot.com diakses pada 18 Februari 2014)
J.J. Rousseau menginginkan sebuah susunan masyarakat yang bebas, bahagia dan manusiawi, berdasarkan asas-asas kodrati manusia, yakni bukan rasionya melainkan kehendak dan perasaannya. Hubunga-hubungan sosial yang masing-masing anggota masih menjadi tuan bagi dirinya sendiri dan bebas seperti keadaan aslinya.
(F. Budi Hardiman, 2011 : 101)
J.J. Rousseau memandang pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia lainnya tidaklah terjadinya perkelahian. Manusia hidup aman, damai dan tentram. Namun seiring waktu, menurut J.J. Rousseau semua itu akan berubah, karena faktor alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. (http://dedetzelth.blogspot.com diakses pada 18 Februari 2014)
Menurut J.J. Rousseau, keadaan asli itu baik dan membahagiakan, tetapi sayang bahwa jumlah masalah yang dihadapi manusia lebih banyak dari pada jumlah sumber untuk mempertahankan diri. Dengan kata lain keadaan asli itu cendrung merosot juga.
(F. Budi Hardiman, 2011 : 102)
Untuk menghadapi masalah yang semakin nyata (kongkrit) dan perbedaan (disparitas) antara manusia yang satu dengan manusia lainnya, maka manusia harus membentuk persekutuan untuk melestarikan keadaan aslinya. (F. Budi Hardiman, 2011 : 102)
  Dengan semua itu lahirlah  “Du Contract Social”. Kontrak sosial adalah kesepakatan yang rasional untuk menentukan seberapa luas kebebasan warga (yang pada asasnya tidak terbatas) dan dilain pihak seberapa besar kewenangan pejabat negara (pada asasnya terbatas). Kontrak sosial yang dibentuk atas kehendak bebas dari semua (the free will all), untuk mamantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas yang tinggi. (http://dedetzelth.blogspot.com diakses pada 18 Februari 2014)
Menurut J.J. Rousseau hidup bermasyarakat adalah perlu sekali. Karena dengan bermasyarakat orang tidak mungkin lagi hidup tanpa pertolongan orang lain.
(Harun Hadiwijono, 2011 : 60)

B.     Inti Pemikiran kontrak sosial J.J. Rousseau
J.J. Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte general) untuk dibedakan dari kehendak semua orang. J.J. Rousseau mengatakan bahwa kehendak umum dari keinginan semua masyarakat tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (mempunyai keinginan) (the quantity of the subjects), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the object sought). (http://dedetzelth.blogspot.com diakses pada 18 Februari 2014)
Lain halnya yang dimaksud dengan kehendak semua orang, yaitu kehendak sebagai hasil dari keputusan suara terbanyak, yang belum tentu mencerminkan kehendak umum.  Kehendak umum ditujukan kepada kepentingan umum, yang tidak dapat tersesat, karena senantiasa mengikuti hal-hal yang benar. Kehendak umum ini dapat menjadi kekuatan yang memaksa, jikalau terjadi suatu perjanjian, yaitu perjanjian sosial (Contract Social).
(Harun Hadiwijono, 2011 : 61)
Perbedaan antara perjanjian sosial dan perjanjian-perjanjian yang biasa ialah bahwa didalam perjanjian sosial itu orang menanggalkan kehendak sendiri, kepentingan sendiri, dan hak-hak khususnya, sedangkan di dalam perjanjian-perjanjian yang biasa hak-hak perorangan justru ditetapkan, diteguhkan. (Harun Hadiwijono, 2011 : 61)
Di dalam perjanjian sosial orang-orang yang membuat perjanjian menyerahkan hak-hak mereka sepenuhnya kepada masayarakat, yang dilahirkan karena perjanjian itu mereka tanpa syarat menundukan diri kepada kuasa bersama yang adil.
(Harun Hadiwijoyono, 2011 : 61)
Kekuasaan yang menetapkan undang-undang di dalam negara dibentuk dari penguasa dan rakyat, yang semua bersama-sama mewakili “kehendak umum” J.J. Rousseau tidak menghendaki adanya badan perwakilan rakyat atau parlemen, karena kehendak parlemen tidak mengungkapkan “kehendak umum” mungkin mendekati pengungkapan “kehendak semua orang”, sebab kehendak itu adalah keputusan suara yang terbanyak.
(Harun Hadiwijoyono, 2011 : 61)
Disamping kekuasaan yang menetapkan undang-undang ada kekuasaan yang melaksanakan undang-undang, yaitu pemerintah, yang mewujudkan mata rantai yang menghubungkan kehendak umum dan kehendak perorangan yang menerapkan undang-undang kepada perorangan. Kekuasaan ini tidak lepas dari kekuasaan yang menetapkan undang-undang. (Harun Hadiwijoyono, 2011 : 61)
Demokrasi
Pembuat undang-undang mengetahui lebih baik daripada siapa pun juga bagaimana undang-undang itu harus dilaksanakan dan ditafsirkan. Maka, tampaknya tidak ada yang lebih baik daripada undang-undang yang menggabungkan kekuasaan eksekutif dan legisaltif. Namun, hal itu jugalah yang menjadikan pemerintah menunjukan kekurangan dalam bebrapa hal: butir-butir yang seharusnya dibedakan tidak terpisahkan dan Karena dapat dikatakan bahwa priagung dan berdaulat, yang tergabung dalam diri seseorang saja, merupakan pemerintah tanpa pemerintah.
Tidak baik jika pembuat undang-undang juga menerapkannya. Demikian juga jika korps rakyat memalingkan perhatiannya dari sudut pandangan umum agar dapat lebih memperhatikan objek pribadi. Tak ada yang lebih berbahaya daripada pengaruh kepentingan pribadi dalam urusan umum, dan penyalahgunaan undang-undang oleh pemerintah tidak seberapa jika dibandingkan kebobrokan legislator yang merupakan akibat dari pandangan pribadi. Oleh karena substansi Negara menjadi lemah, reformasi apapun tidak mungkin. Rakyat yang tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan pemerintahan tidak akan pernah menyalahgunakan kebebasan. Rakyat yang selalu memerintah dengan baik tidak perlu diperintah.
Apabila istilah itu diterima secara ketat, sampai sekarang demokrasi yang sesungguhnya belum pernah ada, dan tidak akan pernah ada. Suatu hal bertentangan dengan tatanan alami apabila sejumlah besar orang memerintah dan sejumlah kecil diperintah. Tak dapat dibayangkan bahwa rakyat terus-menerus berkumpul untuk menyelesaikan urusan umum. Dengan mudah dapat dipahami bahwa, untuk keperluan itu, perlu dibentuk komisi tanpa mengubah bentuk administrasi. Tambahan lagi begitu banyak maslah yang sulit digabungkan, yang tak dapat dituntut pemerintah ini! Pertama-tama, suatu Negara sangat kecil yang rakyatnya mudah dikumpulkan dan setiap warganya dengan mudah mengenal yang lain. Kedua, adat-istiadat sangat sederhana yang menghindari sejumlah besar urusan dan diskusi yang sulit. Kemudian, tingkat kesetaraan yang sangat baik dalam hierarki masyarakat dan kekayaaan. Kalu tidak demikian, kesetaraan hukum dan otoritas tidak dapat berlangsung lama. Akhirnya, sedikit atau sama sekali tidak ada kemewahan karena kemewahan itu akibat kekayaan, atau demi kemewahan, kekayaan menjadi hal yang diperlukan. Kemewahan merusak baik si kaya maupun si miskin, yang pertama dengan nafsu memiliki, yang lain dengan kerakusan. Demi kemewahan, tanah air dikorbankan untuk hura-hura dan hal yang sia-sia. Kemewahan menyebabkan Negara kehilangan semua warga terbaiknya karena mereka saling memperbudak, dan karena tak ada yang mereka pikirkan selain pendapat orang tentang gengsi mereka.
Rakyat sama dengan membangun gedung, arsitek terlebih dahulu meneliti keadaan tanah untuk melihat apakah mampu menahan beban, legislator yang bijaksana tidak mulai dengan menyusun undang-undang yang baik untuk undang-undang itu sendiri, namun ia menguji dahulu apakah rakyat yang akan menerimanya memang sanggup menanggungnya.
Sebagian besar rakyat, dan manusia pada umumnya, hanya patuh ketika masih muda, begitu menjadi tua mereka tak dapat diperbaiki lagi. Sekali adat istiadat mapan dan berbagai prasangka berakar, sangat berbahaya dan sia-sia kalau kita berusaha mengubahnya. Rakyat bahkan menolak sama sekali ketika penyakitnya dirawat untuk disembuhkan, sama dengan orang sakit yang bodoh dan tidak tabah, yang gemetar melihat dokter.
Seperti beberapa penyakit yang mengacaukan ingatan manusia dan membuatnya lupa pada masa lalu, kadangkala di dalam kehidupan berbagai Negara terjadi revolusi yang menimbulkan krisis dalam diri rakyat, seperti juga krisis yang dialami para individu, yang kekejamannya demikian rupa sehingga rakyat lebih suka melupakannya, dan yang membuat Negara yang pernah diamuk perang saudara seperti terlahir kembali dari abunya dan menjadi muda kembali ketika keluar dari pelukan maut.
Namun, kejadian semacam itu langka dan merupakan kekecualian yang penjelasannya terdapat dalam pembentukan khas Negara tersebut. Kekecualian itu bahkan tak mungkin terjadi dua kali pada rakyat yang sama karena rakyat dapat menjadi bebas selama mereka hanya makhluk bar-bar, namun tidak mungkin kembali bebas manakala semangat politisnya usang. Dalam hal itu, kekacauan dapat menghancurkannya, namu revolusi tidak mungkin membangunnya kembali, dan begitu besi-besi pengikat patah, rakyat cerai-berai dan sirna. Maka, diperlukan seorang majikan dan bukan seorang pembebas. Rakyat bebas, ingatlah selalu pada prinsip ini: “kita dapat memperoleh kebebasan, namun sekali hilang, tidak akan pernah memperolehnya kembali”.
Masa muda bukanlah masa kanak-kanak. Bangsa sama dengan manusia, ada masa muda atau masa dewasa yang harus ditunggu sebelum mereka dikenai undang-undang. Namun, masa dewasa rakyat tidak selamanya mudah untuk diketahui dan, jika kita mendahuluinya, undang-undang menjadi sia-sia. Rakyat yang satu berdisiplin sejak lahir, sementara yang lain tidak mampu walaupun umurnya sudah berabad-abad.    

C.    Dampak Pemikiran kontrak sosial J.J. Rousseau
manusia harus memilih antara tetap bebas, tidak saling bergantung namun mati, dan bersatu untuk bertahan hidup dengan membangun masyarakat politis”

Apa yang akan hilang dari manusia sebagai akibat dari perjanjian sosial adalah kemerdekaan alamiahnya dan haknya yang tidak jelas untuk memiliki apa saja yang menariknya, apa yang ia peroleh sesunguhnya ialah kemerdekaan sipil dan pemilikan apa yang menjadi miliknya. Agar kita tidak punya ilusi yang tidak-tidak mengenai perubahan ini.
J.J. Rousseau mengakui adanya perubahan kondisi lewat kontrak sosial, perubahannya seperti :
·         Jika dalam keadaan asli ada “kebebasan kodarati” , sesudah kontrak sosial ada  “kebebasan sipil”
·         Jika dalam keadaan asli kebebasan alamiah dibatasi oleh kekuatan fisik individu, dalam negara kebebasan sipil dibatasi oleh kehendak umum.
Meski ada perubahan ini J.J. Rousseau tetap berkeyakinan bahwa kalau negara diatur denga baik kebebasan warganya bisa lebih tinggi daripada kebebasan dalam keadaan aslinya. (F. Budi Hardiman, 2011 : 102)
Negara yang dianggap baik adalah negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Artinya, di negara itu hukum tidak kurang mencerminkan kehendak rakyat. Bagi J.J. Rousseau, kedaulatan tak lain dari pada pelaksanaan kehendak umum. Dalam negara kedaulatan rakyat individu dapat mempertahankan kebebasannya, sebab dia adalah sumber kedaulatan dan dengan menyesuaikan diri, dengan kehendak umum kepentingan riilnya terpenuhi. Dengan demikian menurut J.J. Rousseau, kedaulatan rakyat adalah mutlak. Dalam hal ini dia tidak mendukung adanya lembaga penengah, misalnya : lembaga perwakilan, sebab perwakilan akan mengurangi kedaulatan rakyat. Kedaulatan tidak bisa dibagi menjadi pemerintah (eksekutif) dan parlemen (legislatif) ; baginya kedaulatan bersifat legislatif dan identik dengan rakyat. (F. Budi Hardiamn, 2011 : 103)
Akibat pertama dan sangat utama dari dasar-dasar yang telah diletakan bahwa hanya kemauan yang dapat mengarahkan kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga dapat mendirikan kebaikan bagi semua. Oleh Karena itu, bahwa kedaulatan yang hanya merupakan pelaksanaan kemauan umum, tidak pernah bisa dihapuskan, dan bahwa penguasa berdaulat yang semata-mata merupakan suatu badan kolektif, tidak dapat diwakili kecuali oleh dirinya sendiri. Kekuasaan dapat diserahkan, tetapi tidak kemauan. Dan walaupun dalam kenyataan, mungkin kemauan individu dalam hal tertentu dapat sesaui dengan kemauan umum, apa yang tidak mungkin ialah bahwa operjanjian yang seperti itu bisa langgeng dan tetap. Sebab kemauan individu cenderung secara alami pada keistimewaan, kemauan bersama pada persamaan. Lebih tidak mungkin lagi bila mesti ada jaminan bagi harmoni kepentingan-kepentingan itu, dan kalau pun ada, namun hanya karena kebetulan, dan bukan kesengajaan sebagai fondasi tempat ia bersandar. Tentu seorang penguasa berdaulat dapat berkata, “apa yang asaya inginkan saat ini sesaui denagn apa yang diinginkan individu ini atau itu”. Tetapi tidak bisa ia berkata : apa yang mungkin aia inginkan esok akan sesaui dengan keinginan saya dalam semua segi” oleh sebab itu , akalu rakyat semata-mata hanya patuh, dengan demikian mereka membatalkan kembali ikatan sossial, dan dengan begitu menghilangkan sifat mereka sebagai rakyat. Begitu si tuan muncul dipermukaan, sang penguasa berdaulat lengyap, dan badan politik pun hancur.
Dengan alasan yang sama bahwa kedaulatan tidak dapat di bagi-bagi, sebab keamuan itu bersifat umum atau tidak sama sekali. (bahwa kemauan itu umum, tidak selamanya berarti bahwa ia serupa semua-unanimous- walaupun perlu tiap suara dihitung. Bila ada suara yang tidak dihitung, amka ini sengaja melanggar sifat umum dari suatu keputusan). Sesautu itu bisa merupakan kemauan dari keseluruhan badan rakyat, atau ia hanya dari suatu bagian. Dalam hal pertama, kemauan itu adalah perbuatan dari kedaulatan, dan upaya kekuatan hukum. Dalam hal kedua, ini hanya sebagian, atau dengan kata lain, suatu perbuatan yang dipaksakan pemerintah; dan sebab itu, sebanyak-banyaknya yang dapat dikatakan tentang itu ialah bahwa ia merupakan dekrit.
Kemauan umum itu selamanya benar dan tetap cenderung pada manfaat umum. Tetapi tidak berti bahwa musyawarah yang dilakukan rakyat selamanya akan tidak perlu dipertanyakan. Selamanya seseorang itu ingin agar ia mendapatkan yang baik saja baginya, tetapi tidak selamanya ia melihat di mana atau apa yang baik itu. Rakyat tidak pernah jahat tetapi ia sering di tipu, dan hanay karena dikibuli mereka kelihatan cederung pada kemauan yang bersifat jahat.
Seringkali dijumpai perbedaan besar antara kemauan semua (will of all) dengan kemauan umum (general will). Kemauna umum hanya mengenai kepentingan umum, kemauan semua megenai kepentingan yang bersifat sebagian; ia merupakan jumlah dari kemauan-kemauan individu. Tetapi ambillah dari kamuan-kemauna yang terpisah ini segi kelebihan dan kekuranganya yang menghapuskan jumlah dari perbedaan-perbedaan yang tinggal, maka itulah kemauan umum itu.
Apabila rakyat, yang bermusyawarah, memperoleh keterangan secukupnya, dan apabila tidak ada jalan bagi para warga negarauntuk berkomunikasi sesamanya, dari jumlah besar perbedaan-perbedaan kecil akan timbul kemauan umum, dan keputusan-keputusan yang dicapai akan senantiasa baik. Tetapi apabila kelompok-kelompok yang melakukan intrik dan kumpulan-kumpulan yang bersifat sebagaian (partial) dibentuk dengan merugikan keseluruhan, maka kemauan tiap kelompok hanya bersifat umum kalau mengenai para anggotanya sendiri, tetapi bersifat sebagian dalam hubungan dengan negara. Apabila keadaan ini timbul, dapat diaktakan bahwa tidak ada lagi jumlah suara dengan jumlah orang, melainkan jumlah suara itu sebanyak jumlah golongan saja. Perbedaan kepentingan lebih sedikit dan hasilnya kurang bersifat umum. Akhirnya apabila salah satu dari golongan ini menjadi terlampau besar sehingga menguasai yang lain-lain, hasilnya bukan jumlah segala perbedaan-perbedaan kecil, melainkan satu perbedaan saja. Kemauna umum jadinya tidak ada sama sekali, dan pendapat yang ada tidak mempunyaikesahan, kecuali dari seorang individu.
Jadi kalu kemaun umum benar-benar akan dilahirkan, perlulah agar tidak ada kelompok-kelompok tamabhan dalam negara, dan agar tiap warga negara mengeluarkan pendapatnya sendiri dan benar-benar hnaya pendapatnya sendiri.
Apabila negara atau kota merupakan pribadi moral semata-mata, yang kehidupannya timbul karena persatuan para anggotanya, dan apabila hal yang sangat diperhatikan adalah menjaga keberadaannya, maka akibatnya ia harus mempunyai kekuasaan memaksa yang meliputi seluruh bidang kerjanya, agar ia dapat mengusahakan dan menyesuaikan tiap bagian dengan craa yang akan sangat berguna bagi keseluruhan. Sebagaimana alam memberi kepada tiap manusia kekuasaan komplet atas dirinya, demikian pula kepada perjanjian sosial memberi kepada politik itu kekuasaan menyeluruh atas para anggotanya.
Disetujui bahwa apa-apa, sebagai akibat perjanjian sosial, yang diserahkan seseorang tentang kekuasaan, milik dan kebebasannya hanya sebesar yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Tetapi disamping itu, mestilah diakui bahwa hanya penguasa berdaulat yang bisa menetapkan betapa tepatnya penyerahan ini.
Layanan-layanan yang harus dilakukan warga negara kepada negara mesti dilakukan olehnya bila dikehendaki penguasa berdaulat. Tetapi penguasa ini tidak boleh mewajibkan para warganya memikul suatu beban apa pun yang tidak diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat. Malah ia tidak bisa mempunyai harapan seperti itu, oleh sebab dalam rangka akal budi (reason), seperti pada alam, tidak ada yang dikerjakan tanpa maksud.
Dengan ajaran itu J.J. Rousseau dipandang sebagai pendukung demokrasi yang paling penting karena mendukung kedaulatan oleh rakyat. J.J. Rousseau adalah pengkritik yang rajin, atas monarki Inggris, yang justru di puja-puja oleh Montesquieu, dengan alasan bahwa monarki kerap jatuh pada perbudakan atas rakyat. Ironisnya, ajarannya juga kerap dinilai sebagai dukungan atas totalitarianisme (atau pemerintahan totaliter). Mengapa ? teori kehendak umum itu ternyata tidak hanya menjadi asas demokrasi tetapi juga asas totalitarianisme. Dengan anggapannya bahwa kehendak umum selalu benar dan selalu mencerminkan kepentingan umum, ajaran ini membenarkan “tirani mayoritas”. “penindasan atas minoritas” dan “absolutism negara demi kedaulatan rakyat”
(F. Budi Hardiman, 2011 : 103)

D.    Tanggapan Penulis terhadap pemikiran kontrak sosial J J Rousseau
Menurut kami, dengan adanya teori kontrak sosial yang diusung oleh J.J. Rousseau semakin memperjelas kedaulatan yang harus dilakukan oleh rakyat. Pemikiran J.J. Rousseau ini sangat memiliki kedudukan yang penting dalam sejarah filsafat modern yang diakui sebagai pencerahan dan kemajuan. Kami sangat sependapat dengan teori kontrak sosial J.J. Rousseau, karena J.J. Rousseau menarik simpati rakyat dengan pendekatan per individu bukan dengan kekerasan, teori perjanjian yang dapat membawa perubahan yang lebih baik di mana orang-orang yang ada di dalamnya saling terikat satu sama lain yang mengedepankan kesatuan bersama.
Jika kita melihat bahwa ajaran J.J. Rousseau ini dianggap sebagai dukungan atas totalitarianisme (pemerintahan totaliter) yang dimaksud totaliatarianisme di sini adalah sebuah sistem politik di mana negara berada di bawah kendali orang politik tunggal, golongan atau kelas, tidak megenal batas otoritas dan berusaha untuk mengatur setiap aspek kehidupan politik. Setelah kita mengetahui toitalitarianisme itu apa, kita hubungkan apakah di negara kita menggunakan totalitarianisme? memang di negara kita menggunakan totalitarianisme selain itu sebagaimana yang terdapat pada kelemahan J.J. Rousseau bahwa J.J Rousseau juga mendukung akan pilihan suara terbanyak, dan cara seperti itu pun ada di negara kita. Jadi, dapat dikatakan mungkin saja negara kita ini terbentuk salah satunya dengan kontrak sosial yang di kemukakan oleh J.J. Rousseau.
LihatTutupKomentar

Iklan