Transformasi Masyarakat Petani Mranggen Menuju Masyarakat Industri


Oleh : Kuat Ismanto, H. Misbahul Huda & Chusna Maulida
Tergusurnya lahan para petani merupakan proses ‘proletarisasi’ dalam kehidupan desa, dan membengkaknya kelas petani yang tidak memiliki lahan garapan dengan segala dampaknya bukanlah fenomena baru di Indonesia. Geertz (1965: 6) dengan penelitiannya di Mojokuto menunjukkan bahwa hal tersebut sudah terjadi sejak masa penjajahan, tepatnya sekitar pertengahan abad ke-19. Ia menunjukkan bahwa proletariat Mojokuto sebagian besar terbentuk bukan oleh proletarianisasi para petani setempat, melainkan oleh migrasi populasi kelas bawah dari daerah-daerah lain ke wilayah-wilayah yang berdekatan dengan Mojokuto (Sobary, 2007: 2). 

Perkembangan kota Semarang yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut juga kebutuhan lahan yang semakin besar. Keterbatasan luas lahan yang ada di Semarang menyebabkan kota ini mengalami perkembangan ke daerah pinggiran kota, seperti Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Mranggen merupakan daerah yang mengalami dinamika dan perkembangan yang sangat pesat (rapid growth area), sehingga daerah perbatasan ini cukup sulit dibedakan dengan pusat kota (Semarang) (Suprapta, 2006: 2). Akibatnya, kehidupan daerah perbatasan kota ini terpengaruh oleh tata kehidupan kota dan bisa disebut rural-urban areas. 

Kondisi ini memberikan gambaran bahwa masyarakat Mranggen merupakan masyarakat campuran antara masyarakat desa dengan masayarakat kota atau dengan kata lain dapat dikatakan ‘desa wurung, kota tanggung’. Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Demak tahun 1999-2004, sebagian besar masyarakat Mranggen yang awalnya sangat bergantung hidupnya pada lahan pertanian telah bergeser pada sektor usaha perdagangan, jasa, dan industri yang mencapai rata-rata hingga 8% per-tahunnya(BPS, 2004). Di Mranggen, tidak kurang dari enam jenis mata pencaharian pokok, yakni petani atau buruh tani, pedagang kecil, pengrajin, buruh kasar, pegawai negeri, guru, karyawan administrasi, mewakili penduduk asli penduduk kecamatan ini, dan mereka dapat dikelompokkan berdasarkan kegiatan ekonomi tersebut. Tipologi pekerjaan yang telah berpola ini mencerminkan dasar organisasi sistem ekonomi kota yang menjadi sumber pembentukan kategorisasi tersebut. Demikian juga penggolongan penduduk menurut pandangan hidup mereka – menurut keyakinan keagamaan, kesukubangsaan, dan ideologi politik mereka – menghasilkan tiga tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral kebudayaan Jawa yang oleh Geertz (1995: 202) disebut priyayi, abangan, dan santri. Selanjutnya, pergulatan tiga tipe ini dalam menyikapi perkembangan yang sangat cepat akan menjadi bahasan yang menarik dalam penelitian ini. 

Download Jurnal:



LihatTutupKomentar

Iklan