Eksplosi Penduduk





Eksplosi Penduduk
(Dampak Ledakan Penduduk terhadap Lingkungan)
Oleh : Trisna Nurdiaman

Pada tahun 1798, Thomas Robert Malthus dalam karyanya yang berjudul “Principle of Populations” menyatakan bahwa penduduk (seperti juga tumbuh-tumbuhan dan binatang) apabila tidak ada pembatasan, akan berkembang biak dengan cepat dan memenuhi dengan cepat beberapa bagian dari permukaan bumi.[1] Padahal manusia tidak bisa hidup tanpa bahan makanan. Apabila laju pertumbuhan penduduk ini tidak dikontrol, maka manusia akan mengalami kekurang bahan makanan. Hal tersebut akan menimbulkan kemelaratan dan kemiskinan. Menurutnya penduduk meningkat menurut deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, 256), sementara bahan pangan meningkat menurut deret hitung (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8). Pesatnya laju pertumbuhan penduduk ini tidak setara dengan laju pertumbuhan produktivitas bahan makanan.Oleh karena itu pertumbuhan bahan pangan selalu dikalahkan oleh laju pertumbuhan penduduk.[2]
Pernyataan yang dianggap pesimis terhadap masa depan manusia ini dinilai mengada-ngada pada saat itu. Banyak kalangan mengkritik terhadap pandangan tersebut, karena dinilai telah mengabaikan aspek sosial-budaya, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun bagaimanapun juga pedasnya kritik yang dilontarkan terhadapnya, relevansi dari pernyataan Malthus ini dapat kita lihat sekarang. Abad ke-21 merupakan sebuah masa dimana mekanisme kompetisi dan kerjasama telah menggeser imperealisme dan peperangan dalam percaturan politik dunia. Kesejahteraan penduduk di berbagai belahan dunia relatif meningkat dari waktu-waktu, khususnya dalam bidang keamanan. Hal ini ditandai dengan peningkatan populasi penduduk di negara-negara berkembang yang relatif sangat cepat.
Pada awalnya, peperangan dan kemiskinan merupakan mekanisme pengendalian penduduk yang sangat ampuh untuk mengibangi tingkat fertilitas yang tinggi. Meskipun tingkat kelahiran sangat tinggi, namun laju pertumbuhan penduduk di Indonesia pada masa Pra-kemerdekaan tetaplah rendah. Hal tersebut dikarenakan tingginya tingkat kematian atau angka mortalitas penduduk pada waktu yang disebabkan oleh peperangan dan kemiskinan. Seiring dengan revolusi kemerdekaan dan keseimbangan politik yang mulai membaik, dinamika kependudukan di Indonesia mulai mengalami perubahan. Dari yang awalnya tingkat fertilitas dan mortalitas tinggi, menjadi tingkat fertilitas tinggi tetapi tingkat mortalitas mulai meurun. Kondisi ini segera direspon dengan baik oleh kebijakan pemerintah Orde Baru yang berupaya untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat melalui program pengendalian penduduk dan program revolusi hijau. Program pengendalian penduduk atau sering juga disebut dengan KB (Keluarga Berencana) sejauh ini telah menunjukan hasil yang cukup signifikan dimana tren laju pertumbuhan penduduk dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. Begitupun juga dengan program revolusi hijau yang berhasil meningkatkan produktivitas pangan dengan mempersingkat usia padi dari 6 bulan menjadi 3 bulan.
Meskipun laju pertumbuhan penduduk di Indonesia telah mengalami penurunan yang cukup signifikan (1,49%), namun tetap saja pada dasarnya jumlah penduduk Indonesia tetap bertambah dari waktu ke waktu. Hanya saja, angka pertambahan penduduknya yang menurun. Artinya dampak eksplosi kependudukan di Indonesia masih tetap belum bisa dihindari. Dampak eksplosi penduduk ini terbagi kedalam dua jenis, yaitu terhadap lingkungan sosial dan lingkungan fisik.

A.    Dampak  laju pertumbuhan penduduk terhadap lingkungan sosial masyarakat

1.      Individualisme
Peningkatan kuantitas penduduk berdampak pada peningkatan kepadatan moral dalam suatu masyarakat. Semakin banyak jumlah penduduk dalam suatu daerah, maka semakin banyak pula interaksi sosial yang terjadi di dalamnya. Banyaknya interaksi sosial ini akan mengurangi kualitas (kedalaman) relasi antar individu. George Simmel dalam teori geometri sosialnya menyatakan bahwa “meningkatnya ukuran dan diferensiasi cenderung mengendurkan ikatan antarindividu dan menimbulkan hubungan yang jauh lebih berjarak, impersonal, dan segmental”. Artinya, peningkatan jumlah penduduk dalam suatu masyarakat, akan mengurangi kualitas hubungan atau ikatan personal antara anggota masyarakatnya. Itulah sebabnya, orang-orang berada di perkotaan cenderung individualisme.

2.      Spesialisasi dan Penurunan Solidaritas Sosial
Menurut Emile Durkheim, peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan persaingan untuk mempertahan hidup. Individu akan terdorong untuk meningkatkan kemampuannya dalam suatu bidang pekerjaan yang spesialisasi. Menurutnya, semakin tinggi ukuran populasi, semakin besar tingkat kepadatan penduduknya, yang berakibat peningkatan dalam hal pembagian kerja dan penurunan dalam hal solidaritas sosial. [3] Dalam masyarakat tradisional, berlaku solidaritas sosial mekanis dimana tingkat integrasi sosialnya tinggi, norma-norma yang cenderung represif, homogen dan pembagian kerja dalam masyarakatnya masih rendah. Sementara dalam masyarakat perkotaan, yang populasi dan tingkat kepadatan penduduknya tinggi, berlaku solidaritas sosial organis. Solidaritas organis ditandai dengan masyarakat yang heterogen, tingkat pembagian kerja yang kompleks dan tingkat integrasi sosial yang rendah.[4] Rendahnya tingkat integrasi sosial ini menyebabkan lemahnya perekat hubungan antara individu dan struktur sosial sehingga terjadilah penyimpangan-penyimpangan sosial tingkat tinggi seperti bunuh diri. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Durkheim memandang peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan lemahnya kesatuan sosial dan meningkatkan penyimpangan-penyimpangan sosial.
Menurut Durkheim, pada suatu wilayah dimana angka kepadatan penduduknya  tinggi akibat dari tingginya laju pertumbuhan penduduk, akan timbul persaingan diantara penduduk untuk dapat mempertahankan hidup. Dalam usaha memenangkan persaingan tiap-tiap orang berusaha untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan, dan mengambil spesialisasi tertentu. Dibandingkan antara masyarakat tradisional dan masyarakat industri, akan terlihat bahwa masyarakat tradisional tidak terjadi persaingan yang ketat dalam memperoleh pekerjaan, tetapi pada masyarakat industri akan terjadi sebaliknya. Hal ini disebabkan karena adanya masyarkat industri tingkat pertumbuhan dan kepadatan penduduknya tinggi.

3.      Kemiskinan dan Kualitas Hidup
Pertumbuhan populasi penduduk juga berimplikasi pada kemiskinan dan penurunan kualitas hidup. Pertumbuhan penduduk yang cepat meningkat usaha untuk memperhatahankan hidup antara individu dalam rangka memperebutkan sumber daya yang langka dan terbatas. Kehidupan sosial pada dasarnya merupakan arena pertarungan untuk memperebut alat pemuas kebutuhan. Dalam hal ini berlaku hukum “survival of the fittest”. Siapa yang kuat, maka merekalah yang akan menikmati sumber daya yang langka diantara anggota masyarakat.
Kemiskinan terjadi akibat kelangkaan sumbedaya yang ada serta keterbatasan daya dukung lingkungan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terlalu banyak (over population). Pertumbuhan penduduk bersifat tidak terbatas jika tidak dikontrol, sementara daya dukung dan daya tampung lingkungan bersifat terbatas. Oleh karena itu, banyak kalangan yang menyetujui untuk diadakannya pembatasan populasi penduduk demi terjalinnya keseimbangan dan keharmonisan antara manusia dan lingkungan alamnya.
Misalnya pada masyarakat agraris, pertumbuhan penduduk yang cepat menjadi masalah tersendiri bagi masyarakatnya. Perubahan populasi penduduk yang semakin lama semakin banyak berimplikasi pada kepemilikan lahan pertanian yang jumlahnya terbatas. Jika seandainya satu keluarga denga 4 orang anak memiliki 1 hektar tanah. Maka, saat anak-anak tersebut besar dan menjadi petani kembali, tanah 1 hektar tersebut akan diwariskan kepada 4 orang anak. Artinya, jika pembagiannya rata maka masing-masing anak hanya mempunyai tanah seluas 0,25 hektar saja. Padahal, kebutuhan ekonomi masyarakat semakin meingkat, sementara sumber daya yang tersedia justru semakin berkurang. Akibatnya, terjadilah kemiskinan dan penurunan kualitas hidup.
Selain itu, kemiskinan juga terjadi akibat ketidakmerataan distribusi sumber daya yang langka dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Terjadi kesenjangan yang signifikan antara mereka yang memiliki sumber daya dan mereka yang tidak. Lingkaran kemiskinan dalam masyarakat merupakan merupakan permasalahan sosial yang akan menimbulkan masalah-masalah sosial yang lainnya seperti penyimpangan sosial dan kriminalitas.

4.      Mobilitas Sosial dan Mobilitas Geografis
Menurunnya kesejateraan para petani yang diakibatkan oleh lahan yang terbatas membuat sebagian dari mereka berupaya untuk melakukan perubahan dengan cara melakukan mobilitas sosial. Kesejahteraan petani yang dianggap tidak begitu menjanjikan, mendorong mereka untuk melakukan gerak sosial. Mobilitas sosial pada dasarnya merupakan upaya untuk melakukan gerak sosial memperbaiki nasib dengan cara beralih status ke profesi lain yang dianggap lebih menguntungkan. Selain itu, dalam masyarakat modern yang sistem stratifikasi sosialnya tersbuka, terdapat saluran-saluran untuk melakukan mobilitas sosial vertikal seperti sekolah. Sayangnya, upaya untuk melakukan mobilitas sosial ini terkadang tidak “gratis”, harus ada ongkos yang dibayar atau modal yang harus dikeluarkan.
Kemudian, ledakan populasi penduduk yang tidak seimbang dengan daya dukung lingkungan juga berimplikasi pada mobilitas georgrafis penduduk, baik itu sementara maupun permanen. Sektor pertanian di wilayah pedesaan yang tidak lagi mampu menyerap angkatan kerja yang terlalu banyak mendorong terjadinya urbanisasi. Mereka yang tidak puas dengan kondisi yang ada di desa dengan segala bentuk keterbatasannya, lebih memilih untuk bermigrasi ke kota demi mendapatkan pekerjaan yang layak. Akibatnya, persebaran penduduk menjadi tidak merata antara daerah yang ditinggalkan dengan daerah yang didatangi. Mereka yang tidak mampu bersaing dan berkompetisi dengan kehidupan ekonomi kota yang sangat dinamis pada akhirnya akan tersisihkan dan mendirikan ruang-ruang kumuh di bantaran kota.

5.      Penyimpangan Sosial dan Kriminalitas
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pertumbuhan penduduk meningkatkan persaingan untuk mempertahankan hidup. Sebagian dari mereka yang termarjinalkan terpaksa harus melakukan pekerjaan yang ‘kotor’ demi memenuhi tuntutan hidup masyarakat modern yang konsumtif. Kerasnya persaingan dalam memperebutkan sumber daya ekonomi yang terbatas, mendorong sebagian orang untuk memilih jalan pintas. Misalnya seperti PSK (Pekerja Seks Komersial), tukang copet, begal dan lain-lain sebagainya. Mereka terpaksa melakukan pekerjaan tersebut demi memenuhi kebutuhan hidup yang banyak. Pekerjaan tersebut lebih mudah dan menghasilkan uang yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, walaupun dipandang buruk oleh masyarakat. Meskpun permasalah ini sudah beberapa kali ditangani oleh pemerintah, namun tetap saja penyakit sosial tersebut selalu saja ada dalam masyarakat.

6.      Pengangguran
Pertumbuhan kuantitas penduduk yang tidak diimbangi dengan kualitas penduduk yang baik akan menghasilkan banyaknya pengangguran. Mereka yang berada di usia produktif justru akan menjadi beban apabila mereka tidak bekerja. Pengangguran terjadi akibat adanya kesenjangan antara jumlah lapangan pekerjaan yang sedikit dengan jumlah angkatan kerja yang banyak. Akibatnya tidak semuanya dapat terserap dan dilibatkan dalam proses ekonomi. Permasalah ini dapat diatasi dengan meningkatkan jiwa enterpreneurship dikalangan generasi muda. Sehingga mereka tidak hanya mencari kerja saja, melainkan menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain.

B.     Dampak Eksplosi Penduduk terhadap Lingkungan Fisik
Populasi penduduk dewasa ini mengalami pertumbuhan yang relatif cepat. Hal ini berimplikasi pada kondisi biofisik lingkungan, permasalahan ekonomi, kesenjangan sosial dan ketersediaan lahan yang cukup untuk menopang kesejahteraan hidup manusia. Lahan yang tersedia bersifat tetap dan tidak dapat bertambah sehingga menambah beban lingkungan. Daya dukung alam ternyata makin tidak seimbang dengan laju tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup penduduk. Aktivitas seperti eksplorasi dan eksploitasi sistematis terhadap sumber daya alam dan lingkungan secara terus menerus dilakukan dengan alasan faktor ekonomi dan sosial. Lahan pertanian yang tidak lagi mencukupi kebutuhan penduduk yang banyak mendorong terjadinya deforestasi atau penebangan hutan. Deforestasi ini dilakukan untuk membuka lahan pertanian baru. Padahal hutan berfungsi sebagai daerah resapan air. Pada akhirnya, saat kemarau tiba terjadi kelangkaan air dan pada saat hujan tiba terjadi longsor atau banjir.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi kehidupan manusia, ternyata hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Berbagai kepentingan atas pengelolaan lingkungan telah memberikan dampak negatif terhadap kelestarian biofisik lingkungan. Pertumbuhan industri, pemukiman penduduk dan pengelolaan lahan untuk kepentingan perusahaan terbukti telah mengakibatkan erosi tanah dan pencemaran limbah pada tanah, air dan pencemaran udara.
Peningkatan jumlah penduduk, jika tidak dikendalikan akan seperti pisau yang kedua sisinya tajam dan melukai. Di satu sisi populasi penduduk yang besar memerlukan ketersediaan pangan, lahan untuk perumahan dan fasilitas kesehatan, sementara di lain pihak ketersediaan pangan dan perumahan membutuhkan lahan yang luas. Penduduk juga membutuhan ketersediaan air yang cukup dan memenuhi kesehatan, sementara jumlah penduduk dengan aktivitasnya yang tinggi juga menghasilkan buangan dan sampah. Sampah dan limbah hasil buangan dari aktivitas penduduk jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang berdampak balik pada kesehatan lingkungan penduduk.
Pertambahan penduduk juga menyebabkan kebutuhan alat tranportasi dan arus mobilitas manusia meningkat, serta kebutuhan energi seperti minyak bumi meningkat pula. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran udara dan membuat persediaan minyak bumi makin menipis, sehingga kebutuhan udara bersih pun akan menjadi hal yang langka untuk di temui di perkotaan. Akibat kumulatif dari kerusakan lingkungan menimbulkan bencana banjir dan kekeringan, kelangkaan air bersih, peningkatan suhu atmosfir bumi, terganggunya habitat flora dan fauna, penyebaran penyakit, pemusnahan sumber daya alam atau daya dukung dan kehancuran kehidupan itu sendiri.




[1] Ida Bagoes Mantra, Demografi Umum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 50
[2] Paul B. Horton, Sosiologi jilid 2. Terjemahan Aminudin Ram, (Jakarta: Erlangga, _______), h. 111
[3] Graham C. Kinloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 90
[4] Tingkat integrasi sosial yang rendah ini ditandai dengan meningkatnya hubungan kontrak yang di ikat dengan perjanjian. Graham, Loc.Cit.,
LihatTutupKomentar

Iklan