Apakah Skeptitisme itu Sama dengan Dengan Tabayyun?
Ada banyak
sekali kebenaran disekeliling kita baik yang telah kita ketahui maupun yang
belum diketahui. Setiap manusia pada dasarnya mempunyai naluri/keinginan untuk mencari
kebenaran lewat rasa ingin taunya. Naluri inilah yang menyebabkan terjadinya kemajuan
peradan manusia dalam berbudaya. Budaya sendiri adalah manifestasi dari
akumulasi pengetahuan masyarakat (pengetahuan bersama) yang diwariskan dari
satu generasi ke generasi lainnya dan terus mengalami perkembangan seiring
dengan bertambah banyaknya pengalaman dan usia masyarakat tersebut.
Betapa banyak
informasi kebenaran yang berserakan di sekeliling kita. Misalnya seperti: air
laut itu asin, matahari itu panas, ikan bernafas dengan insang, Indonesia itu
adalah negara kepulauan, bahasa Indonesia itu adalah bahasa persatuan, 2+3=5, 3x7=21,
peristiwa proklamasi Indonesia terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 dan
kebenaran lain sebagainya. Namun meskipun demikan, tetap saja ada sekelompok
orang yang meyakini bahwa kebenaran itu tidak ada. Kebenaran itu menurut mereka
hanyalah milik Tuhan dan mustahil diketahui oleh manusia. Sikap anti terhadap
kebenaran tersebut sering juga disebut dengan istilah “skeptisisme”.
Secara
etimilogi, istilah skeptisisme berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu skepsis
yang berarti pandangan akal, nalar atau spekulasi. Secara sederhana,
skeptisisme dapat diartikan sebagai sikap meragukan kebenaran suatu pernyataan
secara mendasar dan menyeluruh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, skeptisisme
diartikan sebagai aliran (paham) yang memandang sesuatu selalu tidak pasti
(meragukan, mencurigakan).
Sikap ini tentu
saja berbeda dengan konsep tabayyun yang merujuk pada sikap hati-hati
dalam menerima informasi dengan mencari kejelasan tentang sesuatu hingga
benar-benar terbukti kebenarannya. Sikap skeptis tidak hanya sekedar meragukan atau
mempertanyakan kebenaran suatu persoalan, melainkan lebih dari itu. Skeptisisme
sama sekali tidak menerima adanya kemungkinan bahwa persoalan tersebut bisa
saja benar. Seorang skeptis akan bertahan dengan pendiriannya, terlepas dari
ada atau tidaknya bukti kebenaran, ia akan tetap menolak keberanannya.
Misalnya ada
sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa “laju pertumbuhan penduduk berpengaruh
terhadap tingkat kriminalitas pada suatu daerah”. Orang yang mempunyai sikap tabayyun
tidak akan tidak akan begitu saja mempercayai pernyataan tersebut, melainkan ia
akan mencari tau terlebih dahulu kebenaran dari pernyataan tersebut. Sementara
itu bagi seorang skeptis, ia akan tetap meragukan kebenaran dari pernyataan
tersebut meskipun sudah ada penelitian yang membuktikan kebenarannya. Disitulah
letak perbedaanya, tabayyun itu berhati-hati dalam menerima kebenaran,
sementara skeptis itu menolak kebenaran itu sendiri.
Menurut
Bertrand Russell, pemikiran skpetis tidak akan berumur panjang. Ia bermula
dengan mempertanyakan dan berakhir pula dengan mempertanyakan. Pada dasarnya ia
tidak mungkin membuktikan atau menghasilkan suatu kesimpulan, bahkan tidak
mungkin mempertahankan posisinya sendiri. Oleh karena itu, daya tariknya secara
filosofis pasti bakal menguap dan lenyap.
Penganut
skeptisisme sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, misalnya seperti Pyrrho, Aenesidemus
dan Sextus Empiricus yang berpandangan bahwa ilmu yang pasti itu mustahil dan
kebenaran absolut tidak akan pernah bisa dicapai oleh manusia karena
masing-masing punya persepsi dan kriteria yang berbeda-beda dalam menilai
sesuatu. Pyrrho dan pengikutnya tidak mau membuat komitmen epistemik apapun dan
menolak keabsahan pengetahuan inderawi maupun rasional karena dianggapnya tidak
dapat dipercaya, tidak final, dan tidak konklusif. Kemudian pada awal zaman
modern, Francisco Sances (w. 1623) berusaha menghidupkan skeptisisme lewat
karyanya Quod Nihil Scitur yang mengajarkan
bahwa tidak ada sesuatu pun yang bisa diketahui.
Dr. Syamsuddin
Arif, M.A. dalam orasi ilmiahnya mengemukakan bahwa menganut skeptisisme sama
saja dengan ‘bunuh diri’. Karena hal tersebut sama saja dengan menggugurkan
validitas pernyataan sendiri. Seperti halnya pernyataan seorang ‘kyai liberal’
yang menyatakan bahwa “kebenaran kita berkemungkinan salah dan kesalahan orang
lain berkemungkinan benar. Hanya Tuhan yang benar-benar benar”. Pernyataan tersebut mudah dipatahkan karena
secara tidak langsung ia sendiri mengakui bahwa pernyatannya pun mungkin saja
tidak benar.
Bahkan Benedic
Spinoza (w. 1677) menyatakan bahwa
seorang skeptis yang konsisten mestinya tidak usah buka mulut (ought
to remain dumb) dan jika demikian halnya maka sejatinya tidak berakal sama
sekali (uttely devoid of intelligence). Selaras dengan Spinoza, seorang
pemikir Inggris bernama Alfred Jules Ayer memandang bahwa skpetisisme bukan
hanya self-refuting tetapi juga ‘tidak perlu’, karena menurutnya manusia
mempunyai hak untuk yakin walau pun mungkin saja keliru, sebab kenyataannya
manusia memang bisa memilah yang benar dan yang salah, yang asli dan yang
palsu, yang baik dan yang buruk, melalui berbai cara, metode dan prosedur
ilmiah maupun common sense, sehingga keraguan bisa dilenyapkan,
kesalahan bisa dihindari atau setidaknya bisa diminimalisir.
Referensi:
Arif, Syamsuddin. Ilmu, Kebenaran dan Keraguan: Refleksi
Filosofis-Historis. Orasi Ilmiah. Disampaikan pada 1 Maret 2016 dalam
rangka memperingati ulang tahun ke-13 INSISTS di Gedung Joang 45.