Sekularisasi - Pemisahan Agama dan Politik, Perlukah?
Agama merupakan
sebuah sistem kepercayaan yang terdiri dari seperangkat nilai dan norma yang
mengatur bagaimana cara manusia berhubungan dengan Tuhan, dengan sesama
manusia, dan dengan lingkungan alam. Agama memberikan pedoman hidup bagi
manusia dalam berbagai aspek, termasuk aspek sosial dimana agama menjadi sistem
hidup bersama. Hal ini membuat sebagian orang merasa terbelenggu oleh adanya
agama. Sejarah yang terjadi di masyarakat Eropa dianggap telah memberikan
pelajaran bahwa peranan agama harus dibatasi dan dipisahkan dengan kehidupan duniawi.
Agama dianggap menghambat kemajuan ilmu
pengetetahuan. Agama harus dipisahkan dari kehidupan politik, karena nilai dan
norma agama dianggap tidak bisa mengintegrasikan seluruh warga negara yang
mempunyai latar belakang agama yang berbeda. Pluralitas sosial agama yang hadir
ditengah-tengah kehidupan masyarakat harus diatur oleh aturan hukum positif
yang netral. Oleh karena itu munculah sekularisasi sebagai suatu cara untuk
mengurangi peranan agama yang terlalu banyak ikut campur dalam kehidupan
manusia.
A. Pengertian Sekularisasi
Istilah sekularisasi
berasal dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang berarti “dunia’.
Pengertian ini merujuk kepada segala sesuatu hal yang bersifat duniawi. Sekularisasi awalnya bermakna proses pindahnya
tanggung jawab pendeta “yang agamis” menjadi seorang parokia (berpandangan
sempit).
Kemudian istilah
tersebut meluas menjadi pemisahan kekuasaan antara Paus dan Kaisar.
Sekularisasi bermakna pindahnya tanggung jawab tertentu dari gereja ke
kekuasaan politik. Sekularisasi berarti hilangnya determinasi agamis terhadap
simbol-simbol integrasi budaya.[1]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sekulariasi disini pada dasarnya
merupakan sebuah proses penduniawian hal-hal yang memang bersifat duniawi.
Pada permulaan
pertumbuhannya, sekularisme merupakan nama dari suatu sistem etika dan filsafat
yang bertujuan untuk memberi interpretasi dan atau pengaturan terhadap
kehidupan manusia tanpa kepercayaan atau keyakinan kepada Tuhan, tidak
mempercayai kitab suci dan tidak pula percaya pada hari akhir atau hari kiamat.
[2]
Sekularisme ini merupakan
paham atau aliran dalam filsafat yang secara sadar menolak peranan Tuhan dan
Wahyu atau agama dalam mengatur hidup dan kehidupan manusia serta memusatkan
perhatiannya semata-mata pada masalah dunia. Oleh karena itu, dalam kehidupan
masyarakat dan negara, menurut paham ini, harus diselenggarakan proses
sekularisasi yakni proses pembebasan manusia dari agama dan metafisika.
Terdapat dua macam
sekularisme, yaitu sekularisme ekstrem dan moderat. Sekularisme ekstrem mencita-citakan
otonomi nilai dunnia lepas dari campur tangan tuhan dan pengaruh agama.
Sementara sekularisasi moderat mencita-citakan otonomi nilai duniawi dengan
mengikutsertakan Tuhan dan agama. Dua jenis sekularisme tersebut dijabarkan
dalam usaha konkret atau gerakan yang disebut sekularisasi. Jadi, kalau sekularisme
adalah suatu ideologi, maka sekularisasi adalah suatu gerakan sosial.
Menurut Mohammad
Natsir [3], sekularisme
adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap hanya dalam
batas dunia. Seorang sekularis menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai
moral diciptakan oleh masyarakat. Ia memandang bahwa nilai-nilai itu
ditimbulkan oleh sejarah atau oleh bekas “kehewanan” manusia dan dipusatkan
pada kebahagian manusia dalam kehidupan sekarang ini. Nilai hidup manusia,
semuanya itu menurut sekularime sumbernya bukan wahyu ilahi, melainkan dari
budaya masyarakat. Bahkan, seorang sekularisme mengaggap bahwa tuhan adalah
relatif, yakni berganti menurut ciptaan manusia yang ditentukan oleh keadaan
masyarakat, bukan oleh kebenaran wahyu. Baginya wahyu agama dan paham tentang
wujud tahan adalah relatif, bergantung pada selera manusia.
B. Sejarah Sekularisasi
Konsep sekularisasi
lahir dan berkembang di barat sebagai suatu upaya untuk merelevansikan ajaran
dan kebenaran Injil dengan perkembangan zaman. Sekularisasi merupakan suatu
bentuk adaptasi yang dilakukan oleh para teolog Kristen atas kemajuan sains dan
tekonologi. Bibel yang diyakini sebagai sebuah kitab suci, misalnya, ternyata
memuat berbagai fakta yang bertentangan dengan akal. Oleh karena itulah
otentisitas teks Bibel yang selama ini dipercayai suci, dianggap perlu
direinterpretasi, digugat dan didekonstruksi.
Pada tahun 1507, Covernicus
dalam bukunya De Revolutionibus mengemukakan bahwa sebenarnya
mataharilah yang merupakan pusat tata surya, bukan bumi.[4] Hal
tersebut tentu saja bertentangan dengan pernyataan yang termuat dalam Injil
yang mengatakan bumi sebagai pusat dari alam semesta. Kuatnya otoritas gereja
pada saat itu membuat Covernicus mengemukakan argumentasinya dengan sangat
hati-hati dan sangat apologetik. Covernicus bahkan tidak menerbitkan karyanya
selama 36 tahun. Buku itu baru diterbitkan pada tahun 1543. Setelah buku ini
terbit, Inkuisisi menuduhnya sebagai bi’dah, buku ini dilarang oleh gereja
karena dianggap bertentangan dengan ajaran injil.
Hal yang serupa juga
dialami oleh Galileo Galilei yang dituduh murtad, bid’ah dan atheis karena
berpendapat bahwa bumi mengelilingi matahari. Galileo diperintahkan untuk
menghentikan kuiliahnya yang membela Covernicus. Pada tahun 1632, setelah 16
tahun Galileo berdiam diri, dia menerbitkan bukunya yang berjudul The System of The World. Hal ini membuat inkuisisi Roma mengancamnya
hukuman mati, agar suapaya Galileo meninggalkan pendapatnya. Pada akhirnya ia
terpaksa harus menjalani akhir hidupnya selama sepuluh tahun di penjara. Disana
ia mendapat perlakuan yang sangat buruk.
Kemudian hal
tersebut juga harus dialami oleh Giordano Bruno yang diburu para inkuisisi
Italia hanya karena karya ilmiahnya di bidang astronomi. Bruno menyembunyikan
dirinya diberbagi negara di Eropa, hingga pada akhirnya ia berhasil ditangkap
di Venice, Italia. Dia dikurung selama 6 tahun, tanpa buku, kertas, dan teman.
Kemudian pihak otoritas spiritual gereja memindahkan Bruno dari Venice ke Roma.
Dia dituduh murtad dan menulis karyanya yang bertentang dengan ajaran gereja.
Tuduhan husus kepadanya ialah bahwa ia telah mengajarkan, terdapat pluralitas dunia.
Setelah dipenjara selama 2 tahun, dia dituduh bersalah dan dibakar hidup-hidup.
Dominasi gereja pada
saat itu membuat perkembangan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada penelitian
ilmiah terhambat. Gereja tidak segan-segan menghukum dan membunuh orang-orang
yang menyatakan fakta yang bertentangan dengan ajaran gereja. Orang barat
menamakan sejarah Eropa pada abad ke 15 dan 16 sebagai zaman Renaissance
(kelahiran kembali), dimana kesadaran untuk mengemukakan fakta ilmiah yang
rasional telah lahir kembali, meskipun mereka terpaksa harus mendapat hukuman
atas kebenaran yang mereka ungkapkan. Kemudian abad ke-17 sampai abad ke-19
disebut sebagai zaman pencerahan (Enlightenment). Pada periode ini
semangat rasionalisasi bergejolak di Eropa, para filosof, teolog, sosiolog,
psikolog, sejarawan, politikus dan lain sebagainya menulis berbagai karya yang
menitikberatkan pada aspek kemanusiaan, kebebasan dan keadilan.
Perubahan paradigma
pada zaman pencerahan menuju zaman modern mendorong para teolog Kristiani menginterpretasikan
kembali (heumeneutics) agama Kristen. Hal ini dianggap perlu dilakukan
agar Kristen tetap relevan dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern.
Hasilnya, para teolog Eropa dan Amerika seperti Ludwig Feurbach (1804-1872),
Karl Bath (1886-1968), Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), Paul van Buren, Thomas
Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Wolwich, Werner dan Lotte Pelz dan
lainya menggagas revolusi teologi radikal. Bahkan mereka disebut sebagai para
“teolog kematian Tuhan” (Death of God Thelogians). Mereka menegaskan bahwa untuk menghadapi
sekularisasi, ajaran Kristen harus disesuaikan dengan pandangan hidup sains
modern. Mereka membuat interpretasi liberal terhadap Bibel. Interpretasi
liberal ini membantah peran dan sikap gerejawan yang mengklaim bahwa gereja
memiliki keistimewaan sosial, kekuatan dan properti khusus. Interpretasi atau
teologi liberal baru inilah yang
kemudian dirangkai menjadi teologi sekuler; yang mengkritik posisi gereja dengan
teologi lamanya yang dianggap ideal. Khususnya pada saat institusi gereja
memiliki kekuasaan dan peran sentral pada abad pertengahan Eropa.[5]
Ludwig Feurbach, menyatakan
bahwa realitas wujud yang benar adalah ‘manusia’. Oleh karena itu manusia menjadi
prinsip filsafat yang paling tinggi. Meskipun agama atau teologi menyangkal,
namun pada hakikatnya agamalah yang menyembah manusia (religion that
worships man). Agama sendiri yang menyatakan bahwa Tuhan adalah manusia dan
manusia adalah Tuhan (God is man, man is God). Makna sebenarnya teologi
adalah antropologi (The True Sense of Theology is Anthropology), dan
agama sendiri adalah mimpi akal manusia (Religion is The Dream of Human Mind).
Banyak sosiolog yang
menyetujui pandangan bahwa sekularisasi merupakan kecenderungan pokok dalam
masyrakat barat dalam beberapa abad lalu, atau sekurang-kurangnya sejak
munculnya industrialisasi. Mereka percaya bahwa kemajuan ilmu pengetahuan,
industrialisasi, urbanisasi, dan rasionalisasi dan modernisasi masyarakat telah
menyebabkan agama dan semakin surut dari arena kehidupan sosial yang dikuasinya
secara tradisional. Menurut jeffrey Hadden,[6] tesis sekularisasi
secara empiris adalah palsu, dan tesis ini telah lebih di topang oleh
antagonisme para sosiolog tehadap agama yang terorganisir bila dibandingkan
dengan penyelidikan bukti yang sistematis.
Buktinya sejak
berakhirnya perang dunia kedua terjadi kebangkitan kembali suatu agama yang
umum, sekurang-kurangnya di Amerika Serikat. Mayoritas orang Amerika masih
menyatakan percaya kepada tuhan, statistik keanggotaan gereja di Amerika
Serikat sedikit saja berfluktuasi dalam 40 tahun lalu, dan malah pengunjung
gereja masih tetap stabil. Kebaktian keagamaan misalnya berdoa juga masih
sangat stabil dalam dekade-dekade terakhir ini.
Menurut Timothy
Crippen, agama dalam masyarakat modern sedang mengalami transformasi tetapi
bukan menurun. Crippen percaya bahwa “tuhan-tuhan baru” sedang bangkit untuk
menggantikan “tuhan-tuhan lama”, dan tuhan-tuhan baru itu banyak bersangkutan
dengan kepercayaan dan ritual baru yang disucikan yang melambangankan
kedaulatan negara-negara dan integritas mora individu”. Jenis “agama yang baru
yang dibicarakan oleh Crippen ialah apa yang pernah disebut oleh Robert Bellah
(1967) “agama sipil”.
C. Gagasan Sekularisasi Nurcholish Majid
Menurut Nurcholish
Majid, umat Islam tidak boleh curiga pada kehidupan duniawi ini, apalagi lari
lari dari kehidupan realitas duniawi. Sekularisasi adalah keharusan bagi
setiap umat beragama, khususnya umat Islam.[7]
Manusia adalah mahluk duniawi dimana dia memang hidup di dunia dan belum mati,
atau berpindah ke alam baka. Maka pada dasarnya manusia adalah mahluk sekuler. Namun
ia membedakan antara sekularisasi dengan sekularisme sebagaimana ia mengutip
pendapat Harvey Cox. Lebih lanjut ia menganalogikan sekularisasi tanpa
sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian. Hal tersebut
bukan saja mungkin, tetapi telah terjadi dan akan terus terjadi dalam sejarah.
Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi.
Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya akhirat dan
Prinsip Ketuhanan.
Nurcholis Majid
menyatakan bahwa gagasan sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat
syahadat yang mengandung negasi (penyangkalan) dan afirmasi (peneguhan).
Menurutnya, kalimat syahadat menunjukan bahwa manusia bebas dari berbagai jenis
kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan
kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Dengan ajaran Tauhidnya, Islam
mengikis habis kepercayaan animisme. Ini bermakna dengan Tauhid, terjadi proses
sekularisasi besar-besaran pada diri seorang animis. Manusia ditunjuk sebagai
khalifah Tuhan di bumi karena manusia memiliki intelektualitas, akal pikiran
atau rasio. Dengan rasio inilah manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di
dunia ini.
D. Sekularisasi Menurut Al-Attas
Menurut Al-Attas,
orang Islam tidak boleh ikut-ikutan menerapkan konsep pengosongan nilai-nilai
ruhani dari alam tabi’i, karena konsep ini bertentangan dengan konsep
pandangan hidup Islam tentang alam. Al-Qur’an menegaskan bahwa alam semesta
adalah a>ya>t (kata, kalimat dan tanda simbol)
manifestasi lahir ataupun batin Tuhan.[8]
Manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi ini, tujuannya adalah agar
manusia menghargai dan mengakui besarnya kemurahan dan hikmah yang terkandung
yang diberikan Tuhan. Namun sekularisasi mengikis dan menghilangkan hubungan
simbolis ini. Pada akhirnya manusia malah terdorong untuk berbuat kerusakan di
muka bumi ini. Alam menjadi korban eksploitasi yang berharga demi sekadar
kajian saintifik dan penelitian ilmiah. Sekularisasi telah menjadikan manusia
menuhankan dirinya untuk kemudian berlaku tidak adil terhadap alam. Dalam
Islam, segala fenomena apa saja yang ada di langit dan di bumi, pergantian
siang dan malam, langit diangkat, bumi dihamparkan, gunung-gunung ditegakkan,
unta diciptakan adalah sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah.
Al-Attas tidak
menyetujui adanya desakralisasi politik dimana agama hanya menjadi urusan
pribadi bukan urusan publik. Menurutnya, pemisahan Islam dari politik akan
menghalangi peranan pandangan hidup Islam menyebar dalam masyarakat. Kebenaran
nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan yang akan
datang. Islam memiliki padangan hidup mutlaknya sendiri, yang meliputi
persoalan-persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dan lain
sebagainya. Politik adalah bagian hidup dari masyarakat, sedangkan Islam tidak
hanya mengatur manusia sebagai individu saja, melainkan juga sebagai
masyarakat.
E. Pemisahan Agama dan Politik
Menurut Binnar
Toprak, sekularisasi mendorong terjadinya perubahan-perubahan radikal mengenai
peran dan fungsi-fungsi agama dalam masyarakat. Agama akan kehilangan peran
pentingnya sebagai sebuah sistem kepercayaan quasi-politik yang
mendukung otoritas pemerintah. Fungsi-fungsi integratif agama diambil alih oleh
agen-agen sosialisasi negara dimana agama hanya dapat mengintegrasikan
kelompok-kelompok sosial tertentu saja, bukan masyarakat secara keseluruhan.
Organisasi
keaagamaan praktis kehilangan semua pengaruhnya dalam kehidupan politik,
kecuali hanya sebagai kelompok kepentingan saja. Fungsi lembaga keagamaan
sebagai kontrol sosial mengalami perubahan dimana institusi agama hanya
memegang kontrol internal saja.[9] Namun
meskipun demikian, sekularisasi formal dalam kehidupan politik bukan berarti
menghilangkan pengaruh agama dalam kehidupan politik.
Di Turki,
serangkaian pembaharuan sekuler dilancarkan pada dekade pertama setelah
berdirinya republik pada tahun 1923, untuk mengurangi peranan Islam dalam
kehidupan institusional dan kultural. Program sekularisasi ini menempuh empat
fase,[10]
yaitu:
- Sekularisme simbolis, yakni melakukan pembaharuan dalam aspek-aspek kebudayaan nasional atau kehidupan sosial yang memiliki identifikasi simbolis Islam. Sekularisme ini berupa transformasi simbol-simbol yang bersifat sakral ke yang bersifat profan, seperti perubahan alfabet dari Arab ke Latin (1928), bahasa Arab dan Persia ke bahasa Turki.
- Sekularisasi institusional, yakni perubahan-perubahan tatanan organisasi yang dirancang untuk menghancurkan kekuatan institusional Islam. Upaya ini dilakuan dengan pembuatan undang-undang yang berprinsip bahwa otoritas politik berasal dari konsep kedaulatan nasional, bukannya kehendak Tuhan.
- Sekularisasi fungsional, yakni melakukan perubahan-perubahan fungsi khusus institusi-institusi keagamaan dan pemerintahan. Sekularisasi ini bertujuan untuk melemahkan kekuatan organisasi Islam serta membatasi keterlibatan organisasi keagamaan dalam urusan politik.
- Sekularisasi legal, yakni perubahan dalam struktur hukum masyarakat. Sekularisasi ini dilakukan dengan cara mengeliminasi peraturan-peraturan dalam UU perdata, perdagangan dan pidana yang berasaskan agama.
_________________
[1] Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama
& Diabolisme Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), h. 151
[2] Mohamad Daud Ali & Habibah Dau Ali, Lembaga-Lembaga
Islam Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), h. 16
[3] Muslim Mufti, Politik Islam; sejarah dan
pemikiran, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 166-167
[6] Isomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta:
Ghalia indonesia, 2002), h. 61
[9] Lihat : Binnar Toprak, Islam dan Perkembangan
Politik di Turki, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 24-25