SEMANGAT HUKUM - MONTESQUIEU

A.    Latar Belakang Pemikiran Montesquieu
Pemikiran John Locke mengenai Trias Politica ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property).” Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Seringkali raja secara sewenang-wenang melakukan akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, tidak mengherankan kalangan bangsawan kadang melakukan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil. Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif, Baron Secondat de Montesquieuatau yang sering disebut Montesqueieu mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke.
Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748. Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut: “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak diacu oleh negara-negara di dunia saat ini adalah Konsep yang berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep ini terus mengalami persaingan dengan konsep-konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).

Tahun 1748 Montesquieu mengembangkan pemikiran Locke, melalui bukunya:“The Spirit of The Laws”.
Karena sifat despotis raja-raja Bourbon untuk menjamin warga negara mengajukan konsep sistem pemerintahan dengan membagi kekuasaan dalam 3 cabang, yaitu: kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tiga kekuasaan harus terpisah satu sama lain,baik tugasnya maupun alat perlengkapannya. Sebagai seorang hakim, Montesquieu menghendaki “kebebasan dan kemandirian bidang yudikatif”. Disinilah letak kemerdekaan individu dan hak asasi manusia dijamin dan dipertaruhkan. Menurut Montesquieu, kekuasaan eksekutif berbeda dengan kekuasaan pengadilan. Hubungan luar negeri yang menurut Locke sebagai kekuasaan federatif, menurut Trias Politica, dimasukan kedalam kekuasaan eksekutif.
Menurut Montesquieu, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang berada di satu orang atau satu badan, apakah dari kaum bangsawan atau dari kaum rakyat jelata, maka tidak akan ada kemerdekaan dan akan terjadi tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Karenanya, pemisahan kekuasaan mutlak.
Apa sebanya Montesquieu mengemukakan ketiga pembagian kekuasaan itu? Baginya masalahnya bersangkut paut dengan apa yang disebutken kemerdekaan; pembagian itu adalah untuk menjamin adanya kemerdekaan.
            Apabila kekuasaan legislative dan eksekutif disatukan pada tangan yang sama, ataupun pada badan penguasa-penguasa yang sama, tidak mungkin terdapat kemerdekaan… juga, tidak akan bias ditegakan kemerdekaan itu bila kekuasaan mengadili tidak dipisahkan dari kekuasaan legislative dan eksekutif. Apabila kekuasaan mengadili ini digabungakan pada kekuasaan legislative, kehidupan dan kemerdekaan kawla Negara akan dikuasai oleh pengawasan suka hati, oleh sebab hakim akan menjadi orang yang membuat undang-undang pula. Apabila kekuasaan mengadili digabungkan pada kekuasaan eksekutif, hakim itu akan bersikap dan bertindak dengan kekerasan dan penindasan. Akan berakhir pulalah segala-galanya apabila orang-orang yang itu juga, ataupun badan yang itu juga (apakah badan ini terdiri dari orang-orang atau bangsawan banyak atau rakyat banyak)  yang akan menjalankan ketiga macam kekuasaan itu… (De l’Esprit des Lois, bagian XI, Bab ke-6-7).
Menurut Montesquieu kekuasaan Legislaif itu haruslah terletak pada seluruh rakyat. Tetapi menurut pendapatnya ini tidak mungkin terlaksana dalam Negara-negara yang luas daerahnya, sedangkan didalam Negara-negara yang kecilpun hal ini akan menimbulkan berbagai kesulitan, maka pelaksanaannya dilakukan oleh wakil-wakil rakyat. Adanya perwakilan rakyat akan memungkinkan pembicaraan masalah bersama itu dengan lebih memuaskan.
            Tetapi perwakilan ini bukanlah satu macam saja. Montesquieu adalah seorang bangsawan, memandang perlu untuk memberikan pengakuan terhadap golongan bangsawan dengan menempatkan perwakilan tersendiri bagi mereka. Dengan demikian maka perwakilan itu terbagi dua, yang sebuah lagi adalah untuki rakyat lainnya, yang bukan bangsawan. Kedua bagian perwakilan ini hanya mungkin bergerak dengan persetujuan salah satunya. Tiap bagian, atau biasanya juga disebut kamar (dari kamer, bahasa Belanda), mempunyai veto terhadap keputusan bagian lain.
            Persesuaian antara kedua kamar itu merupakan penetapan dari saling mengawasi didalam pemerintahan pada umumnya. Montesquieu pun menekankan bahwa tiap kekuasaan, yang dibagiya tiga seperti diatas, masing-masing saling mngawasi dalam menghambat kemungkinan penyelewengan. Ini tidak akan memacetkan kerja pemerintahan, kata Montesquieu, karena kehidupan dan masalah manusia itu akan mendesakan ketiga kekusaan itu bergerak dan tidak tinggal diam, tetapi dengan gerak yang bersesuaian atau sejalan antara ketiganya.
            Kalau tidak demikian maka kemerdekaan tidak akan terjaga; yang tiba adalah despotisme, kekuasaan sewenang-wenang. Menurut Montesquieu, apa yang disebut kemerdekaanitu bulkanlah kemerdekaan suka hati yang memberikan hak kepada seseorang untuk mengangkat senjata dan, oleh sebab, memaksakan kehendaknya dengan segala kekerasan terhadap yang lain. Dalam suatu masyarakat, dan pemikir ini melihat masyarakat itu dengan senidrinya mempunyai hukum, kemerdekaaan adalah hak untuk berbuat apa yang dibenarkan ataun dizinkan oleh hukum. Kalau sekiranya seseorang itu boleh atau bias berbuat yang dilarang oleh hukum, sekaulannya ulanya akan sama mempunyai hak demikian.  Masing-masing akan menggangu ketentraman hidup orang lain. Dan memang Montesquieu melihat kemerdekaan itu sebagai semacan metentraman hati karena muncul karena rasa keamanan diri. Jadi maksud pmrintah diadakan itu antara lain, ialah agar seseorang tidak perlu takut kepada yang lain. Orang pun dibnarkan mengeluarkan pendapatnya, mengemukakan perasaannya, dalam batas yang tidak dilarang oleh hukum secara tegas. Dalam hal ini hukum itu harus jelas, sehingga tidak ada kemugkinan bagi penguasa bertindak sewenang-wenang.
Ketentraman hati, rasa aman, kedamaian dan seumpama itu, menurut pemikir Perancis ini, adalah undang-undang lam. Dan kehendak inilah yang mendorong ia supaya menegakan kemerdekaan tadi. [1]
Trias Politica diterapkan di Amerika Serikat dalam konsep aslinya. Dalam praktik pemerintahan Amerika Serikat:
a.       Presiden tak dapat dijatuhkan oleh kongres selama masa jabatan empat tahun,
b.      Kongres tidak dapat dibubarkan oleh presiden,
c.       Presiden/menteri tidak boleh merangkap menjadi anggota kongres,
d.       tidak dapat membimbing kongres seperti PM Inggris,
e.       Mahkamah Agung mempunyai kedudukan bebas, karena hakim M.A., sekali diangkat oleh Presiden dan selama berkonduisi baik memegang jabatan seumur hidup atau hungga mengundurkan diri.
Agar masing-masing lembaga kekuasaannya tidak melampaui batas diadakan “checks and balances system” (pengawasan dan keseimbangan) dengan cara:
a.       Presiden diberi wewenang untuk mem-veto RUU yang telah diterima konres, tetapi veto ini dapat dibatalkan kongres dengan dukungan 2/3 suara dari kongres dan senat.
b.      Mahkamah Agung dapat mengadakan checks terhadap legislatif dan eksekutif melalui “judicial review (hak uji)”.
c.       Hakim agung yang diangkat seumur hidup oleh eksekutif dapat dihentikan oleh kongres apabila yang bersangkutan terbukti melakukan tindakan kriminal.
d.      Presiden dapat di-impeach oleh kongres.
e.       Penandatanganan perjanjian internasional baru dianggap sah jika senat menyetujuinya.
f.       Pengangkatan Mahkamah Agung, duta besar oleh presiden diperlukan persetujuan dari senat.
g.      Pernyataan perang, hanya boleh diselenggarakan oleh kongres.

Konsep trias Politica ini mempengaruhi pola pemikiran Kant dan Fitche tentang konsep negara hukum klasik, yaitu seperti di Jerman dan Belanda, anggota kabinet tidak boleh merangkap menjadi anggota legislatif (salah satu fungsinya harus dilepaskan).
Di Inggris, menurut Montsquieu pen antara lain dalam membahas RUU dan sebagainya.ganut Trias Politica justru tidak ada pemisahan kekuasaan, bahkan terjadi penjalinan yang erat antara eksekutif dengan legislatif, karena:
A.    Perdana Menteri serta kebanyakan menteri berasal dari parlemen dan turut serta dalam perdebatan majelis rendah (parlemen).
B.     Perdana Menteri memimpin kabinet yang terdiri dari rekan separtai, memberi bimbingan kepada Parlemen dalam tugas sehari-hari, antara lain dalam membahas RUU dan sebagainya.
C.     Nasib kabinet bergantung pada Parlemen agar tetap mendapatkan dukungan.
D.    Perdana Menteri dapat membubarkan kabinet dan mengadakan pemilu baru sebelum berakhirnya masa jabatan parlemen.
E.     Hubungan timbal balik demikian perlu suatu kerja sama yang baik antara kedua lembaga dan ide Trias Politica dalam pengertian aslinya sudah kabur.

Dalam praktik, Trias Politica baik di Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara lain sulit dilaksanakan secara murni (hanya dalam negara hukum klasik abad ke-19 seperti digambarkan Kant dan Fitche karena tak ada campur tangan negara di bidang Ekonomi dan segi kehidupan lain dan pemerintahan hanya sebagai “penjaga malam” semata.
Dalam abad ke-20, Trias Politica dalam arti pemisahan kekuasaan tak dapat dipertahankan lagi terutama dengan adanya konsep “Negara Kesejahteraan” karena pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Eksekutif terpaksa juga harus aktif dibidang legislatif dengan penyusunan RUU, peraturan pemerintah, Keppes, Kepmen, dan sebagainya. Pemerintah juga berkecimpung dibidang yudikatif, yaitu ikut menyelesaikan konflik perumahan, pajak, penafsiran undang-undang, dan sebagainya.
Karena kondisi tersebut ada kecenderungan “Trias Politica” tidak lagi sebagai “pemisahan kekuasaan” tetap sebagai “pembagian kekuasaan”. Dalam arti:
a.       Hanya fungsi pokok yang dibedakan menurut sifatnya dan diserahkan kepada lembaga yang berbeda.
b.      Untuk selebihnya kerja sama diantara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi.


B.     Inti Pemikiran Montesquieu Mengenai  Trias Politica
Konsep Trias Politika merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII . Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan:
1.      Kekuasaan legislatif (membuat undang-undang),
2.      Kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang), didalamnya termasuk kekuasaan mengadili (Locke memandang mengadili sebagai pelaksanaan undang-undang),
3.      Kekuasaan yudikatif (mengadili atas pelanggaran undang-undang), kekuasaan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain untuk membuat aliansi dan sebagainya (hubungan luar negeri).
Trias Politica adalah suatu prinsip normatif, yaitu: “Bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa”. Dengan demikian, duharapkan hak-hak asasi warga negara sudah terjamin.
Doktrin ini pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan pada taraf itu ditafsirkan sebagai “Pemisah kekuasaan”.[2]
Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep ini pertama kali diperkenalkan dibukunya yang berjudul, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws). Sebelumnya konsep ini telah diperkenalkan oleh John Locke. Filsuf Inggris  mengemukakan konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh Parlemen Inggris.
Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya
Karya Montesqiueau ini hampir diterapkan diseluruh Negara didunia yang menganut Demokrasi termasuk juga Indonesia. Di Negara Komunis yang hanya mempunya satu partai cenderung menjauhi konsep Trias Politica terlihat jelas bahwa bentuk pemerintahan hanya dipegang oleh kalangan partai tunggal tersebut saja, sebut saja China, Korea Utara dan Uni Soviet (masa perang dingin) adalah sejumlah Negara yang menjauhi Trias Politica tak heran jika bentuk pemerintahannya bersifat otoriterian karna tidak adanya  pembagian kekuasaan.
Beda dengan Negara yang mengenakan sistim Trias Politica. Dengan adanya lembaga Legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik karma merupakan cermin kedaulatan rakyat. Selain itu lembaga ini juga mempunyai fungsi sebagai check and balance terhadap dua lembaga lainnya agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan dengan begitu jalannya pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien.

C.    Dampak Pemikiran Trias Politica menurut Montesquie dalam Politik Sosial
Montesquieu dikenal dalam literatur Barat bukan hanya sebagai pemikir dan filosof politik saja, melainkan ia dikategorikan sebagai sosiolog mendahului August Comte. Ia juga seorang sejarawan dan novelis terkemuka di zamannya. Gagasan-gagasannya mempengaruhi perkembangan pemikiran negara dan hukum di berbagai belahan dunia selama berabad-abad. Pengaruh pemikirannya mudah dilacak dalam konstitusi dan formulasi ketatanegaraan dunia modern. Karena mempengaruhi perumusan konstitusi Amerika di abad XVIII, maka ia dihormati di kalangan perumus konstitusi Amerika, seperti George Washington dan Thomas Jefferson.
Gagasannya yang paling terkenal yaitu mengenai Trias Politica yang memisahkan kekuasaan negara ke dalam tiga bentuk, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Konsep ini kemudian diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika. Karya-karya Montesquieu yang monumental adalah mengenai sebab kebangkitan dan kejatuhan Romawi, The Considerations on the Causes of the Grandeur and Decadence of the Roman, Letters Persanes, dan Spirit of the Laws yakni karya yang berisi konsep-konsep hukum dan ilmu politik modern.
Di bagian awal buku The Considerations on the Causes of the Grandeur and Decadence of the Roman yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1743, Montesquieu menjelaskan tentang hakikat Roma, ibu kota pemerintahan imperium Romawi. Menurutnya Roma bukanlah sebuah kota (city) dalam pengertian modern yang kita pahami sekarang ini, melainkan sebuah tempat pertemuan umum, di mana tidak terdapat kejelasan tentang siapa yang diperintah dan yang memerintah. Dengan demikian, Roma tidak dapat dijadikan sebagai sebuah model pemerintahan
Bacaan Montesquieu tentang karya-karya Polybius mengajarkannya bahwa sebuah konstitusi (UUD) bisa menyelamatkan suatu negara, apapun bentuk negara tersebut. Konstitusi Republik Romawi misalnya, diyakini telah berhasil mencegah republik itu dari kehancuran total. Karena pengaruh Polybius itulah Montesquieu banyak memberikan perhatian pada paham konstitusionalisme pada zamannya.  
Sama halnya Machiavelli, Montesquieu juga mengagumi semangat kebebasan, seni memerintah dan seni perang bangsa Romawi, khususnya keahlian mereka dalam memanipulasi agama dan kebijakan-kebijakan luar negeri untuk digunakan demi kepentingan mereka. Agama misalnya, hanya diperkenankan sejauh ia memperkokoh struktur nilai-nilai kekuasaan negara kota. Agama harus diabdikan demi kebesaran, kesatuan dan kejayaan imperiu[3]m Romawi. Agama yang tidak memiliki fungsi seperti itu tidak diakui keberadaannya.  Akan tetapi, yang membedakan kedua pemikir ini adalah bahwa Machiavelli melihat orang-orang besar yang mengejar kemasyhuran dan kekuasaan sebagai individu yang berperan penting dalam pembentukan sejarah bangsa itu. Sedangkan Montesquieu tidak percaya bahwa sejarah dibentuk oleh orang-orang besar. Mereka memang membentuk lembaga-lembaga sosial politik, militer, dan lain-lain, tetapi setelah itu, maka individu-individu itulah yang diatur oleh lembaga-lembaga itu.
Menurut penulis, dampak pemikiran Trias Politika yang dikemukakan oleh Montesquieu dalam bidang sosial dan politik yaitu, bahwa setelah adanya teori Trias Politica (pembagian kekuasaan) sistem pemerintahan menjadi lebih efektik dan sistem pemerintahannya berjalan secara baik dan teratur. Sehingga, masyarakatnya menjadi sejahtera.


[1]Noer, Deliar, 1982, PemikiranPolitik di Negeri Barat, Cetakan VII, Bandung: Mizan, hal: 135
[2]Budiyono Kabul, 2012,  Teori dan Filsafat Ilmu Politik, cetakan ke-I, Bandung: Alfabeta,  halaman: 129.



Referensi

Kabul, Budiyono 2012,  Teori dan Filsafat Ilmu Politik, cetakan ke-I, Bandung: Alfabeta.
Cahyadi, Antonius, 2008, Pengantar Filsafat Hukum, Cetakan ke-2, Jakarta:  Kencana
     Prenada Media Group.
Osborne, Richard, 2001, FilsafatUntukPemula, Cetakan ke-7, Yogyakarta: Kanisus..
Noer, Deliar, 1982, PemikiranPolitik di Negeri Barat, Cetakan VII, Bandung: Mizan
LihatTutupKomentar

Iklan