Pertumbuhan Penduduk, Kemuduran Sektor Pertanian dan Suatu Ancaman di Masa Depan



Pada abad ke-18 lalu, seorang pendeta Inggris bernama Thomas Robert Maltus dalam tulisanya Essay on Principle of Population, mengemukakan kehawatirannya tentang masa depan akibat pertumbuhan penduduk. Populasi manusia tumbuh dengan cepat mengikuti deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, .... dst). Sementara itu pertumbuhan produktivitas makanan tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk yang mengikuti deret hitung (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dst ..). Oleh karena itu, menurutnya, apabila laju pertumbuhan penduduk tersebut tidak dikendalikan maka suatu saat manusia akan mengalami kelaparan hebat dan kekacauan akibat kelangkaan bahan pangan.

Banyak para ahli yang menilai kekhawatiran Maltus tersebut tak terbukti, hal ini disebabkan karena kesadaran masyarakat di seluruh dunia terhadap pengendalian penduduk semakin baik serta juga berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu melipat ganda hasil pertanian. Sebagaimana kita ketahui, revolusi hijau yang terjadi pada masa Orde baru di Indonesia pada waktu itu memang berhasil mengantarkan Indonesia pada swasembada beras, sehingga kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik.

Namun, nyatanya ancaman pertumbuhan penduduk tidak berhenti sampai di situ. Pertumbuhan penduduk di wilayah pendesaan menyebabkan terjadinya fragementasi lahan pertanian. Luas lahan yang dimiliki oleh para petani semakin lama semakin sempit. Hal ini terjadi karena pembagian tanah kepada ahli waris dan alih fungsi lahan pertanian.

Misalnya, sebuah keluarga petani di desa memiliki lahan seluas 1,5 hektar. Di dalam keluarga tersebut ada 3 orang anak. Maka ketika tanah tersebut diwariskan, masing-masing anak hanya akan mendapatkan tanah seluas 0,5 hektar. Dan begitu pula seterusnya, tanah tersebut akan dibagi lagi ketika diwariskan. Sehingga, semakin lama, luas lahan yang dimiliki oleh para petani semakin menyempit. Kondisi ini pada ahirnya menyebabkan munculnya para petani gurem.

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), petani gurem adalah petani yang memiliki atau menyewa lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar. Jumlah rumah tangga petani yang termasuk petani gurem pada tahun 2013 adalah sebanyak 14.250.000 rumah tangga atau sekitar 55,53% dari total keseluruhan rumah tangga petani di Indonesia (BPS, 2013). Artinya, sebagian besar petani di Indonesia adalah pertani gurem yang berpengasilan rendah.

Kemelaratan dan kesengsaraan yang dirasakan para petani kecil mendorong mereka untuk melakukan mobilisasi sosial baik dengan beralih ke pekerjaan lain (mobilitas sosial intragenerasi), mapun dengan mendorong agar anak mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih baik (mobilisasi sosial antargenerasi). Fenomena mobilitas sosial pada petani ini dapat kita lihat pada jumlah rumah tangga petani yang semakin lama semakin berkurang. BPS mencatat bahwa telah terjadi penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 16,23% dalam kurun waktu 10 tahun. Berdasarkan hasil sensus pertanian pada tahun 2003, jumlah rumah tangga petani pada waktu itu adalah sebanyak 31,23 juta rumah tangga. Sementara itu hasil sensus pertanian pada tahun 2013, jumah petani telah berkurang menjadi 26,14 juta rumah tangga.

Kemiskinan yang menghantui pada petani gurem telah mengubah citra pekerjaan tersebut di mata para pemuda desa. Sebagian besar pemuda desa kini menganggap pertanian sebagai pekerjaan yang kurang menguntungkan dan kurang layak. Sehingga banyak dari mereka yang lebih memilih untuk mencari pekerjaan lain di kota seperti menjadi buruh pabrik, pelayan toko dan sebagainya yang upahnya jauh lebih besar dari pada menjadi buruh tani.

Pergeseran orientasi kerja pemuda pada sektor non-pertanian ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal tersebut akan menjadi suatu ancaman besar di masa yang akan datang dimana kebutuhan akan pangan semakin tinggi namun tidak ada yang mau menjadi petani. Keengganan pemuda desa untuk bertani menandai kemunduran sektor pertanian yang kehilangan sumberdaya manusianya. Padahal, regenerasi petani harus terus berlanjut, karena pertanian sendiri mempunyai peranan vital dalam menyokong kegiatan industri di wilayah perkotaan.

Menurut White dalam Agriculture and Generation Problem, ada tiga faktor utama yang menyebabkan generasi muda enggan untuk bertani, yaitu: 
  1. Sistem pendidikan yang menanamkan ide bahwa bertani adalah profesi yang tidak menarik; 
  2. Pengabaian kronis dari pemerinyah terhadap pertanian skala kecil dan infrastruktur pedesaan di banyak wilayah; dan 
  3. terbatasnya akses bagi pemuda terhadap lahan yang disebabkan oleh pencaplokan lahan pertanian oleh korporasi, konsentrasi kepemilikan tanah melalui proses diferensiasi, serta para petani dari golongan tua yang belum mau mengalokasikan tanah untuk dikelola oleh para pemuda.


Menurut Herlina Tarigan dalam penelitiannya mengenai Representasi Pemuda Pedesaan mengenai Pekerjaan Pertanian (2004) menyatakan bahwa:
Pergeseran pekerjaan ke arah non pertanian, merupakan “penolakan” yang lebih dilandasi pada pertimbangan sosial. Persepsi pemuda dan komunitas pedesaan mengenai pekerjaan mengalami bias kepada industri dan perkotaan tidak sepenuhnya karena kompensasi yang dijanjikan sektor tersebut, melainkan lebih diakibatkan dampak “penjajahan budaya” modernisasi yang terimbas lewat pengetahuan dan informasi yang masuk ke pedesaan. Secara tidak sadar, pemerintah menguatkan perkembangan tersebut lewat prioritas pembangunan yang tidak seimbang antar sektor maupun antar wilayah dengan mendudukkan sektor pertanian sebagai pendukung sektor lain.

Fitri Ningsih dalam skripsinya yang berjudul “Faktor-faktor yang Menentukan Keterlibatan Pemuda Pedesaan pada Kegiatan Pertanian Berkelanjutan” menyatakan bahwa keterlibatan pemuda pada kegiatan pertanian semakin menurun, terkecuali saat panen karena adanya tradisi panen raya. Keengganan pemuda untuk  terlibat pada kegiatan pertanian erat kaitannya dengan pengaruh sosialisasi orangtua dan kohesivitas teman sebaya. Pelaksanaan security land yang mulai memudar karena tanah seringkali dijual ketika pemiliknya mengalami kesulitan ekonomi menyebabkan luas kepemilikan lahan semakin sempit. Pemuda berpandangan bahwa masyarakat desa masih menerima pertanian sebagai pekerjaan yang layak, namun pemuda lebih memilih pekerjaan lain karena penghasilan yang diperoleh pada sektor pertanian jauh lebih sedikit dibandingkan pekerjaan di luar pertanian. Penghasilan pada sektor pertanian dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan primer dan sekunder.

Sementara itu, Nurdiaman dalam penelitiannya yang berjudul “Pergeseran Motivasi Kerja Pemuda Desa pada sektor Non-pertanian” membagi faktor penyebab pemuda desa meninggalkan sektor pertanian kedalam dua faktor, yaitu faktor pendorong (push factor) dan paktor penarik (full factor). Faktor yang pendorong pemuda desa meninggalkan sektor pertanian meliputi:
  1. Kelangkaan lahan pertanian yang menyebabkan akses pemuda terhadap tanah semakin sulit;
  2. Meningkatnya kepemilikan tanah pada kalangan masyarakat bukan petani yang secara finansial mempunyai kemampuan untuk membeli tanah;
  3. Hambatan melakukan modernisasi pertanian yang sebabkan oleh keterbatasan modal;
  4. Kecilnya upah sebagai buruh tani dan pekerjaannya yang bersifat musiman;
  5. Penghasilan petani yang tidak menentu akibat kondisi alam yang mempengaruhi produktivitas dan kondisi pasar yang mempengaruhi harga jual;


Sementara itu, di luar sektor pertanian, terdapat beberapa faktor yang menyebakan pemuda desa tertarik untuk menggeluti pekerjaan tersebut. Faktor penarik (full factor) tersebut meliputi:
  1. Terbukanya peluang yang lebih luas pada sektor non-pertanian;
  2. Upah pekerjaan pada sektor non-pertanian yang lebih besar, terutama di perkotaan;
  3. Terbukanya akses Informasi, komunikasi dan perkembangan teknologi yang mempengaruhi persepsi pemuda mengenai pekerjaan ideal;
  4. Sarana dan prasarana transformasi yang memadai, hal ini menyebabkan proses interaksi desa-kota semakin meningkat dan mobilitas georgrafis semakin mudah dilakukan;


Kondisi ini tentu saja tidak boleh dibiarkan terus belanjut, pemerintah harus melakukan solusi nyata agar sektor pertanian mampu menyediakan pekerjaan yang layak dan menyejahterakan para petaninya. Pengembangan dan modernisasi pertanian harus terus dilanjutkan, pertanian harus menjadi sektor yang tidak hanya secara ekonomis menguntungkan, melainkan juga secara sosial harus dijadikan sebagai pekerjaan yang dihargai. Jika sudah begitu, maka bukan suatu hal yang tidak mungkin juga pertanian kemabli lagi diminati oleh para pemudan dan regenerasi pertanian akan terus berlanjut.


Referensi:

Badan Pusat Statistik, 2013. Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013: Pencacahan Lengkap.
Mantra, Ida Bagoes. 2013. Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tarigan, Herlina. 2004. Representasi Pemuda Pedesaan mengenai Pekerjaan Pertanian (Kasus Pada Komunitas Perkebunan Teh Rakyat di Jawa Barat). Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Nurdiaman, Trisna. 2017. Pergeseran Motivasi Kerja Pemuda Desa pada sektor Non-Pertanian (Studi Deskriptif di Desa Pamalayan Kecamatan Cisewu Kabupaten Garut). Skripsi. UIN Sunan Gunung Dajti Bandung.

Ningsih, Fitri. 2014. Faktor-Faktor yang Menentukan Keterlibatan Pemuda Pedesaan pada Kegiatan Pertanian Berkelanjutan. Skripsi. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
LihatTutupKomentar

Iklan