Masyarakat Hiper-Estetik (Masyarakat Pemuja Penampilan)
Apabila Daniel Bell menyebut era ini sebagai masyarakat post-industri
dan Frederich Jameson menyebut era ini sebagai post-modern, maka saya menyebut
era ini sebagai era masyarakat hiper-estetik dimana pada masa ini orang sangat
memuja-muja penampilan namun kehilangan makna dan esensi. Kondisi masyarakat
saat ini adalah suatu kondisi dimana nilai estetika lebih diutamakan dari pada
nilai vital. Era ini adalah era dimana orang sangat pandai melakukan pengaturan
kesan, memanipulasi citra diri dan menyembunyikan sisi lain yang tidak ingin
ditampilkannya.
Kondisi ini terjadi karena paradigma sosial masyarakat saat ini
sangat mengedepankan estetika. Namun karena nilai estetika itu dikedepankan
secara berlebihan, akibatnya orang menjadi sangat simbolis namun tidak begitu
paham / peduli dengan maknanya. Masyarakat di guyur oleh berbagai ribuan
simbol-simbol yang kian hari terus bertambah tanpa henti. Orang kini melihat
simbol tidak sebagai sesuatu yang memiliki makna yang dalam, melainkan
mereduksi simbol itu sendiri sebagai identitas saja.
Misalnya saja, fungsi hp saat ini dalam masyarakat tidak hanya
sebagai alat yang bisa digunakan untuk mempermudah komunikasi saja, melainkan
juga sebagai sismbol identitas diri. Orang yang memiliki hp dengan harga yang
fantastis tentu saja mempunyai kepedean tersendiri di depan orang lain. Begitupun
juga dengan barang-barang pribali lainnya, dimana kini hampir dari segala
sesuatu yang dimiliki itu dijadikan sebagai simbol identitas diri.
Tidak hanya sampai disitu kegilaan sosial di zaman ini, kecenderungan
terhadap penampilan juga saat ini mulai merasuki dunia kerja dimana orang yang
punya wajah “good looking” alias rupawan akan lebih mudah mendapatkan
pekerjaan dari pada orang yang tak sedap dipandang mata. Asumsinya, pelanggan
akan merasa betah ketika ia dilayani oleh orang yang sedap dipandang mata. Hal
memang sah-sah saja ini berhubungan dengan kenyamanan pelanggan. Apabila
pelanggan nyaman maka bisnispun akan berjalan dengan baik. Namun, disisi lain
hal tersebut juga mendiskriminasi orang-orang yang bertampang pas-pasan atau
mungkin lebih parah dari itu. Diskiriminasi sosial terhadap orang yang tak
rupawan memang tidak begitu banyak digaungkan ke permukaan oleh para pegiat
aktivis sosial, namun itu nyatanya adalah fakta yang tidak bisa disangkal lagi.
Contoh menggelikan lainnya adalah persyaratan kerja sebagai teller
bank yang mewajibkan tinggi badan minimal 165 cm bagi laki-laki dan 160 cm bagi
perempuan. Lalu bagimana dengan nasib mereka yang mempunyai tinggi badan di
bawah itu? Saya juga terheran-heran, ini sebenarnya persyaratan buat jadi security
atau jadi teller? Apabila persyaratan tinggi badan tersebut dikenakan
pada dunia militer memang cukup rasional, namun apabila untuk jadi teller saya
rasa tinggi badan 165 dengan 161 tidak akan mempengaruhi produktivitas kerja,
yang lebih penting itu kan softskill yang menunjang pekerjaannya sebagai teller.
Namun apalah dikata, orang pendek harus berbesar hati menghadapi kenyataan ini,
penampilan sangat diperhitungkan oleh masyarakat saat ini.
Kecenderungan masyarakat terhadap penampilan ini sebenarnya tidak
semata-mata muncul begitu saja, melainkan sebagai hasil konstruksi kapitalisme
dalam mengeksplotasi pasar untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Kapitalis
seolah-olah hadir sebagai pahlawan yang memberikan solusi bagi masyakat yang
sedang haus akan penampilan. Kapitalis menawarkan berbagai produknya sebagai obat
manjur bagi orang-orang jelek dan juga sebagai penjaga agar ketampan dan
kecantikan seseorang tidak hilang. Oleh karena itu berbagai produk kecantikan
dan kegantengan (utk laki-laki) saat ini sangat laku dipasaran.
Bahkan yang lebih gila dari pada itu, operasi pelastik juga menjadi
salah satu alternatif bagi masyarakat saat ini untuk mengobati tampang jelek.
Dengan melakukan operasi pelastik, wajah yang tadinya “mengerikan” bisa
dipermak atau disulap menjadi wajah yang “mengagumkan”. Operasi pelastik hadir
sebagai solusi bagi orang-orang jelek yang mempunyai banyak urang. Namun bagiamana
dengan mereka yang tidak punya uang?
Begitulah, jika segala sesuatu yang ada di dunia ini hanya diukur
dengan “rupa” semata, maka kualitas masyarakat semakin lama akan semakin
terdegradasi kedalam jurang dimana simbol banyak berserakan, namun tidak
mempunyai makna yang mendalam dan berarti.
Fenomena terakhir yang akan saya contohkan sebagai ciri masyarakat
hiper-estetik adalah fenomena nasionalisme dalam kehidupan berbangsa. Orang
mereduksi nasionalisme itu sendiri kedalam pemakaian atribut-atribut lambang
negara sebagai identitas diri. Namun orang kurang peduli dengan makna mendalam
yang terkandung di dalamnya dan menginplementasikan nilai-nilai luhur dari
makna simbol tersebut kedalam kehidupan pribadi. Orang yang membela Pancasila
itu bukanlah orang yang teriak-teriak “bela Pancasila” namun mendukung
pengesahan undang-undang yang melegalkan miras. Hal tersebut seolah-olah ironi
dimana Pancasila yang ia dukung itu sendiri bertentangan dengan tindakan yang
ia lakukan.
Oleh: Daud Handoko