Teori Kontrak Sosial - J. J. Rousseau
A. Timbulnya pemikiran kontrak sosial J.J.
Rousseau
Bentuk tertua masyarakat dan satu-satunya
yang alami ialah keluarga. Anak-anak terikat pada ayahnya hanya selama mereka
perlu kepadanya untuk mempertahankan diri. Bila keperluan itu tidak ada lagi,
ikatan alami itu putus.
Begitu seseorang mencapai usia dewasa
(berakal) ia menjadi tuan bagi dirinya, sebab ia sendiri yang dapat menilai apa
yang sebaiknya terus menjamin keberadaannya.
Kita bisa melihat keluarga sebagai model
dasar bagi semua persekutuan politik. Penguasa (lurer) merupakan ayah dalam bentuk besar : orang-orang (rakyat),
secara analogi, merupakan anak-anaknya, dan semuanya, baik ia penguasa maupun
rakyat, melepaskan kemerdekaannya sejauh memberi manfaat kepadanya. Bedanya
hanya, bila dalam keluarga cinta ayah kepada anak-anaknya cukup merupakan perawatan
yang ia berikan kepada mereka; dalam negara, kesukaan untuk memerintah menjadi
ganti cinta tadi, karena penguasa tidak puya hubungan cinta dengan rakyatnya.
(Deliar Noer, 1996 :160)
Manusia alamiah, yaitu manusia yang
dilahirkan dari kandungan alam, adalah manusia yang baik, yang senantiasa
berbuat sesuai dengan asas-asas yang tetap, yang tidak berubah. Tetapi manuisa
yang telah dihasilkan oleh hidup bermasyarakat adalah jahat. Di dalam keadaan
alamiah manusia hidup atas dasar dirinya sendiri, kesepian, sendiri di
tengah-tengah hutan yang lebat, dengan memiliki bagi dirinya segala kekuatan
rohaniah dan badaniah. (Harun Hadiwijoyono, 2011 :59)
Teori kontrak sosial merupakan salah satu
teori dari terbentuknya negara. Teori kontrak sosial merupakan teori yang
menyatakan bahwa terbentuknya negara itu disebabkan oleh adanya keinginan
masyarakat untuk membuat kontrak sosial (perjanjian sosial). Jadi, sumber
kewenangan berasal dari masyarakat itu sendiri. (http://dedetzelth.blogspot.com diakses pada 18 Februari 2014)
J.J. Rousseau menginginkan sebuah susunan
masyarakat yang bebas, bahagia dan manusiawi, berdasarkan asas-asas kodrati
manusia, yakni bukan rasionya melainkan kehendak dan perasaannya.
Hubunga-hubungan sosial yang masing-masing anggota masih menjadi tuan bagi
dirinya sendiri dan bebas seperti keadaan aslinya.
(F. Budi Hardiman, 2011 : 101)
J.J. Rousseau memandang pada dasarnya manusia
itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia lainnya
tidaklah terjadinya perkelahian. Manusia hidup aman, damai dan tentram. Namun
seiring waktu, menurut J.J. Rousseau semua itu akan berubah, karena faktor
alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. (http://dedetzelth.blogspot.com diakses pada 18 Februari 2014)
Menurut J.J. Rousseau, keadaan asli itu baik
dan membahagiakan, tetapi sayang bahwa jumlah masalah yang dihadapi manusia
lebih banyak dari pada jumlah sumber untuk mempertahankan diri. Dengan kata
lain keadaan asli itu cendrung merosot juga.
(F. Budi Hardiman, 2011 : 102)
Untuk menghadapi masalah yang semakin nyata
(kongkrit) dan perbedaan (disparitas) antara manusia yang satu dengan manusia
lainnya, maka manusia harus membentuk persekutuan untuk melestarikan keadaan
aslinya. (F. Budi Hardiman, 2011 : 102)
Dengan semua itu lahirlah “Du
Contract Social”. Kontrak sosial adalah kesepakatan yang rasional untuk
menentukan seberapa luas kebebasan warga (yang pada asasnya tidak terbatas) dan
dilain pihak seberapa besar kewenangan pejabat negara (pada asasnya terbatas).
Kontrak sosial yang dibentuk atas kehendak bebas dari semua (the free will
all), untuk mamantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas yang tinggi. (http://dedetzelth.blogspot.com diakses pada 18 Februari 2014)
Menurut J.J. Rousseau hidup bermasyarakat
adalah perlu sekali. Karena dengan bermasyarakat orang tidak mungkin lagi hidup
tanpa pertolongan orang lain.
(Harun Hadiwijono, 2011 : 60)
B. Inti Pemikiran kontrak sosial J.J.
Rousseau
J.J. Rousseau mengedepankan konsep tentang
kehendak umum (volonte general) untuk dibedakan dari kehendak semua orang. J.J.
Rousseau mengatakan bahwa kehendak umum dari keinginan semua masyarakat tidak
harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (mempunyai keinginan) (the
quantity of the subjects), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya
(the quality of the object sought). (http://dedetzelth.blogspot.com diakses pada 18 Februari 2014)
Lain halnya yang dimaksud dengan kehendak
semua orang, yaitu kehendak sebagai hasil dari keputusan suara terbanyak, yang
belum tentu mencerminkan kehendak umum.
Kehendak umum ditujukan kepada kepentingan umum, yang tidak dapat
tersesat, karena senantiasa mengikuti hal-hal yang benar. Kehendak umum ini
dapat menjadi kekuatan yang memaksa, jikalau terjadi suatu perjanjian, yaitu
perjanjian sosial (Contract Social).
(Harun Hadiwijono, 2011 : 61)
Perbedaan antara perjanjian sosial dan
perjanjian-perjanjian yang biasa ialah bahwa didalam perjanjian sosial itu
orang menanggalkan kehendak sendiri, kepentingan sendiri, dan hak-hak
khususnya, sedangkan di dalam perjanjian-perjanjian yang biasa hak-hak
perorangan justru ditetapkan, diteguhkan. (Harun Hadiwijono, 2011 : 61)
Di dalam perjanjian sosial orang-orang yang
membuat perjanjian menyerahkan hak-hak mereka sepenuhnya kepada masayarakat,
yang dilahirkan karena perjanjian itu mereka tanpa syarat menundukan diri
kepada kuasa bersama yang adil.
(Harun
Hadiwijoyono, 2011 : 61)
Kekuasaan
yang menetapkan undang-undang di dalam negara dibentuk dari penguasa dan
rakyat, yang semua bersama-sama mewakili “kehendak umum” J.J. Rousseau tidak
menghendaki adanya badan perwakilan rakyat atau parlemen, karena kehendak
parlemen tidak mengungkapkan “kehendak umum” mungkin mendekati pengungkapan “kehendak
semua orang”, sebab kehendak itu adalah keputusan suara yang terbanyak.
(Harun
Hadiwijoyono, 2011 : 61)
Disamping kekuasaan yang menetapkan
undang-undang ada kekuasaan yang melaksanakan undang-undang, yaitu pemerintah,
yang mewujudkan mata rantai yang menghubungkan kehendak umum dan kehendak
perorangan yang menerapkan undang-undang kepada perorangan. Kekuasaan ini tidak
lepas dari kekuasaan yang menetapkan undang-undang. (Harun Hadiwijoyono, 2011 :
61)
Demokrasi
Pembuat undang-undang mengetahui
lebih baik daripada siapa pun juga bagaimana undang-undang itu harus
dilaksanakan dan ditafsirkan. Maka, tampaknya tidak ada yang lebih baik
daripada undang-undang yang menggabungkan kekuasaan eksekutif dan legisaltif.
Namun, hal itu jugalah yang menjadikan pemerintah menunjukan kekurangan dalam
bebrapa hal: butir-butir yang seharusnya dibedakan tidak terpisahkan dan Karena
dapat dikatakan bahwa priagung dan berdaulat, yang tergabung dalam diri
seseorang saja, merupakan pemerintah tanpa pemerintah.
Tidak baik jika pembuat
undang-undang juga menerapkannya. Demikian juga jika korps rakyat memalingkan
perhatiannya dari sudut pandangan umum agar dapat lebih memperhatikan objek
pribadi. Tak ada yang lebih berbahaya daripada pengaruh kepentingan pribadi
dalam urusan umum, dan penyalahgunaan undang-undang oleh pemerintah tidak
seberapa jika dibandingkan kebobrokan legislator yang merupakan akibat dari
pandangan pribadi. Oleh karena substansi Negara menjadi lemah, reformasi apapun
tidak mungkin. Rakyat yang tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan pemerintahan
tidak akan pernah menyalahgunakan kebebasan. Rakyat yang selalu memerintah
dengan baik tidak perlu diperintah.
Apabila istilah itu diterima secara
ketat, sampai sekarang demokrasi yang sesungguhnya belum pernah ada, dan tidak
akan pernah ada. Suatu hal bertentangan dengan tatanan alami apabila sejumlah
besar orang memerintah dan sejumlah kecil diperintah. Tak dapat dibayangkan
bahwa rakyat terus-menerus berkumpul untuk menyelesaikan urusan umum. Dengan
mudah dapat dipahami bahwa, untuk keperluan itu, perlu dibentuk komisi tanpa
mengubah bentuk administrasi. Tambahan lagi begitu banyak maslah yang sulit
digabungkan, yang tak dapat dituntut pemerintah ini! Pertama-tama, suatu Negara
sangat kecil yang rakyatnya mudah dikumpulkan dan setiap warganya dengan mudah
mengenal yang lain. Kedua, adat-istiadat sangat sederhana yang menghindari
sejumlah besar urusan dan diskusi yang sulit. Kemudian, tingkat kesetaraan yang
sangat baik dalam hierarki masyarakat dan kekayaaan. Kalu tidak demikian,
kesetaraan hukum dan otoritas tidak dapat berlangsung lama. Akhirnya, sedikit
atau sama sekali tidak ada kemewahan karena kemewahan itu akibat kekayaan, atau
demi kemewahan, kekayaan menjadi hal yang diperlukan. Kemewahan merusak baik si
kaya maupun si miskin, yang pertama dengan nafsu memiliki, yang lain dengan
kerakusan. Demi kemewahan, tanah air dikorbankan untuk hura-hura dan hal yang
sia-sia. Kemewahan menyebabkan Negara kehilangan semua warga terbaiknya karena
mereka saling memperbudak, dan karena tak ada yang mereka pikirkan selain
pendapat orang tentang gengsi mereka.
Rakyat sama dengan membangun gedung,
arsitek terlebih dahulu meneliti keadaan tanah untuk melihat apakah mampu
menahan beban, legislator yang bijaksana tidak mulai dengan menyusun
undang-undang yang baik untuk undang-undang itu sendiri, namun ia menguji
dahulu apakah rakyat yang akan menerimanya memang sanggup menanggungnya.
Sebagian besar rakyat, dan manusia
pada umumnya, hanya patuh ketika masih muda, begitu menjadi tua mereka tak
dapat diperbaiki lagi. Sekali adat istiadat mapan dan berbagai prasangka
berakar, sangat berbahaya dan sia-sia kalau kita berusaha mengubahnya. Rakyat
bahkan menolak sama sekali ketika penyakitnya dirawat untuk disembuhkan, sama
dengan orang sakit yang bodoh dan tidak tabah, yang gemetar melihat dokter.
Seperti beberapa penyakit yang
mengacaukan ingatan manusia dan membuatnya lupa pada masa lalu, kadangkala di
dalam kehidupan berbagai Negara terjadi revolusi yang menimbulkan krisis dalam
diri rakyat, seperti juga krisis yang dialami para individu, yang kekejamannya
demikian rupa sehingga rakyat lebih suka melupakannya, dan yang membuat Negara
yang pernah diamuk perang saudara seperti terlahir kembali dari abunya dan
menjadi muda kembali ketika keluar dari pelukan maut.
Namun, kejadian semacam itu langka
dan merupakan kekecualian yang penjelasannya terdapat dalam pembentukan khas
Negara tersebut. Kekecualian itu bahkan tak mungkin terjadi dua kali pada
rakyat yang sama karena rakyat dapat menjadi bebas selama mereka hanya makhluk
bar-bar, namun tidak mungkin kembali bebas manakala semangat politisnya usang.
Dalam hal itu, kekacauan dapat menghancurkannya, namu revolusi tidak mungkin
membangunnya kembali, dan begitu besi-besi pengikat patah, rakyat cerai-berai
dan sirna. Maka, diperlukan seorang majikan dan bukan seorang pembebas. Rakyat
bebas, ingatlah selalu pada prinsip ini: “kita dapat memperoleh kebebasan,
namun sekali hilang, tidak akan pernah memperolehnya kembali”.
Masa muda bukanlah masa kanak-kanak.
Bangsa sama dengan manusia, ada masa muda atau masa dewasa yang harus ditunggu
sebelum mereka dikenai undang-undang. Namun, masa dewasa rakyat tidak selamanya
mudah untuk diketahui dan, jika kita mendahuluinya, undang-undang menjadi
sia-sia. Rakyat yang satu berdisiplin sejak lahir, sementara yang lain tidak
mampu walaupun umurnya sudah berabad-abad.
C. Dampak Pemikiran kontrak sosial J.J.
Rousseau
“manusia harus memilih antara tetap bebas,
tidak saling bergantung namun mati, dan bersatu untuk bertahan hidup dengan
membangun masyarakat politis”
Apa yang akan hilang dari manusia sebagai
akibat dari perjanjian sosial adalah kemerdekaan alamiahnya dan haknya yang
tidak jelas untuk memiliki apa saja yang menariknya, apa yang ia peroleh
sesunguhnya ialah kemerdekaan sipil dan pemilikan apa yang menjadi miliknya.
Agar kita tidak punya ilusi yang tidak-tidak mengenai perubahan ini.
J.J. Rousseau mengakui adanya perubahan
kondisi lewat kontrak sosial, perubahannya seperti :
·
Jika dalam keadaan asli ada “kebebasan
kodarati” , sesudah kontrak sosial ada
“kebebasan sipil”
·
Jika dalam keadaan asli kebebasan alamiah
dibatasi oleh kekuatan fisik individu, dalam negara kebebasan sipil dibatasi oleh
kehendak umum.
Meski ada perubahan ini J.J. Rousseau tetap
berkeyakinan bahwa kalau negara diatur denga baik kebebasan warganya bisa lebih
tinggi daripada kebebasan dalam keadaan aslinya. (F. Budi Hardiman, 2011 : 102)
Negara yang dianggap baik adalah negara yang
mencerminkan kedaulatan rakyat. Artinya, di negara itu hukum tidak kurang
mencerminkan kehendak rakyat. Bagi J.J. Rousseau, kedaulatan tak lain dari pada
pelaksanaan kehendak umum. Dalam negara kedaulatan rakyat individu dapat
mempertahankan kebebasannya, sebab dia adalah sumber kedaulatan dan dengan
menyesuaikan diri, dengan kehendak umum kepentingan riilnya terpenuhi. Dengan
demikian menurut J.J. Rousseau, kedaulatan rakyat adalah mutlak. Dalam hal ini
dia tidak mendukung adanya lembaga penengah, misalnya : lembaga perwakilan,
sebab perwakilan akan mengurangi kedaulatan rakyat. Kedaulatan tidak bisa
dibagi menjadi pemerintah (eksekutif) dan parlemen (legislatif) ; baginya
kedaulatan bersifat legislatif dan identik dengan rakyat. (F. Budi Hardiamn,
2011 : 103)
Akibat pertama dan sangat utama dari
dasar-dasar yang telah diletakan bahwa hanya kemauan yang dapat mengarahkan
kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga dapat mendirikan kebaikan bagi semua.
Oleh Karena itu, bahwa kedaulatan yang hanya merupakan pelaksanaan kemauan
umum, tidak pernah bisa dihapuskan, dan bahwa penguasa berdaulat yang
semata-mata merupakan suatu badan kolektif, tidak dapat diwakili kecuali oleh
dirinya sendiri. Kekuasaan dapat diserahkan, tetapi tidak kemauan. Dan walaupun
dalam kenyataan, mungkin kemauan individu dalam hal tertentu dapat sesaui
dengan kemauan umum, apa yang tidak mungkin ialah bahwa operjanjian yang
seperti itu bisa langgeng dan tetap. Sebab kemauan individu cenderung secara
alami pada keistimewaan, kemauan bersama pada persamaan. Lebih tidak mungkin
lagi bila mesti ada jaminan bagi harmoni kepentingan-kepentingan itu, dan kalau
pun ada, namun hanya karena kebetulan, dan bukan kesengajaan sebagai fondasi
tempat ia bersandar. Tentu seorang penguasa berdaulat dapat berkata, “apa yang
asaya inginkan saat ini sesaui denagn apa yang diinginkan individu ini atau
itu”. Tetapi tidak bisa ia berkata : apa yang mungkin aia inginkan esok akan
sesaui dengan keinginan saya dalam semua segi” oleh sebab itu , akalu rakyat
semata-mata hanya patuh, dengan demikian mereka membatalkan kembali ikatan
sossial, dan dengan begitu menghilangkan sifat mereka sebagai rakyat. Begitu si
tuan muncul dipermukaan, sang penguasa berdaulat lengyap, dan badan politik pun
hancur.
Dengan alasan yang sama bahwa kedaulatan
tidak dapat di bagi-bagi, sebab keamuan itu bersifat umum atau tidak sama
sekali. (bahwa kemauan itu umum, tidak selamanya berarti bahwa ia serupa semua-unanimous- walaupun perlu tiap suara dihitung.
Bila ada suara yang tidak dihitung, amka ini sengaja melanggar sifat umum dari
suatu keputusan). Sesautu itu bisa merupakan kemauan dari keseluruhan badan
rakyat, atau ia hanya dari suatu bagian. Dalam hal pertama, kemauan itu adalah
perbuatan dari kedaulatan, dan upaya kekuatan hukum. Dalam hal kedua, ini hanya
sebagian, atau dengan kata lain, suatu perbuatan yang dipaksakan pemerintah;
dan sebab itu, sebanyak-banyaknya yang dapat dikatakan tentang itu ialah bahwa
ia merupakan dekrit.
Kemauan umum itu selamanya benar dan tetap
cenderung pada manfaat umum. Tetapi tidak berti bahwa musyawarah yang dilakukan
rakyat selamanya akan tidak perlu dipertanyakan. Selamanya seseorang itu ingin
agar ia mendapatkan yang baik saja baginya, tetapi tidak selamanya ia melihat
di mana atau apa yang baik itu. Rakyat tidak pernah jahat tetapi ia sering di
tipu, dan hanay karena dikibuli mereka kelihatan cederung pada kemauan yang
bersifat jahat.
Seringkali dijumpai perbedaan besar antara
kemauan semua (will of all) dengan
kemauan umum (general will). Kemauna
umum hanya mengenai kepentingan umum, kemauan semua megenai kepentingan yang
bersifat sebagian; ia merupakan jumlah dari kemauan-kemauan individu. Tetapi
ambillah dari kamuan-kemauna yang terpisah ini segi kelebihan dan kekuranganya
yang menghapuskan jumlah dari perbedaan-perbedaan yang tinggal, maka itulah
kemauan umum itu.
Apabila rakyat, yang bermusyawarah,
memperoleh keterangan secukupnya, dan apabila tidak ada jalan bagi para warga
negarauntuk berkomunikasi sesamanya, dari jumlah besar perbedaan-perbedaan
kecil akan timbul kemauan umum, dan keputusan-keputusan yang dicapai akan
senantiasa baik. Tetapi apabila kelompok-kelompok yang melakukan intrik dan
kumpulan-kumpulan yang bersifat sebagaian (partial)
dibentuk dengan merugikan keseluruhan, maka kemauan tiap kelompok hanya
bersifat umum kalau mengenai para anggotanya sendiri, tetapi bersifat sebagian
dalam hubungan dengan negara. Apabila keadaan ini timbul, dapat diaktakan bahwa
tidak ada lagi jumlah suara dengan jumlah orang, melainkan jumlah suara itu
sebanyak jumlah golongan saja. Perbedaan kepentingan lebih sedikit dan hasilnya
kurang bersifat umum. Akhirnya apabila salah satu dari golongan ini menjadi
terlampau besar sehingga menguasai yang lain-lain, hasilnya bukan jumlah segala
perbedaan-perbedaan kecil, melainkan satu perbedaan saja. Kemauna umum jadinya
tidak ada sama sekali, dan pendapat yang ada tidak mempunyaikesahan, kecuali
dari seorang individu.
Jadi kalu kemaun umum benar-benar akan dilahirkan,
perlulah agar tidak ada kelompok-kelompok tamabhan dalam negara, dan agar tiap
warga negara mengeluarkan pendapatnya sendiri dan benar-benar hnaya pendapatnya
sendiri.
Apabila negara atau kota merupakan pribadi
moral semata-mata, yang kehidupannya timbul karena persatuan para anggotanya,
dan apabila hal yang sangat diperhatikan adalah menjaga keberadaannya, maka
akibatnya ia harus mempunyai kekuasaan memaksa yang meliputi seluruh bidang
kerjanya, agar ia dapat mengusahakan dan menyesuaikan tiap bagian dengan craa
yang akan sangat berguna bagi keseluruhan. Sebagaimana alam memberi kepada tiap
manusia kekuasaan komplet atas dirinya, demikian pula kepada perjanjian sosial
memberi kepada politik itu kekuasaan menyeluruh atas para anggotanya.
Disetujui bahwa apa-apa, sebagai akibat
perjanjian sosial, yang diserahkan seseorang tentang kekuasaan, milik dan
kebebasannya hanya sebesar yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.
Tetapi disamping itu, mestilah diakui bahwa hanya penguasa berdaulat yang bisa menetapkan
betapa tepatnya penyerahan ini.
Layanan-layanan yang harus dilakukan warga
negara kepada negara mesti dilakukan olehnya bila dikehendaki penguasa
berdaulat. Tetapi penguasa ini tidak boleh mewajibkan para warganya memikul
suatu beban apa pun yang tidak diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat. Malah
ia tidak bisa mempunyai harapan seperti itu, oleh sebab dalam rangka akal budi (reason), seperti pada alam, tidak ada
yang dikerjakan tanpa maksud.
Dengan
ajaran itu J.J. Rousseau dipandang sebagai pendukung demokrasi yang paling
penting karena mendukung kedaulatan oleh rakyat. J.J. Rousseau adalah
pengkritik yang rajin, atas monarki Inggris, yang justru di puja-puja oleh
Montesquieu, dengan alasan bahwa monarki kerap jatuh pada perbudakan atas
rakyat. Ironisnya, ajarannya juga kerap dinilai sebagai dukungan atas totalitarianisme
(atau
pemerintahan totaliter). Mengapa ? teori
kehendak umum itu ternyata tidak hanya menjadi asas demokrasi tetapi juga asas
totalitarianisme. Dengan anggapannya bahwa kehendak umum selalu benar dan
selalu mencerminkan kepentingan umum, ajaran ini membenarkan “tirani
mayoritas”. “penindasan atas minoritas” dan “absolutism negara demi kedaulatan
rakyat”
(F. Budi Hardiman,
2011 : 103)
D.
Tanggapan Penulis terhadap pemikiran kontrak sosial J J Rousseau
Menurut
kami, dengan adanya teori kontrak sosial yang diusung oleh J.J. Rousseau
semakin memperjelas kedaulatan yang harus dilakukan oleh rakyat. Pemikiran J.J.
Rousseau ini sangat memiliki kedudukan yang penting dalam sejarah filsafat
modern yang diakui sebagai pencerahan dan kemajuan. Kami sangat sependapat
dengan teori kontrak sosial J.J. Rousseau, karena J.J. Rousseau menarik simpati
rakyat dengan pendekatan per individu bukan dengan kekerasan, teori perjanjian
yang dapat membawa perubahan yang lebih baik di mana orang-orang yang ada di
dalamnya saling terikat satu sama lain yang mengedepankan kesatuan bersama.
Jika kita melihat
bahwa ajaran J.J. Rousseau ini dianggap sebagai dukungan atas totalitarianisme
(pemerintahan totaliter) yang dimaksud totaliatarianisme di sini adalah sebuah
sistem politik di mana negara berada di bawah kendali orang politik tunggal,
golongan atau kelas, tidak megenal batas otoritas dan berusaha untuk mengatur
setiap aspek kehidupan politik. Setelah kita mengetahui toitalitarianisme itu
apa, kita hubungkan apakah di negara kita menggunakan totalitarianisme? memang
di negara kita menggunakan totalitarianisme selain itu sebagaimana yang
terdapat pada kelemahan J.J. Rousseau bahwa J.J Rousseau juga mendukung akan
pilihan suara terbanyak, dan cara seperti itu pun ada di negara kita. Jadi,
dapat dikatakan mungkin saja negara kita ini terbentuk salah satunya dengan kontrak
sosial yang di kemukakan oleh J.J. Rousseau.