Relasi Manusia dan Alam


 (Hubungan Interaksi antara Sistem Sosial dan Ekosistem)

Kepadaian manusia dalam beradapsi dengan lingkugan sekitarnya, bekerja sama dalam suatu organisasi sosial, dan menciptakan teknologi untuk mempermudah hidupnya telah mengantarkan manusia pada puncak rantai makanan. Eksistensi manusia di planet bumi semakin lama semakin berpengaruh terhadap ekosistem. Kesuksesan manusia dalam menciptakan kebudayaan sebagai sistem yang adaptif terhadap lingkungannya membuat populasi manusia di dunia berkembang dengan cepat. Sistem sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap ekosistem lingkungan fisik yang ada di sekitarnya. Sistem sosial ini terdiri dari pengetahuan (knowledge), jumlah penduduk (population), nilai-nilai atau ideologi (values), organisasi sosial (social organization) dan teknologi (technology). Sementara itu, ekosistem terdiri dari flora (plants), fauna (anmals), mikro-organisme (micro-organism), struktur bangunan fisik (human-built structures), tanah (soil), air (water) dan udara (air).
Perubahan pada satu aspek sistem sosial akan berdampak pada aspek-aspek lain. Begitu pula sebaliknya, perubahan pada ekosistem juga bisa berdampak pada aspek-aspek lainnya yang terdapat dalam sistem sosial. Misalnya, revolusi ilmu pengetahuan (knowledge) dan teknologi pada masa renasains yang dipelopori oleh Francis Bacon, Rene Descartes dan filsuf barat lainnya pada saat itu telah berpengaruh besar bagi kerusakan lingkungan yang marak terjadi sampai saat ini. Dalam pandangan Bacon, Alam harus diburu dalam pengembaraannya, diikat dalam pelayanan dan dijadikan sebagai budak. Bahkan tujuan ilmu pengetahuan menurut Bacon adalah untuk mengambil rahasia alam secara paksa. Tentu saja pandangan tersebut adalah pandangan yang anti-ekologis. Kemudian, perubahan populasi (population) manusia yang meningkat juga berdampak besar bagi kondisi bio-fisik lingkungan. Peningkatan populasi manusia sebanding dengan peningkatan kebutuhan akan pangan dan pemanfaatan lingkungan yang daya dukung dan daya tampungnya bersifat terbatas. Kerusakan lingkungan seperti pencermaran tanah, air dan udara serta deforestasi terjadi akibat desakan kebutuhan ekonomi. Nilai-nilai (values) konsumersime yang tertancap dalam benak masyarakat modern juga berimplikasi pada pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan serta konsumsi yang tidak bertanggung jawab.
Para ilmuwan posmodern, menilai bahwa  krisis ekologi yang terjadi saat ini diakibatkan oleh cara pandang (paradigma) ilmu pengetahuan modern yang melihat alam sebagai objek untuk dikaji, dianalisis, dimanipulasi, direkayasa dan dieksploitasi. Paradigma ilmu pengetahuan modern yang berasal dari Barat ini memandang manusia sebagai sesuatu yang terpisah dari alam, bukan satu kesatuan. Sehingga manusia tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk memelihara alam karena menganggap dirinya bukanlah bagian dari alam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tidak dinikmati oleh semua orang, melainkan malah dijadikan sebagai alat ekspolitasi alam yang tidak bertanggung jawab demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Selama cara pandang tersebut tetap menjadi paradigma yang dominan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, maka cita-cita akan pembangunan berkelanjutan (Sustainamble Development Goals / SDGs) yang sekarang ini digembar-gemborkan oleh UNDP (United Nations Development Programs) hanya akan menjadi selogan saja. Kerangka pembangunan Sustainable Development Goals (SDGs) yang ramah lingkungan tidak akan pernah terwujud apabila tidak dilakukan dengan menggunakan cara pandang atau pendekatan ilmu pengetahuan yang holistik.
Cara pandang ilmu pengetahuan dan teknologi modern dimulai sejak revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke-17. Filsuf-fulsuf yang sangat berpengaruh membentuk cara pandang ini adalah Galileo Galilei, Francis Bacon, Rene Descartes, dan Isac Newton. Paradigma ini pada dasarnya sekular, mekanistis, dan reduksionis. Ilmu pengetahuan didasarkan atas prinsip empirisme atau pengamatan panca indera dan metode induksi. Paradigma ini disebut mekanistis karena seluruh alam semesta dan juga manusia dilihat secara mekanis yang bisa dianalisis dan diprediksikan secara terpisah, lepas dari keseluruhan yang membentuknya. Cara pandang ini juga dikatakan reduksionistis karena melihat realitas alam semesta dan manusia hanya pada satu aspek semata-mata tanpa melihat keterkaitan yang lebih komprehensif dan holistik diantara berbagai aspek. Paradigma ilmu pengetahuan modern mengutamakan rasionalitas semata dan mengenyampingkan perasaan. Fakta lebih penting dari pada nilai, intelektual lebih penting dari pada intuisi, dan subjek dianggap lebih penting dari pada objek. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dijadikam sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia, melainkan dijadikan sebagai alat penghasil keuntungan semata bagi segelintir orang.
Dalam paradigam ilmu pengetahuan modern, lebih khususnya lagi dualisme Cartesian, manusia ditempatkan secara terpisah dari dan diatas alam. Menurut logika dominasi yang antroposentris, manusia dianggap lebih penting dan bernilai dari pada alam yang dilihatnya sebagai objek dan alat bagi kepnetingan manusia. Oleh karena itu, cara pandang ilmu pengetahuan modern yang mekanistis ini menjadi dasar bagi sikap dan perilaku manusia yang eksploratif dan manipulatif terhadap alam.
Menurut Fritjop Capra, masyarakat industri didominasi oleh cara padang mekanistis tentang dunia, yang menyebabkan kita memperlakukan lingkungan alam seakan terdiri dari bagian-bagian yang terpisah, untuk dieksploitasi oleh kelompok-kelompok yang kepentingan yang berbeda. Cara berpikir mekanistis ini menurutnya telah membuat manusia tercerabut dari alam dan dari sesama manusia yang lain. Kita hidup seakan sebagai bagian yang terpisah dari keseluruhan. Hubungan antara manusia dan alam tidak boleh dipisahkan dan dipandang sebagai relasi dominasi, melainkan sebagai sinergi sistemik.
Dengan demikian, pembangunan yang dilakukan oleh negara seharusnya tidak boleh hanya melihat pada satu aspek yang terpisah dari aspek yang lainnya, melainkan harus dilihat secara keseluruhan (holistik), yaitu sebagai satu aspek yang terkait dengan aspek lainnya. Butir-butir pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang dicanangkan oleh berbagai pemerintah dunia saat ini harus dilihat sebagai sinergis sistemik yang terkait satu sama lain, yang memperhatikan aspek sosial, demografis, lingkungan, ekonomi, kebudayaan, politik dan hukum. Sehingga pembangunan ini memerlukan upaya sinergis dari berbagai kalangan akademisi. Pembangunan adalah tanggung jawab bersama, yang harus dipikul bersama-sama pula, bukan dipikul sendiri-sendiri.

Kesimpulannya, hubungan interaksi antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya harus terjalin secara harmonis melalui upaya pembangunan yang berkelanjutan. Manusia adalah bagian dari alam, merusak alam sama dengan menyakiti diri sendiri. Populasi manusia harus dikendalikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harusla ramah lingkungan, serta pemanfaatan sumberdaya alam haruslah dilakukan secara bertanggung jawab dan memperhatikan aspek keberlanjutan.
LihatTutupKomentar

Iklan